iklan
Para pemangku kepentingan, yakni Kementerian Kehutanan RI, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Prov Jambi, Dinas Kehutanan Prov Jambi, Dinas Kehutanan Kab Tebo, Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), World Wildlife Fund (WWF), Frankfurt Zoological Society (FZS), dan sejumlah perusahaan perkebunan sepakat untuk merumuskan strategi terpadu penyelamatan gajah Sumatera (elephas maximus Sumatranus), khususnya yang berada di kawasan Bukit Tigapuluh, Jambi.

Hilangnya habitat gajah Sumatera akibat konversi hutan menjadi perkebunan dan pertambangan, menjadikan konflik gajah dan manusia saat ini berada dalam tingkat yang paling buruk. Kesepakatan itu tercetus dalam rapat di Kementrian Kehutanan, pekan lalu, menyikapi laporan masyarakat kepada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) tentang serangan gajah yang merusak kebun sawit warga Sekalo, Kab Tebo, Prov Jambi.

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) Kementrian Kehutanan, Bambang Novianto, menegaskan gajah Sumatera termasuk dalam spesies satwa prioritas yang harus diselamatkan. Pemerintah pusat menargetkan pertambahan populasi sebesar 3 % untuk gajah Sumatera dan gajah Kalimantan.
   
“Gajah dan manusia sama-sama penting. Harus dilakukan penanganan konflik secara cepat dan terpadu yang melibatkan semua pihak terkait. Kondisi gajah Sumatera saat ini sudah sangat kritis dan Jambi adalah salah satu kantong terakhir habitat gajah Sumatera,” ujar Bambang.
   
Dalam paparan FKGI yang dinyatakan dalam survey terakhir, populasi gajah Sumatera yang berada di kawasan ekosistem Bukit Tigapuluh diperkirakan tinggal 100 ekor saja. Pembukaan habitat menyebabkan kawanan gajah terpisah dalam tiga kelompok besar, yakni kelompok gajah yang berada di area eks HPH Dalek, kelompok Semambu, dan kelompok VII Koto.
   
“Habitat gajah yang masih cukup baik tinggal tersisa di kawasan eks HPH Dalek. Di sini hidup sekitar 50 - 60 ekor gajah. Area hutan ini penting untuk dipertahankan dan pengelolaan hutan bisa dilakukan dengan pola restorasi ekosistem. Jika blok hutan ini diubah menjadi perkebunan, maka tidak ada lagi harapan untuk gajah Sumatera,” ujar Ketua FKGI Krismanko Padang.
   
Merosotnya luasan habitat gajah Sumatera di Jambi menyebabkan area jelajahnya terkonsetrasi dalam luasan yang jauh lebih kecil. Gajah juga mulai beradaptasi dengan menjadikan area perkebunan sawit, karet, akasia, dan palawija sebagai sumber makanan, sedangkan, hutan hanya sebagai tempat istirahat di siang hari. 
   
Agusrizal, mewakili Dinasi Kehutanan Prov Jambi, menyatakan konsep penyelamatan gajah Sumatera dapat dilakukan secara terpadu tanpa perlu merelokasi ke daerah baru. Untuk menghubungkan antar-kelompok gajah perlu dibuat koridor penghubung. “Setiap perusahaan perkebunan memiliki Rencana Kerja Usaha (RKU) tahunan. Perusahaan mempunyai kewajiban untuk mengalokasikan areal kebunnya untuk kepentingan konservasi satwa. Alokasi area ini yang disesuaikan dengan data area distribusi gajah,” ujar dia.
   
Di sepanjang koridor itu juga akan disiapkan area pakan gajah. Kebun yang akan dilewati juga diberi pengamanan berupa pagar listrik. Gajah yang melintasi koridor berpotensi dikembangkan menjadi daya tarik wisata yang akan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
   
“Dinas Kehutanan Jambi memiliki RKU seluruh perusahaan. Kami butuh data distribusi gajah dari pihak NGO (Non Government Organization). Dari data-data ini kita bisa membuat berbagai konsep kongkrit untuk menyelamatkan gajah Sumatera sebelum diajukan kepada pemerintah pusat,” tegas Agusrizal.(set)


Redaktur : Joni Yanto.

Berita Terkait



add images