iklan <p>
Sigit Eko Yuwono , Upaya Suku Anak Dalam (SAD) menuntut lahannya, yang sudah puluhan tahun 
bersengketa dengan PT Asiatic Persada, hingga kini terus berlangsung di 
halaman Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Prov Jambi. (Foto: Aldi 
Saputra)
</p>

Sigit Eko Yuwono , Upaya Suku Anak Dalam (SAD) menuntut lahannya, yang sudah puluhan tahun bersengketa dengan PT Asiatic Persada, hingga kini terus berlangsung di halaman Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Prov Jambi. (Foto: Aldi Saputra)

Konflik lahan antara mayarakat dengan perusahaan swasta di Prov Jambi tergolong cukup banyak. Setidaknya, saat ini tercatat 40 konflik yang belum terselesaikan tersebar di sejumlah kabupaten.

Sigit Eko Yuwono, Kabid Penanganan konflik di Pemprov Jambi, mengungkapkan jumlah konflik antara masyarakat dengan perusahaan swasta (PT) mencapai 40 kasus. Rencananya pada 2013 ini sebanyak 13 konflik harus bisa diselasaikan dengan baik.

Masalah ini memang sudah mendesak dan harus segera diredam atau diselasaikan, karena masih banyak persoalan konflik lahan antara warga dengan perusahaan yang belum terselesaikan. Ia menuturkan, pihaknya dalam hal ini akan memfasilitasi atau memediasi upaya penyelesaian

‘Masalah konflik ini kebanyakan terkait izin lahan kelapa sawit dan hutan HTI. Sebenarnya ini semua kewenangan pemerintah pusat untuk menyelesaikannya. Kita dari Pemrov maupun Pemkab akan memfasilitasi semua upaya menuju penyelelesain yang permanen,’’ ungkap Sigit, saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (11/4).

Upaya penyelesaian konflik yang saat ini mulai dirintis oleh Pemprov maupun Pemkab, sebut Sigit, antara lain konflik yang terjadi di Senyerang, yaitu antara masyarakat yang didampingi PPJ dengan PT WKS. Kemudian, konflik PT Reki dan PT Asiatic Persada dengan masyarakat sekitar.

Menurut Sigit, proses penyelesaian tidak bisa ditargetkan. Namun, paling tidak ada kemajuan. Sebab, kewenagan untuk menyelesaikan semua itu ada di pemerintah pusat. ‘’Kita hanya coba mendorong,’’ ujarnya.

Konflik itu sendiri muncul, lantaran selama ini masyarakat di sekitar perusahaan belum dilibatkan. Tidak adanya pola kemitraan itu menciptakan kecemburuan sosial. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk terus berlangsung, sehingga lahan pun menjadi terbatas.

‘’Pertumbuhan penduduk meningkat pesat. Otomatis muncul generasi baru, tetapi jumlah lahan tetap. Semua butuh lapangan kerja dan butuh lahan. Ini barangkali salah satu faktornya,’’ beber Sigit.

Proses penyelesaian secara hukum sudah pasti benar, tetapi masalahnya belum selesai. Untuk itu, tukas Sigit, lebih baik dimusyawarahkan. Setelah itu baru diikat secara hukum. ‘’Memang hukum tidak salah, tetapi itu hendaknya jalan terahir,’’ pungkasnya.(*)

Repoter : Aldi Saputra.
Redaktur : Joni Yanto.

Berita Terkait



add images