iklan
Harga komoditi perkebunan sektor andalan provinsi Jambi, karet turun lagi. Turunnya harga karet ini menimbulkan gejolak ekonomi di mana-mana. Bahkan, masyarakat pedesaan terpaksa mengencangkan ikat pinggannya.

Hasan,  warga desa Tambun Arang membenarkan adanya penurunan  harga getah karet. Katanya, harga getah karet mulai turun di pasaran dalam sepekan terakhir ini. Saat ini  harga getah Rp. 8000 per kg, turun dari harga sebelumnya Rp 11.000 per kg.  “Harga ini cukup membuat kami mengeluh sebagai petani karet, maklum berkebun karet merupakan mata pencaharian pokok kami," terang Hasan.

Dikatakannya lagi, sebenarnya untuk harga saat ini bervariasi tergantung dari tengkulaknya masing-masing.  Saat ini harganya ada yang 9 ribu dan ada yang sudah 8 ribu. Namun, tidak ada yang melebihi harga 9 ribu, kecuali harga lelang. " Kemungkinan kalau harga lelang masih 10 ribu," ucapnya.

Hasan berharap, semoga penurunan harga getah ini tidak berlangsung lama. Pasalnya, jika kondisi tetap bertahan seperti ini petani akan terus menjerit ditengah - tengah harga kebutuhan pokok yang semakin mahal.

Sementara itu, Heriyanto petani getah sekaligus pengumpul getah di Kecamatan Rimbo Bujang mengungkapkan hal yang sama.  Dikatakannya, harga getah untuk saat ini sedang tidak stabil dan bisa dikatakan anjlok. Pasalnya, turunnya harga getah ini sudah terjadi selama dua pekan.
" Turunnya harga getah karet berdasarkan harga getah karet di pabrik yang juga turun," tukasnya.

Diungkapkan, dengan harga yang cenderung murah tentunya kami sebagai petani sangat mengeluhkan dengan kondisi tersebut. Apalagi ditambah pula dengan hasil getah yang kurang maksimal.

Salah seorang petani di Kecamatan Jujuhan, Suparjo juga mengakui sepekan terakhir karet terus turun. Bahkan pernah mencapai Rp 8 ribu perkilo. “Harga ini membuat kami mengeluh,” pungkasnya.

Dia berharap, penurunan harga karet ini tidak berlangsung lama. Pasalnya, jika kondisi tetap bertahan seperti ini petani akan terus menjerit di tengah-tengah harga kebutuhan yang semakin mahal.

Filda Defriani, Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri, Dinas Perindustrian Provinsi Jambi menjelaskan, turunnya harga karet ini disebabkan dua hal. Diantaranya, krisis ekonomi dunia. Selain itu juga persiangan kualitas karet dari negara tetangga pesaing yang juga memproduksi karet, yakni Thailand dan Malaysia.

Kedua negara itu, saat ini juga masih menggunakan indikasi harga karet dari Singapura. “Saat ini, Kementerian Perindustrian Perdagangan sedang membahas dengan 2 negara lainnya itu untuk membuat kesepakatan agar pedoman harga ditetapkan ke negara masing-masing. Saat ini sedang dibahas oleh tim dari 3 negara itu. Tujuannya agar nilai yang didapatkan petani lebih tinggi,” jelasnya.

Diterangkannya dalam kesempatan itu, dari nilai harga indikasi yang harusnya 100 persen, saat diekspor akan turun nilai yang diperoleh petani menjadi 85 persen. Menurut Filda, 15 persen itu dipotong sebagai biaya transportasi. “Sebab, dari dermaga pelabuhan Talang Duku, diantar produk itu ke ambang luar dan kemudian baru diimpor ke Singapura. Nah, transportasi ini dihargai 15 persen. Makanya harga kita dapatkan hanya 85 persen dari harga Singapura,” sebutnya.

Filda menyampaikan, karet yang nilainya tinggi adalah karet yang kualitasnya bagus dengan Kadar Karet Kering (K3)-nya itu bagus. Kualitas itu sendiri, sambungnya, dipengaruhi dengan beberapa pembeku yang sering digunakan petani.

“Nanti ditingkat petani kan macam-macam pembeku getah ini, ada yang pakai asam semut dan pakai tawas, atau pupuk dan pakai tanpa pembeku. Selain itu, ada Deorap dari asap cair,” ungkapnya.

Diterangkannya, Deorap adalah jenis pembeku yang menjadikan getah menjadi karet dengan kualitas paling baik. “Deorap ini adalah bahan alami yang didapatkan dari bahan alami. Seperti batok kelapa yang dibakar dan ditampung asapnya atau cangkang sawit atau kayu karet itu yang disebutkan deorap. Nah hasil kualitas getahnya  yang terbaik ya itu deorap itu,” jelasnya.

Sementara itu, pemerintah terus mendukung perkebunan karet di provinsi Jambi.  Sejak  tahun 2006 terus melakukan pengembangan lahan karet yang dananya bersumber dari APBD dan APBN. “Di tahun 2013 pengembangan lahan provinsi  yang berasal dari dana APBD yakni 2.585 Ha dan APBN 4.160 Ha,” terang Alder Lubis selaku Kabid Produksi dinas perkebunan provinsi Jambi.

Adapun daerah yang mendapat perluasan dari dana APBD yakni Muarojambi seluas 385 ha, 390 Ha untuk wilayah Muarojambi, Batang hari, Bungo, Tebo, Merangin dan Sarolangun serta 100 hektare di daerah kerinci.

Sementara dana APBN lokasi yang mendapatkan pengembangan yakni wilayah Muarojambi dan Tebo seluas 600 hektare, Sarolangun dan Batang hari 800 hektare, Bungo dan Merangin seluas 580 hektare dan Kerinci seluas 200 hektare. (sumber: jambi ekspres)

Berita Terkait



add images