iklan Zainal Abidin, S.H., M.H.
Zainal Abidin, S.H., M.H.

JAMBIUPDATE.CO, KERINCI - WAKTU terus berjalan, hari berganti menjadi menjadi bulan, begitupun bulan beranjak menjadi tahun, waktu terus berjalan tak menghiraukan keadaan. Zainal tumbuh remaja, setelah menyelesaikan sekolah dasar ia melanjutkan pendidikan di SMP Tanjung Tanah yang kini dikenal dengan SMP Negeri 7 Danau Kerinci yang jaraknya sekitar 3 kilo meter dari Desa Koto Iman. 
Ketika masuk SMP, teman-temannya sudah menggunakan sepeda untuk ke sekolah.

Namun tidak bagi Zainal, dengan segala keterbatasan ekonomi ia harus berjalan kaki menapaki kerikil untuk sampai ke sekolah yang harus ditempuh sekitar lebih kurang 1 jam perjalanan, itu pun kalau hari cerah, bila hujan turun atau jalan becek berlumpur, tentu membutuhkan waktu yang lebih dari lama dari itu. Bagi Zainal apapun kondisinya ia tetap harus sampai ke sekolah untuk menimba ilmu. 

Zainal pada saat itu sudah mulai berpikir lebih matang dari sebelumnya, ia tidak berpikir dan meminta kepada ayahnya Ajumuddin dan ibunya Asriyah untuk dibelikan sepeda sebagai sarana untuk ke sekolah, sepeti yang dimiliki oleh teman-temannya sebaya waktu itu. Karena keadaan memang tidak memungkinkan, jangankan untuk membeli sepeda, dapat makn 3 kali sehari itu sudah bersyukur, Zainal harus menyimpan dalam-dalam hasrat dan keinginannya tersebut.

Walaupun diterpa cobaan hidup, Zainal remaja membuktikan bahwa ia juga mampu berkompetisi dengan teman-temannya, ia selalu berprestasi dalam bidang akademik, berkat semangat dan perjuangan yang tak kenal lelah untuk terus menimba ilmu pengetahuan.

Sehabis pulang sekolah kembali menekuni pekerjaan yang biasa ia lakukan sebagai seorang anak petani, ia ikut bekerja di sawah dengan sebilah cangkul dari siang hingga sore, kemudian malamnya diisi dengan aktivitas belajar, mengerjakan tugas sekolah. Bila libur sekolah datang, Zainal turun ke sawah dari pagi hingga matahari berubah menjadi kemerahan. Tidak ada waktu kosong, selalu diisi untuk membantu kedua orang tuanya, pekerjaan seperti itu ditekuninya hingga sampai SMA.

Zainal Abidin Masuk SMA
Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMP, anak desa ini melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu SMA. Ia memilih SMA Tanjung Tanah, yang kini menjadi SMA 6 Kerinci. Ia berangkat sekolah seperti pada masa SMP, hanya bermodal kedua kaki untuk sampai ke sekolah, sejak SMA Zainal dikenal sebagai sosok yang sangat mudah dan pandai bergaul, baik dengan sesama siswa maupun dengan gurunya di sekolah. Ia dikenal sebagai siswa yang ramah, intelektual dan juga pantang menyerah. Ia juga mampu mempertahankan prestasi akademiknya seperti yang diperoleh saat masih SMP.

Zainal Abidin tetap saja turun ke sawah setiap sorenya, kemudian di hari libur diisi dengan menjadi buruh upah dengan gaji harian. Kadang upahnya diberikan sesuai dengan seberapa kaleng padi yang ia dapatkan bersama ayahnya. Bahkan sering juga Zainal dan ayahnya membantu warga yang berladang jahe di Desa Tarutung yang jaraknya lebih kurang 10 kilometer dari Desa Koto Iman.

Tidak hanya itu saja, Zainal juga sering menjadi buruh proyek tebas layang jalan Lolo-Lempur Kecamatan Gunung Raya, tentu lebih jauh lagi dari Desa Koto Iman, butuh waktu berjam-jam dengan berjalan kaki ke daerah ini. 

Hasil yang ia dapatkan dikumpulkan dan ditabung, kadang ia gunakan untuk jajan sekolah. Membeli pakaian hingga diberikan kepada orang tuanya sebagai uang belanja untuk kebutuhan sehari-hari. Anak desa ini tidak memiliki banyak baju dan celana, kadang baju dan celana hanya dibelikan setahun sekali itupun bila hari lebaran tiba. Kalau tidak ada uang, tentu harus tidak berbaju baru. 

Sewaktu-waktu ketika masih mengenyam pendidikan SMA baju Zainal robek dan tidak layak pakai, ia tidak punya banyak uang untuk membeli pakaian sekolah hingga baju yang robek tersebut, namun baju tersebut tetap harus dipakai dengan hanya diikat dengan seutas tali. 

Ia tak pernah minder, karena niatnya yang tulus untuk menuntut ilmu ke sekolah, bukan untuk pamer pakaian apalagi tampilan, atau hanya sekedar untuk menunjukkan eksistensi. 

Dapat menempuh pendidikan adalah nikmat terbesar bagi anak desa ini. Bagaimana tidak, penghasilan pas-pasan ditambah lagi dengan biaya sekolah tentu menjadi beban yang harus ditanggung oleh Ajumuddin dan Asriyah, namun ia tetap berupaya semaksimal mungkin agar Zainal tetap bisa sekolah setinggi-tingginya selagi tubuh masih dikandung badan harus tetap berjuang walau darah dan nyawa sekalipun menjadi taruhannya. Semuanya dilakukan agar nasib Ajumuddin dan Asriyah tidak diwariskan kepada Zainal dan keluarganya nanti. Cukup merekalah yang merasakan pahitnya cobaan hidup dihimpit dengan kemiskinan dan keterbatasan.

Amat besar cobaan yang ditanggung keluarga ini, cobaan yang datang bagaikan angin yang berhembus kapanpun ia mau, kadang bersemilir lembut dan kadang bertiup kencang. Namun tetap hanya pohon yang akarnya mampu menghujam ke lapisan tanah lah yang akan bertahan di balik guncangan badai. 

Badai hanya menyisakan pohon-pohon yang kuat dan perkasa, begitupun dalam kehidupan ini cobaan adalah sebuah suratan dari Tuhan untuk hamba yang dicintai-Nya, menaikkan kualitas diri, kesabaran, keimanan, dan tentu yang bisa lulus adalah manusia yang sabar dan tak putus asa. 

Tak sampai di situ, setelah Zainal menyelesaikan pendidikan SMA, lagi-lagi Ajumuddin dan Asriyah harus berpikir keras untuk pendidikan Zainal ke depannya. Tentu untuk melanjutkan jenjang perkuliahan akan banyak membutuhkan biaya, sementara untuk makan sehari-hari saja Wallahu A lam Bishawab. (bersambung)

*Dikutip dari buku Perjalanan Sang Anak Desa: Zainal Abidin, S.H., M.H. (Inspirasi untuk Semua Kalangan) ditulis oleh Priyoga Utama.


Berita Terkait



add images