iklan Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Ihsan Yunus.
Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Ihsan Yunus.

JAMBIUPDATE.CO, JAMBI- Kemudahan dalam pengurusan izin berusaha yang akhirnya bertujuan meningkatkan investasi adalah landasan utama diberlakukannya pelaksanaan pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau Online Single Submission (OSS). Payung hukum OSS akhirnya dikeluarkan ketika Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2018.

Sejatinya OSS sendiri telah diniatkan untuk diimplementasikan sejak Maret 2018, namun sayangnya, lembaga yang bertugas mengelola dan menyelenggarakan OSS, Basan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dinilai belum juga siap. Ketidaksiapan BKPM ini membuat pelaksanaan sistem OSS yang harusnya dilakukan BKPM diambil alih oleh Kementrian Koordinator Perekonomian.

Persoalan OSS yang diambilalih oleh Kementrian Koordinator Perekonomian dari BKPM ini menjadi salah satu pokok persoalan yang dibahas antara Komisi VI DPR RI dan BKPM dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), Rabu 4 Juli 2018 yang lalu.

Pengambilalihan ini merupakan salah satu hal yang diatur dalam PP tentang OSS di mana BKPM diberikan waktu enam bulan sampai benar-benar dianggap siap untuk menyelenggarakan OSS.

Hal ini membuat, hingga enam bulan ke depan sampai adanya evaluasi tentang kesiapan BKPM, OSS akan diselenggarakan oleh Kementrian Koordinator Perekonomian sedangkan BKPM terpaksa memberhentikan segala proses dan penerbitan usaha secara nasional.

Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Ihsan Yunus yang mewakili Daerah Pemilihan (Dapil) Jambi, menyoroti persoalan transisi OSS ini yang dia nilai tidak smooth. Biasanya, masa transisi sebuah peraturan perundang-undangan karena adanya kebijakan baru tidak tergesa-gesa seperti ini. Lagipula BKPM masih ada Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang bisa tetap dilaksanakan sampai BKPM benar-benar siap melaksanakan OSS, kata Ihsan.

Ihsan juga mempersoalkan nomenklatur tugas Kementrian Koordinator Perekonomian yang harusnya fokus dalam mengoordinasi beberapa kementrian dan bukannya mengurus administrasi perizinan penanaman modal yang mana berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sudah diserahkan kepada BKPM.

Tidak hanya secara hierarkis peraturan perundang-undangan bermasalah karena PP tentang OSS yang lebih rendah bertentangan dengan undang-undang penanaman modal yang levelnya lebih tinggi, tapi juga persoalan ini memperlihatkan lack of trust atau rendahnya kepercayaan dari Presiden terhadap kinerja BKPM di bawah Thomas Lembong. Secara politik pemerintahan ini bukan kondisi yang ideal, lanjutnya.

Dalam pendapatnya, Ihsan Yunus juga mempersoalkan beberapa ketentuan PP tentang OSS yang berpotensi ditafsirkan bertentangan dengan undang-undang penanaman modal. Sebagai contoh adalah pengaturan mengenai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Sudah jelas dalam undang-undang penanaman modal bahwa KEK ditetapkan lewat kebijakan tersendiri dan harus diatur undang-undang. Contoh mudahnya dulu Batam dijadikan KEK dengan undang-undang. PP tentang OSS malah atur pemberian status KEK bisa pula lewat OSS. Ini justru menunjukkan ketidakrapian berpikir secara hukum dari pemerintah, kritik Ihsan.

Intinya dalam RDP kali ini, Ihsan menggaris bawahi kebijakan OSS yang terlalu tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan hierarki peraturan perundang-undangan dan nomenklatur tugas dan wewenang masing-masing kementrian dan lembaga yang sudah digariskan peraturan perundang-undangan yang ada. (aiz)


Berita Terkait



add images