iklan

JAMBIUPDATE.CO, Pemerintah dan DPR RI kembali melanjutkan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai amendemen dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Salah satu poin yang menjadi ihwal krusial RUU ini adalah soal kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Terjadi perdebatan dalam melihat kelembagaan KPPU antara DPR, seabagai inisiator RUU, dan pemerintah yang memberikan masukan-masukannya. DPR menilai posisi KPPU sebagai lembaga independen harusnya dipertegas dengan mendefinisikannya sebagai lembaga negara dalam ketentuan umum. Salah satu implikasi pendefinisian KPPU sebagai lembaga negara ini adalah menjadikan pegawai KPPU sebagai aparatur sipil negara dan komisioner KPPU sebagai pejabat negara.

Pemerintah, berbeda dengan DPR, justru memberikan masukan untuk menghapus nomenklatur KPPU dari RUU. Pemerintah menggunakan istilah "lembaga pemerintah" untuk mengganti KPPU. Lembaga pemerintah yang dimaksud adalah lembaga non struktural di bawah Presiden. Patut pula digarisbawahi bahwa masukan pemerintah tidak lagi memasukkan ketentuan yang mengedepankan independensi KPPU.

Hal inilah yang dianggap Ihsan Yunus, anggota DPR RI dari Komisi VI, PDI Perjuangan, Daerah Pemilihan (Dapil) Jambi, telah meletakkan independensi penegakan hukum persaingan usaha diujung tanduk. Independensi otoritas pegawas persaingan usaha itu diperlukan untuk mengawasi keadilan usaha tanpa intervensi politis. Dalam beberapa putusannya, KPPU bahkan menemukan kebijakan pemerintahlah yang terkadang justru anti persaingan sehat di pasar. KPPU juga beberapa kali menemukan oknum pemerintah yang berlaku curang dalam kegiatan tender dengan memenangkan salah satu peserta tanpa proses yang fair, tukas Ihsan.

Kalau nomenklaturnya hilang dari undang-undang, independensinya dicabut, sama saja kita mendukung praktik-praktik anti persaingan makin marak terjadi, terlebih yang melibatkan oknum pemerintah. Ini tidak jauh beda dengan kegiatan korupsi, lanjut Ihsan.

Ihsan juga menyoroti urgensitas untuk berlaku lebih tegas terhadap kegiatan kartel. Hal ini ditunjukkan dengan pengaturan yang tidak mewajibkan KPPU membuktikan dampaknya terlebih dahulu sebelum menghukum pelaku-pelaku usaha yang melakukan kartel. Di berbagai negara, dan ini lazim, kalau unsur-unsur kartel itu sudah terpenuhi seperti adanya penimbunan atau penetapan harga antara beberapa pengusaha, otoritas persaingan pasti akan langsung hukum tanpa harus lihat apakah ada dampaknya seperti adakah kenaikan harga atau tidak, imbuh Ihsan.

Kartel ini kejahatan berat dalam kacamata persaingan usaha. Treatment-nya juga tidak main-main dan dendanya harus setinggi-tingginya agar ada efek jera. Sudah bukan rahasia bahwa salah satu persoalan tingginya harga pangan di Indonesia karena maraknya kartel, lanjut Ihsan lebih jauh. Ihsan berharap RUU yang masih terus digodok ini akan memberikan taring baru bagi penegakan hukum persaingan usaha demi tercapainya keadilan usaha dan perlindungan terhadap masyarakat dari praktik-praktik bisnis yang curang.(aiz)


Berita Terkait



add images