iklan Ketua Majlis segketa proses Pemilu, Asnawi memimpin sidang putusan  sidang ajudikasi Ajudiksi yang diajukan termohon PAN dan PBB.
Ketua Majlis segketa proses Pemilu, Asnawi memimpin sidang putusan sidang ajudikasi Ajudiksi yang diajukan termohon PAN dan PBB.

JAMBIUPDATE.CO, JAMBI- Nasib pencalonan mantan narapidana korupsi sebagai anggota DPRD Provinsi Jambi masih menuai polemik. Soalnya Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) meminta agar jajarannya di daerah untuk menunda  pelaksanaan putusan ajudikasi Bawaslu.

Ini disampaikan KPU RI melalui surat edaran nomor : 991/PL.01.4-SD/06/KPU/VIII/2018 dengan perihal pelaksanaan putusan Bawaslu mengenai mantan terpidana korupsi. Pernyataan ini tertuang pada poin keempat edaran yang diterbitkan tertanggal 31 Agustus 2018 lalu.

Penundaan dilakukan sampai dengan keluarnya putusan uji meteri Mahkamah Agung (MA) terhadap PKPU nomor 20 tahun 2018 dan PKPU nomor 26 tahun 2018 tentang perubahan kedua atas PKPU nomor 14 tanun 2018.

Disisi lain Bawaslu Provinsi Jambi dalam amar putusan ajudikasi penyelesaian sengketa proses Pemilu meminta agar KPU melaksanakan putusan selambat-lambatnya tiga hari sejak putusan dibacakan. Dimana Bawaslu Provinsi Jambi meminta KPU memperbaiki keputusan nomor37/Kpts/KPU-Prov-005/2018 tentang Penetapan Daftar Calon Sementara (DCS) Anggota DPRD Provinsi Jambi Pemilu 2019 dengan memasukan nama Abdul Fattah dan Nasrullah Hamka.

Pengamat hukum tata negara, Harry Setya Nugraha, S.H., M.H mengatakan untuk mewujudkan kepastian hukum sudah seharusnya KPU melaksanakan putusan Bawaslu. Hal ini penting agar proses penyelengaraan Pemilu yang sudah terjadwal tidak menjadi terganggu.

Walupun ada edaran yang meminta untuk menunda, tapi jangan sampai mengakibatkan ketidakpastian hukum terhadap proses penyelenggaraan Pemilu, ujarnya

 Harry menjelasakan, dalam kasus seperti ini semua pihak tidak boleh mengesampingkan fakta hukum. Dimana selama belum ada putusan MA, maka ajudikasi Bawaslu harus dijalankan. Intinya jangan ada ketidakpastian hukum, harus ada kejelasan terhadap status pada pemohon yang mengajukan ajudikasi, terangnya.

Harry menilai semangat untuk menolak eks napi korupsi sangat baik karena sejalan dengan proses pendewasaan demokrasi. Apalagi demokrasi itu bukan berkahir ketika kita menentukan pilihan ditempat pemungutan suara.

Tapi demokrasi itu bagaimana kita melahirkan pemimpin yang memiliki kualitas dan berintegritas dengan ditunjukkan ketika dirinya tidak pernah melakukan tindakan yang bertentangan dengan perundang-undangan, katanya.

Kemudian, Dosen Universitas Jambi (Unja) ini menyebutkan semangat ini juga sejelan dengan negera dalam upaya pemberantasan korupsi. Apalagi Indonesia berada pada angkat yang cukup tinggi daftar negera terkorup di dunia.

Hanya saja aturan ini perlu ditungkan dalam Undang-undang mengingat pasal 28 UUD dan pasal 70 dan 72 UU hak azasi manusi yang secara tegas mengatakan pembatasan hak warga negera bisa dilakukan sepanjang itu dilakukan level UU melalui putusan pengadilan, terangnya.

Lalu sudah tepatkan putusan yang dikeluarkan Bawaslu? Harry mengatakan karena posisi Bawaslu dan KPU merupakan penyelenggara negara dan pelaksana UU maka sudah tepat meminta untuk melaksanakan putusan. Apalagi PKPU merupakan aturan pelaksana dari UU yang seharusnya tidak boleh bertentangan dengan UU itu sendiri.

Jika ada permasalahan, maka sudah seharusnya Bawaslu melaksanakan tugasnya berdasarkan UU dan semua itu sudah tepat, tukasnya.(aiz)

 


Berita Terkait



add images