iklan

JAMBIUPDATE.CO, JAMBI - Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) digadang-gadang bakal jadi pencetak tenaga kerja yang siap terjun ke lapangan. Akan tetapi menurut Badan Pusat Statistik (BPS), SMK  justru menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran di Indonesia, hal ini berdasarkan data BPS tahun 2017 yang menyebutkan sebanyak 11,41 persen angka pengangguran berasal dari lulusan SMK. Tak pelak masalah ini mendapat sorotan dari Pimpinan Komisi Pendidikan DPR RI Sutan Adil Hendra (SAH) yang menyoroti ketidaksesuaian antara jumlah lulusan SMK dengan permintaan pasar tenaga kerja

"Lulusan SMK yang digadang-gadang langsung bekerja, malah nganggur. Kami pun berdialog dengan berbagai stakeholder, secara umum ada semacam miss match antara demand side dan supply," ujar SAH dalam sebuah forum di Diskusi Parlemen di senayan beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut SAH menjelaskan, sebenarnya kebutuhan akan tenaga kerja banyak, tetapi tenaga kerja yang tersedia tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan dunia usaha. Sehingga Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR ini mengatakan pembangunan SMK di berbagai wilayah tapi tidak diikuti tata kelola yang baik termasuk laboratorium yang tidak up to date, kurang mendukung keahlian yang dibutuhkan dunia kerja. SAH memberikan contoh bengkel untuk siswa jurusan otomotif.

"Servis bengkel motor masih utak atik karburator, padahal motor-motor zaman sekarang sudah enggak pakai," imbuhnya.

Kenyataan ini memang mau tidak mau dihadapi para calon pekerja. Ia menyoroti bukan lagi soal ketimpangan demand dan supply. Namun soal input. Pertama, input siswa SMK. SMK selama ini memiliki passing grade lebih rendah daripada Sekolah Menengah Atas (SMA). 

SAH pun memberikan contoh perbandingan passing grade antara SMK dan SMA dari hasil seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada 2016. Di Jakarta, passing grade untuk SMA sebesar 79,11 sedangkan SMK 66,17. Kota lain misalnya Semarang, untuk SMA sebesar 58,63 sedangkan SMK hanya 24,50. 

Kedua, input guru. Kini, jumlah SMK di seluruh Indonesia sekitar 13.710 sekolah, tetapi guru produktif hanya 22 persen. Guru produktif ialah guru yang mengajar mata pelajaran jurusan. Sedangkan 78 persen terkait mata pelajaran lain seperti agama, Bahasa Indonesia dan Kewarganegaraan. 

Tak hanya jumlah, persoalan guru ini menurutnya juga terkait kompetensi. Mungkin guru tersebut memang mengampu mata pelajaran produktif tetapi kadang latar belakang pendidikan tak sesuai. Kemungkinan lainnya, latar belakang mendukung, tapi sang guru tak pernah terjun ke lapangan, padahal sekolah kejuruan menuntut anak untuk terlibat aktif bukan duduk, mendengarkan dan menulis. Kesemua masalah ini perlu kita pikirkan jalan keluarnya bagaimana meningkatkan daya saing lulusan SMK tanah air, pungkasnya. (wan) 

 


Berita Terkait



add images