iklan Mochammad Farisi, SH., LL.M
Mochammad Farisi, SH., LL.M

Oleh: Mochammad Farisi, SH., LL.M

Tak terasa kita sudah berada dipenghujung tahun 2018, berbagai peristiwa penting menghiasi perjalan politik bangsa Indonesia khususnya di Provinsi Jambi. Jagat politik Jambi sepanjang tahun 2018 masih belom mencapai kualitas demokrasi yang sebenarnya yaitu demokrasi substansial dimana rakyat menjadi subjek dalam proses demokrasi, dimana rakyat benar-benar terlibat aktif dalam pembangunan daerah melalui saluran suprastruktur dan infrastuktur politik yang ada. 

Selama 2018 baik di tingkat nasional maupun Provinsi Jambi yang terasa adalah demokrasi berjalan dalam konteks prosedural, para elit politik sibuk bermain intrik, tidak ada pendidikan politik, yang ada hanya bagaimana duduk di kursi kekuasaan, berkuasa sebanyak mungkin dan selama mungkin, caranya kadang menabrak semua norma yang ada, tak ada lagi rasa malu bahkan dosapun dianggap angin lalu.

Saya coba memotret beberapa kejadian politik nasional maupun lokal yang terjadi sepanjang tahun 2018. Potret pertama saya buka dengan sejarah kelam pelacuran politik atau korupsi APBD Provinsi Jambi 2018. Awal tahun politik 2018 dibuka dengan lembaran ditetapkannya Gubernur Jambi sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan kasus gratifikasi sejumlah proyek yang kemudian berujung pada kasus ketok palu. Episode demi episode persidangan pun mengungkap fakta bagaimana praktek kongkalikong antara oknum Pemerintah Provinsi dengan oknum anggota DPRD Provinsi. Ekses politik dari kasus ini adalah Wakil Gubernur Jambi menjadi Plt. Gubernur.

Potret kedua yaitu seleksi penyelenggara pemilu ditengah-tengah kesibukan mereka menjalankan tahapan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Seleksi dilakukan Timsel untuk menseleksi anggota KPU & Bawaslu Provinsi serta KPU & Bawaslu Kabupaten/Kota. Singkat ceritanya dari seleksi ini adalah muncul adagium Uji ilmu jadilah akademisi, uji integritas jadilah Timsel dan uji lobi jadilah peserta seleksi 

Potret ketiga, Pilkada Serentak 2018, tiga daerah disingkat Kemeja (Kerinci, Merangin, Jambi) mengadakan hajatan yang menguras kocek APBD hingga puluhan milyar rupiah. Yang menarik adalah semua kepala daerah petahana pecah kongsi dengan wakilnya, masing-masing mencalonkan diri sebagai kepala daerah, hal ini menguatkan adagium dalam politik tak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Yang unik lagi dari pilkada Kemeja adalah semua paslon petahana mendapatkan nomor urut dua (2) dan tuah nomor tersebut terbukti ampuh menjadikan meraka duduk kembali memimpin dua periode.

Potret keempat, politik identitas menguat pasca aksi 212 dan sinetron Pilkada DKI Jakarta. Menghadapi Pemilu 2019 isu agama sangat kuat dihembuskan untuk memetakan basis dukungan, umat islam menunjukkan gairah politiknya, agama dibawa-bawa diseret-seret dalam kepentingan politik untuk merebut kekuasaan, para ulama terbelah dua, ada yang pro pemerintah dan ada yang tegas oposisi, ceramah-ceramah agama tidak lagi berkutat soal fikih pribadi, tapi mengajak peduli terhadap calon pemimpin. Di Jambi isu agama memang tidak mencuat tajam, karena mayoritas penduduk islam, namun isu politik kesukuan masih mewarnai pilkada di tiga daerah pilkada (Kemeja).

Potret kelima, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 20 Tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota di Pemilu 2019 yang melarang mantan napi koruptor nyaleg juga menjadi drama antar penyelenggara pemilu dan juga peserta pemilu. Meskipun ada aturan tersebut, ternyata masih banyak partai politik yang mengajukan mantan napi korupsi menjadi caleg, Jambi pun tak ketinggalan masuk dalam daftar hitam KPU karena masih ada mantan koruptor yang nyaleg. Polemik aturan ini juga menghiasi lacar kaca televisi selama beberapa bulan, KPU dan Bawaslu berbeda pendapat terkait Pasal 4 ayat 3 PKPU 2018 ini, akhirnya putusan MA yang mengabulkan uji materi terhadap PKPU ini mengakhiri drama dan para mantan koruptorpun tersenyum kegirangan. 

Potret keenam, saling sikut pendaftaran antar caleg diinternal partai politik juga sangat sengit, akhirnya banyak anggota dewan petahana yang maju nyaleg lewat perahu lain. Persoalan muncul tatkala syahwat politik kekuasaan tak bisa dikendalikan, peraturan mengatur bahwa bila maju menjadi caleg dari parpol lain maka tentu harus mundur dari parpol lama dan tentunya berkonsekwensi berhenti menjadi anggota dewan dan di PAW. Namun aturan hukum coba dicari celah, meng-hire pendekar hukum untuk bersilat lidah, mengajukan gugatan atas putusan pemberhentian sebagai anggota dewan ke PTUN dan dimenangkan. Sebuah dinamika politik yang terjadi dipenghujung tahun 2018 di Kabupaten Sarolangun dan Merangin.  

Potret ketujuh, peristiwa politik terakhir adalah putusan pengadilan Tipikor terhadap Gubernur Jambi non aktif Zumi Zola 6 tahun penjara dan denda 500 juta subsider 3 bulan kurungan dan juga dicabut hak politiknya selama lima tahun. Sebelum vonis majelis hakim, duka juga menyelimuti keluarga zumi zola, ayahanda Zulkifli Nurdin tokoh politik Jambi, Gubernur Jambi 2 periode meninggal dunia, runtuh sudah trah politik keluarga ZN sebutan almarhum, dan sampai saat ini belum muncul sosok pengganti yang akan menuruskan karir politik keluarga. 

Akibat dari putusan inkrah adalah Wakil Gubernur Jambi yang sekarang menjabat sebagai Plt. Gubernur Akan segera dilantik menjadi Gubernur. Yang menarik adalah siapakah yang akan mengisi kekosongan wagub? Jelang Pemilu 2019 ini, saya yakin tarik menarik dukungan akan sangat alot, tapi bagi rakyat siapapun wagubnya, asalnya dari partai mana tidaklah penting, yang pasti harus bisa kerja, klik dengan gubernur, saling melengkapi, bersinergi, kreatif dan inovatif mengejar ketertinggalan pembangunan Prov. Jambi.

Potret kedelapan, energi KPK akan segera diarahkan untuk mengusut anggota DPRD penerima suap Zumi Zola, melihat fakta persidangan bisa jadi kasus korupsi massal dan penahanan 41 anggota DPRD Kota Malang bakal terjadi di Jambi. Terbukti hari Jumat 28 Desember 2018 kemari menjadi Jumat Keramat, KPK menetapkan 13 orang yang terdiri dari unsur pimpinan DPRD, pimpinan fraksi, anggota DPRD dan Swasta menjadi tersangka kasus suap ketok palu pengesahan RAPBD Jambi 2018. Sebuah hadiah akhir tahun bagi rakyat Jambi yang menjadi korban keganasan mafia-mafia politik yang telah merampok uang rakyat. Semoga kasus ini menjadi shock therapy dan pelajar penting bagi caleg 2019 juga bagi rakyat Jambi untuk lebih cerdas, teliti dan benar-benar mempelajari trackrecord caleg yang akan dipilih Rabu, 17 April 2019 nanti. 

Akhirnya lembaran akhir tahun 2018 akan segera kita tutup, mengevaluasi segala pekerjaan merupakan keharusan yang harus dilakukan, susun semua rencana kedepan dengan lebih baik. Kusus Pemilu Serentak 2019, semoga hajatan besar yang menghabiskan uang APBN puluhan Triliun bisa berjalan damai, luber dan jurdil. Ingat..!! pemimpin dan wakil rakyat yang baik tidak turun dari langit, kita masyarakat yang menentukan, Pemilu 2019 adalah momentum untuk memperbaiki nasib bangsa dan daerah kita, apakah semakin maju atau terpuruk lima tahun kedepan. Rakyat harus cerdas, pilih wakil rakyat yang benar-benar mampu bekerja dan menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. 

Menutup Kaleidoskop Politik 2018 ini, grand design pendidikan politik yang berkelanjutan merupakan langkah yang harus segera dilakukan, masyarakat harus dirubah pola fikirnya, bahwa kita masyarakatlah yang butuh pemimpin, memilih dalam pemilu bukan hanya sekedar hak, namun sebuah kebutuhan, kebutuhan kita untuk mendapatkan pemimpin dan wakil rakyat yang amanah yang mampu mengelola APBD untuk kesejahteraan rakyat. Insya-Allah dengan pendidikan politik yang massif demokrasi subtantif akan segera terwujud.(*)

Penulis adalah Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (KOPIPEDE) Prov. Jambi

Akademisi di Fakultas Hukum dan FISIPOL Univ. Jambi


Berita Terkait



add images