iklan

JAMBIUPDATE.CO, TAIWAN - Isu mengenai adanya mahasiswa Indonesia menjalani kerja paksa di Taiwan sempat menjadi polemik. Program Industry Academia Collaboration atau kuliah sambil magang di Taiwan memang banyak bermasalah di daerah Tainan, Taiwan bagian selatan.

Jawa Pos, Selasa (8/1) meluncur ke sana untuk menemui mahasiswa program kuliah magang asal Bangka Belitung.

Remaja 19 tahun itu mengikuti program kuliah magang di Chia Nan University of Pharmacy and Science itu menjelaskan sebelum berangkat ke Taiwan sebenarnya sudah lolos SBMPTN di kampus Universitas Sriwijaya (Unsri) jurusan kesehatan masyarakat.

"Kemudian saya lepas. Saya pilih program ini karena tidak ingin membebani orang tua," kata sulung dari empat bersaudara itu.

Mahasiswa yang disebut namanya Muh itu mengatakan, berangkat ke Taiwan pada September 2017. Melalui skema kerjasama antara Pemprov Bangka Belitung dengan Hongfu International Technology. Sampai pada akhirnya kerjasama ini diakhiri pada 8 Agustus 2018 lalu.

Dia lantas menceritakan keseharian selama mengikuti program kuliah magang itu. Anak seorang ibu yang berprofesi menjahit itu menjelaskan, tinggal berenam di dalam kamar berukuran 8x4 meter dan tanpa ada ventilasi atau jendela. Kamar tersebut bukan asrama milik kampus.

Tetapi asrama sebuah agensi yang juga merekrut tenaga kerja biasa alias bukan mahasiswa. Bahkan selama 3-4 bulan pertama dia sempat sekamar dengan tenaga kerja pabrik. "Untung orangnya baik," jelasnya.

Muh tidak bisa mengantarkan melihat asramanya karena lumayan jauh dari Tainan. Lokasinya ada di daerah Guiren. Tapi dia menunjukkan foto beberapa sudut kamar di asramanya. Untuk kamar mahasiswa, terdiri dari enam ranjang susun.

Mahasiswa tidur di bagian atas. Sementara di bagian bawah untuk belajar. Sementara untuk toilet buang air kecil rame-rame. Sedangkan untuk mandi terdiri dari beberapa bilik.

Dia sempat mengeluhkan kondisi asrama tersebut. Sampai akhirnya beberapa hari lalu, pihak kampus akan mencarikan tempat asrama lain khusus mahasiswa program kerja magang. Jadi tidak dikumpulkan bersama dengan tenaga kerja lain.

Kemudian dia menjelaskan sistem kuliah sambil magangnya. Pada semester pertama dia kuliah dua hari dan bekerja tiga hari. Dengan durasi kerja delapan jam per harinya. Sementara dua hari libur.

Kerjanya adalah mengemas (packing) kacamata. Sama sekali tidak ada hubungan dengan jurusan kuliah teknik informatika yang dia ambil.

Memasuki bulan ke sembilan, durasi kuliahnya dikurangi menjadi sehari saja. Setiap Senin. Sementara magangnya ditambah menjadi 10 jam tiap hari. Tetapi pada akhirnya dia bersama sekitar 15 mahasiswa program kuliah magang berhenti bekerja. Sebab kampus mengakhiri kerjasama dengan perusahaan kacamata itu.

Alasannya beragam. Mulai dari sering telat membayar gaji mahasiswa peserta magang. Sampai adanya pemotongan gaji. Urusan pembayaran gaji banyak bermasalah. Sebab gaji dibayarkan melalui agensi di Taiwan. Sementara kampus juga membutuhkan uang tersebut untuk operasional perkuliahan.

Pada kondisi normal Muh bisa mendapatkan gaji sampai 22 ribu NT atau sekitar Rp 10 juta (1 NT sekitar Rp 458) setiap bulan. Namun dia jarang menerima gaji penuh. Dia pernah mengalami pemotongan gaji sampai 5.000 NT.

Menurutnya dengan gaji 22 ribu NT sejatinya cukup. Sebab beban biaya hidupnya tidak sampai sebesar itu. Untuk makan dia menghabiskan rata-rata 5.000 NT/bulan (Rp 2,2 juta).

Jawa Pos mengalami sendiri susah mencari makan dengan harga di bawah 100 NT untuk sekali makan. Makan seporsi nasi dengan dua lauk tempe goreng dan sayur nangka ditambah teh manis di rumah makan Indonesia sudah 100 NT. Kemudian biaya kuliahnya 2.000 NT/bulan dan sewa kamar asrama di agensi 1.000 NT/bulan.

Tetapi sayangnya setelah tidak ada kegiatan magang sejak Oktober lalu, Muh dan beberapa rekannya tidak ada pemasukan. Sementara biaya sehari-harinya terus jalan.

Bahkan karena dia tidak kerja, uang sewa kamar asramanya naik menjadi 3.000 NT/bulan (Rp 1,3 juta). Akhirnya dia mengaku saat ini memiliki hutang ke kampus sekitar 21 NT atau Rp 2,9 juta.

Dia berharap informasi dari kampus bahwa segera mendapatkan tempat magang pada Februari depan, benar terwujud. Sehingga dia memiliki pemasukan lagi.

Khususnya untuk membayar tunggakan biaya pendidikan maupun asramanya. Dia tidak bisa mengandalkan uang tabungan dan pendapatan dari jual beli online yang dia lakukan di Taiwan.

Bagi Muh program kuliah sambil magang yang dia ikuti bukan berarti harus dibubarkan. "Tetapi ditata atau diperbaiki," tuturnya.

Dia mengatakan pergi ke Taiwan sejak awal untuk kuliah dengan baik dan benar. Seperti lazimnya orang kuliah program sarjana pada umumnya. Kalaupun ada magang, harus sesuai dengan jurusan kuliahnya.

Dia menjelaskan saat ini ada tawaran perjanjian yang dibuat kampus dengan mahasiswa peserta program itu. Yakni memberikan pilihan kepada mahasiswa. Pilihannya adalah kuliah sambil magang 20 jam; kuliah dan magang 20 jam ditambah kerja part time 20 jam (total 40 jam); memutuskan meninggalkan program kelas internasional akademi-industri.

Ketua PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) di Tainan Rizki Revianto Putera mengakui bahwa program kuliah sambil magang banyak terjadi di Tainan. "Kita tetap satu suara. Untuk kawal kasus ini," kata mahasiswa program doktor di National Cheng Kung University asal Surabaya itu.

Dia berharap persoalan mahasiswa peserta program kuliah sambil magang benar-benar dicarikan solusinya.

"Jangan sampai ke sini niatnya kuliah, tapi ijazahnya tidak terpakai," tuturnya. Tidak terpakai dalam artian Kemenristekdikti tidak bisa mengakui ijazah sarjana mahasiswa ini. Sebab program magang yang memiliki beban SKS, ternyata ditemukan tidak sesuai dengan jurusan kuliahnya.

Kemudian dia juga menuntut supaya rekrutmen mahasiswa program kuliah magang tetap diawasi pemerintah Indonesia. (wan)


Sumber: jpnn.com

Berita Terkait



add images