iklan Jelang pemilu serentak 2019, banyal kembaga survei berlomba-lomba merilis hasil risetnya. Dugaan survei peseanan pun menyeruak di publik. (Dery Ridwansyah/JawaPos.com)
Jelang pemilu serentak 2019, banyal kembaga survei berlomba-lomba merilis hasil risetnya. Dugaan survei peseanan pun menyeruak di publik. (Dery Ridwansyah/JawaPos.com)

JAMBIUPDATE.CO,  Pemilihan umum (pemilu) untuk presiden maupun anggota legislatif sudah makin dekat. Kurang dari 50 hari legi jelang hari pencoblosan. Terutama untuk pemilihan presiden (Pilpres), banyak lembaga survei yang rutin menyampaikan elektabilitas masing-masing pasangan calon. Ada yang mirip-mirip hasilnya, namun ada juga yang merilis hasil berbeda.

Hasil riset lembaga survei khususnya politik terkadang masih kerap dipertanyakan publik. Salah satunya, soal banyaknya penduduk Indonesia yang mencapai 280 juta orang, namun hanya diwakili 1.200 hingga 2.800 responden. Hasil yang tidak sesuai harapan, juga kerap membuat lembaga dituding menjadi partisan.

Beberapa kejadian perbedaan hasil sudah banyak terjadi. Misalnya di Pilkada DKI Jakarta 2017. Charta Politica pada putaran kedua memprediksi elektabilitas pasangam Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat di atas Anies Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno dengan angka 47,3 persen berbanding 44,8 persen.

Kesalahan yang lebih fatal terjadi di Pilkada Jawa Barat 2018. Hampir semua lembaga survei meleset jauh dalam memprediksi elektabilitas pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu.

Misal, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) hanya memprediksi 7,9 persen; LSI Denny JA 8,2 persen; dan Indo Barometer 6,1 persen. Sedangkan hasil resmi KPU Sudrajat-Syaikhu memperoleh suara 28,7 persen.

Publik pun kemudian kerap mengeluhkan masih ada lembaga survei yang asal dan metodologinya dipertanyakan. Namun, ironisnya, saat ini belum ada UU yang bisa menghukum lembaga itu apabila terbukti metodologi yang dipakai Žhanya untuk penggiringan opini.

Karena, apabila tidak ada sanski yang diberikan, maka lembaga survei bisa seenaknya saja membohongi masyarakat dengan penggiringan opini. Metodeloginya juga tidak jelas.

Untuk menjelaskan hal itu, JawaPos.com melakukan wawancara dengan Peneliti Senior Founding Father House (FFH) Dian Permata dan Guru Besar yang juga pakar statistik dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Khairil Anwar Notodiputro.

Berikut wawancara lengkapnya:

Berapa idealnya responden untuk survei pemilu jika dilakukan di Indonesia yang penduduknya sangat banyak?

Dian: Sebetulnya jumlah responden 1200 itu angka yang paling moderat. Angka itu juga bagi saya bisa menjadi potret pemilih berdasarkan demografi nasional. Sudah terbukti kalau soal itu. Asal  taat azaz dan metodologi.

Khairil: Kalau memakai simple random sampling sih sudah cukup. Tapi setau saya, mereka (lembaga survei) bukan pakai simple random sampling. Tapi, multistage sampling. Jadi, kalau gunakan multistage random sampling agak kurang besar sampelnya.

Sekarang trennya ada yang 1.200 atau 2,000 responden. Masih terlalu besar margin of error-nya. Walaupun diklaim cuma 2,5 persen atau 3 persen, saya sendiri agak ragu karena bukan pakai simple random sampling.

Kenapa 1.200 atau 2.000 responden menjadi tren atau angka moderat?

Dian: Riset itu sebetulnya tergantung pada dua hal. yakni dana dan waktu. Logikanya, semakin banyak responden digunakan maka bisa makin banyak duit yang dihabiskan. Waktunya juga bisa semakin lama.

Soal berapa banyaknya responden, itu kembali lagi pada dua hal tadi tadi. Misal anggap saya ada Rp 600 juta dengan multistage random sampling nasional maka harga yang cocok itu berapa responden. BIsa jadi, ternyata harganya cocok dengan 1.200 responden.

Kalau duit saya Rp 1,2 miliar kan logikanya bisa dapat 2.400 (responden) karena 1.200 responden seharga Rp 600 juta dikali dua. Tapi, semakin banyak responden yang digunakan, banyak pula potensi fraud atau penyimpangan. Kesalahan non sampling misalnya, petugas survei ada yang sakit, jadi sangat mungkin terjadi beberapa kesalahan teknis. Memang tidak ada rumus yang ajeg, karena kembali lagi uang dan waktu yang menentukan.

Jika seperti itu, apakah idealnya pemesan survei disampaikan juga?

Dian: Ya memang etiknya di World Association for Public Opinion Research (WAPOR) sebenarnya identitas klien harus dibuka. Namun, problemnya di Indonesia ada istilah etika ketimuran yang sepertinya enggan membuka siapa sih kliennya, siapa sih yang membiayainya.

Contohnya, FFH selalu declare riset ini dibiayai oleh pemerintah. Soal hasilnya menguntungkan pemerintah itu soal lain, ini balik lagi soal moral. Memang, umumnya harus disebutkan siapa yang memberikan.

Misalnya ada lembaga riset ternyata disewa kubu 01 atau 02, ketika mereka sampaikan, layaknya mereka mengumumkan siapa sih yang membiayai. Biar publik yang menilai, apakah riset ini netral atau tidak. Melenceng atau tidak dari arah metodoligi peneliti.

Saat ini, sudah ada lembaga survei yang ngaku sudah terdaftar di WAPOR. Nah, salah satu etik moral harus ngomong siapa yang biayai risetnya. Tetap harus diumumkan, meskipun dana risetnya hanya Rp 25 juta. Sebab, itu etiknya.

Khairil: Lebih baik disebutin, supaya lebih fairŽ. Menurut saya, lembaga survei ada juga yang terbuka dan ada juga yang menutup identitas kliennya. Dalam politik biasanya jarang yang berani terbuka.

Di Indonesia, adakah lembaga survei yang mampu membiayai diri sendiri?

Dian: Susah juga yah untuk menjawabnya. Umumnya gini, kalau mereka anggap membiayai sendiri, mereka sudah bisa masuk kategori filantropi.

Pertanyaannya, berapa sih kekayaan pemilik lembaga survei ini sehingga bisa filantropi? Selain itu ada berapa orang di Indonesia yang masuk kategori filantropi? ada berapa banyak orang Indonesia seperti Bill Gates yang kekayaannya memang sudah banyak dan tidak bisa dihitung lagi. Dari situ bisa dijawab, si lembaga survei bisa membiayai diri sendiri atau tidak. Kalau saya sih mengujinya dari situ saja.

Apakah ada keraguan independensinya akan dipertanyakan jika diungkap yang membiayai risetnya?

Dian: justru pertaruhannya, kalau dibayar apakah independensinya didagangkan atau tidak. Kan begitu. Biarkan hasil survei yang mengujinya. Biarkan waktu yang berbicara, dan publik yang menilai.

Khairil: Idealnya lembaga survei ini tidak dibiayai oleh kontestan. Apakah itu parpol atau pasangan calon. Jadi, dia harus mencari dana lain. Atau seperti di negara maju, ada orang kaya yang senang mengeluarkan uangnya untuk membiayai survei. Kalau kita kan enggak, biasanya justru kontestan yang membayar.

Nah, ini yang menjadi persoalan. Wajar kalau orang bertanya independensinya gimana. Tapi saya yakin, masih ada orang-orang berintegritas walaupun dibayar tapi tidak melacurkan diri

Hasil survei politik beberapa lembaga, belakangan hampir sama. Sebut saja, misalkan rata-rata memenangkan Jokowi di angka 20 persen. Apakah itu konsensus?

Dian: Kalau soal itu saya enggak bisa menilai jauh. Yang penting begini, kalau faktualnya dia taat azaz, metodologi, moral hazardnya bagus kalau memang selisihnya 20 persen ya sampaikan 20 persen.

Pada 2009 itu pernah ada dua lembaga riset mainstream mengumukan survei yang intervalnya beda seminggu, namun hasilnya bisa beda. Waktu itu saya bilang, mereka enggak mengumumkan siapa yang biayai maka bisa jadi beda.

Begitu juga saat ini, mereka enggak mengatakan siapa yang membiayai. Itu bisa muncul anggapan di masyarakat, jangan-jangan mereka yang (hasilnya) sama itu ternyata dikontrak oleh satu kandidat. Itu hipotesis kecurigaan kita. Itulah kenapa, menjadi penting bagi lembaga survei untuk mengumumkan siapa yang membiayainya. 

Khairil: Ya enggak apa-apa. Hasilnya beda saja enggak apa-apa. Selama metedologi dan pengambilan samplenya benar. Memang kalau statistik itu begitu hakekatnya, bisa berbeda-beda. Namun, tergantung seberapa jauh perbedaanya.

Misalnya, ada calon A disebutkan menang 70 persen dan calon B mendapat 30 persen. Lalu ada empat lembaga survei seperti itu. Tiba-tiba, ada satu lembaga survei sendiri yang berbeda bahkan berbalik misalnya calon A mendapat 30 persen dan calon B 70 persen.

Pada kasus seperti itu, saya kira lembaga surveinya harus diaudit. Benar tidaknya lembaga survei, tidak bisa dihukum dari hasilnya. Tapi dihukum dari prosesnya. Kita ingin pastikan prosesnya benar apa enggak. Kalau dari hasil tidak bisa dihukum.

Menurut ilmu statistik, kalau dibilang salah itu adalah kesalahan cara ngambil sampelnya yang enggak benar. Atau bisa jadi, ada kesalahan pada saat proses wawancara respondennya.

Hasil survei yang sama atau beda, apakah sesederhana karena perbedaan teknik pengambilan sampel?

Khairil: Kalau survei itu tujuannya untuk mengambil kesimpulan, misalnya apakah si A menang atau si B menang, maka survei harus mengambil sampel yang bersifat acak. Random terutama.

Kemudian, kedua sampelnya itu harus representatif. Artinya, merepresentasikan populasi yang ingin kita ambil kesimpulannya. Kalau populasinya pemilih ya respondennya pemilih. Anak kecil tentu enggak masuk.

Nah yang ketiga, adalah jumlahnya harus cukup. Jadi ini terkait margin of error yang akan ditolerir. Semakin kecil margin of error, harus semakin besar sampelnya. Itulah kenapa, kalau pakai multistage random sampling sebenarnya enggak cukup.

Editor : Dimas Ryandi

Reporter : Gunawan Wibisono, Sabik Aji Taufan


Sumber: JawaPos.com

Berita Terkait



add images