iklan Robertus Robet (kanan), Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sekaligus Aktivis HAM usai pemeriksaan, Kamis (7/3/2019). (SALMAN TOYIBI / JAWA POS)
Robertus Robet (kanan), Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sekaligus Aktivis HAM usai pemeriksaan, Kamis (7/3/2019). (SALMAN TOYIBI / JAWA POS)

JAMBIUPDATE.CO, Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet tak pernah menyangka orasinya memantik kontroversi. Dia bahkan ditangkap polisi dan ditetapkan sebagai tersangka penghinaan terhadap TNI. Padahal, TNI sendiri justru menganggap materi orasi tersebut sebagai masukan, bukan hinaan.

Orasi Robet disampaikan Kamis (28/2) di seberang gerbang Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Waktu itu dia bergabung dengan puluhan peserta aksi Kamisan ke-576.

Aksi tersebut dilakukan untuk memprotes rencana pemerintah menempatkan perwira TNI di jabatan-jabatan sipil. Merasa supremasi sipil terancam, Robet yang dikenal sebagai aktivis 1998 berorasi lantang. Dia menyanyikan mars ABRI yang dipelesetkan.

Mars tersebut sering dinyanyikan para aktivis era reformasi untuk menolak dwifungsi ABRI. Robet ingin mengingatkan para mahasiswa tentang dampak dwifungsi ABRI di masa lalu.

Namun, polisi rupanya punya pendapat lain. Rabu tengah malam (6/3) petugas kepolisian menjemput Robet di rumahnya di kawasan Depok, Jawa Barat. Robet digelandang ke Bareskrim Mabes Polri. Pemeriksaan baru berakhir pukul 14.30 kemarin.

Yang mengejutkan, polisi menetapkan Robet sebagai tersangka penghinaan terhadap TNI. Dia dituding melanggar pasal 207 KUHP. Namun, Robet tidak ditahan. Dia diizinkan pulang.

Tidak banyak yang disampaikan Robet saat meninggalkan Bareskrim. Dia hanya menjelaskan bahwa orasinya sama sekali tidak bertujuan menghina TNI. Saya ingin menyampaikan permohonan maaf. Tidak ada maksud saya menghina atau merendahkan institusi TNI yang sama-sama kita cintai, ungkap dia.

Robet mengakui, dirinya dipanggil, diperiksa, lantas ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri lantaran orasi itu. Namun, dia tak mau mengomentari kasusnya. Dia menyerahkan proses hukum kepada Polri. Di akhir wawancara, dia kembali menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidak berniat menghina TNI.

Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menyampaikan, Robet tidak ditahan lantaran ancaman hukuman dari pasal 207 KUHP hanya 1,5 tahun penjara. Namun, proses penyidikan yang dilakukan oleh Direktorat Siber Bareskrim tetap berjalan, jelasnya.

Artinya, Robet bisa saja kembali dipanggil untuk menjalani pemeriksaan. Dedi memastikan bahwa penyidikan dilaksanakan sesuai aturan. Dan berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah dianalisis secara komprehensif, jelasnya.

Sebelum memutuskan menjemput dan memeriksa Robet, sambung Dedi, pihaknya sudah melaksanakan gelar perkara. Polisi juga mendengar masukan dari saksi-saksi dan ahli.

Mulai saksi ahli hukum pidana sampai ahli bahasa. Keterangan para saksi itulah yang menuntun mereka menyangkakan Robet melanggar pasal 207 KUHP.

TNI sebagai instansi yang disebut telah dihina Robet justru menyikapi orasi tersebut secara biasa saja. Kapuspen TNI Mayjen TNI Sisriadi menyampaikan, orasi Robet memang mengandung ujaran kebencian. Namun, berdasar konteks, dia menilai konten yang disampaikan merupakan masukan bagi instansinya.

Yang intinya meminta jangan sampai TNI berdwifungsi seperti Orba lagi. Konten ini tentu bisa dijadikan masukan untuk mem­bangun trust masyarakat kepada TNI, papar Sisriadi.

Dalam berbagai kesempatan, dia memang sudah menegaskan bahwa TNI sama sekali tidak punya niat untuk mengembalikan dwifungsi. Namun, banyak yang khawatir lantaran isu penempatan perwira TNI di jabatan sipil terus bergulir.

Terkait dengan proses hukum terhadap Robet, Sisriadi menyatakan, TNI tidak bisa mencampuri. Konten orasi yang dinilai bernuansa kebencian, sambung dia, menjadi urusan Polri sebagai penegak hukum. Dia mengakui, meski TNI menilai konten orasi Robet sebagai masukan, tidak sedikit masyarakat yang berpandangan lain.

Tidak Ada Penghinaan

Direktur Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Unair Herlambang P. Wiratraman menilai, orasi yang disampaikan Robet sejatinya tidak memenuhi unsur penghinaan. Dia mengatakan, orasi itu merupakan penjelasan sejarah kepada demonstran yang turut dalam aksi Kamisan.

Di situ tidak ada unsur bohong. Tidak ada unsur menghina. Justru dia menghadirkan sejarah, imbuhnya. Termasuk nyanyian pelesetan mars ABRI yang disisipkan Robet. Itu, sambung Herlambang, merupakan fakta yang ada pada masa Orde Baru.

Menurut dia, Robet sengaja menyanyikan mars tersebut untuk mengingatkan bahwa dwifungsi TNI terjadi selama masa kepemimpinan Soeharto. Dan, itu tidak boleh terulang lagi.

Karena itu, Herlambang menganggap Robet tidak melanggar pasal 207 KUHP. Penggunaan pasal tersebut dalam kasus Robet menunjukkan watak represif penguasa kepada aktivis dan masyarakat.

Herlambang menegaskan, tidak ada mens rea atau niat jahat dalam orasi Robet. Kalau menyimak videonya, justru apa yang dilakukan Robet adalah pencerdasan pada kelompok milenial, terang dia. 

Editor : Ilham Safutra

Reporter : (fer/syn/tyo/c10/oni)


Sumber: JawaPos.com

Berita Terkait



add images