iklan Spanduk ucapan selamat datang bagi para peserta program triwulan menyongsong meteor yang terpasang di jalan menuju Pondok Pesantren Miftahul Fallahil Mubtadiin (MFM), Kasembon, Kabupaten Malang. (Fisca Tanjung/ JawaPos.com)
Spanduk ucapan selamat datang bagi para peserta program triwulan menyongsong meteor yang terpasang di jalan menuju Pondok Pesantren Miftahul Fallahil Mubtadiin (MFM), Kasembon, Kabupaten Malang. (Fisca Tanjung/ JawaPos.com)

JAMBIUPDATE.CO, Eksodus 52 warga Desa Watu Bonang, Kecamatan Badegan membuat Pemkab Ponorogo kelabakan. Informasi yang diterima pemkab menyebutkan, kepindahan warganya ke Pondok Pesantren Miftahul Fallahil Mubtadiin (MFM) di Kasembon, Kabupaten Malang karena mereka percaya dengan isu kiamat yang sudah dekat.

JawaPos.com berkesempatan untuk melihat langsung aktifitas di ponpes tersebut, Kamis (14/3). Berdasarkan pantauan, ponpes yang diasuh KH Muhammad Romli Soleh tersebut dikelilingi permukiman warga. Atau sekitar 2 km dari jalan besar perbatasan Malang-Kediri. 

Sebelum memasuki jalan menuju pondok,  JawaPos.com disambut oleh spanduk bertuliskan Selamat Datang Peserta Mondok Rajabiyahan & Biatan Plus Romadhonan dalam rangka Persiapan Akhir Zaman di Ponpes Pulosari Kasembon Malang. Tak jauh dari spanduk tersebut, terdapat sebuah jalan beraspal menuju ke lokasi ponpes. 

Sebelum memasuki ponpes, sejumlah warga yang mengenakan baju koko dan sarung terlihat berkumpul di sisi kanan jalan. Salah satu dari mereka ada yang membawa handie talkie. Bahkan, JawaPos.com sempat ditanyai sebelum akhirnya dibolehkan masuk ke dalam ponpes.

Saat wartawan ini datang, kebetulan tengah memasuki waktu salat Duhur. Ratusan jamaah mulai mendatangi masjid yang berada di dalam ponpes. Tidak hanya santri dari ponpes saja, bahkan jamaah yang tinggal di luar ponpes juga bergegas masuk ke dalam masjid. 

Bila dilihat dari luar, kondisi ponpes ini sama seperti ponpes pada umumnya. Bahkan bisa dibilang jauh lebih miris. Persis dengan informasi yang beredar di masyarakat.

Bangunan ponpes terdiri dari dua lantai. Di sekitar bangunan tersebut juga terdapat beberapa bangunan lain yang masih dalam tahap renovasi. Di salah satu sudut bangunan juga terlihat ada tumpukan beras milik jamaah.

Ada sekitar 570 santri yang tinggal di lingkungan ponpes. Selain itu juga ada jamaah triwulan yang datang setiap menjelang bulan Ramadan. Jamaah itu berasal dari beberapa daerah. Mulai yang asli Kasembon, Kediri, Ponorogo, Jember, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Tuban, Surabaya, Jombang, Mojokerto, Blitar, Ngawi, Tulungagung, Nganjuk, Jember, Magelang, Ngasem, hingga Lampung.

Polemik muncul saat santri yang berasal dari Ponorogo ini datang dalam jumlah banyak pada saat yang bersamaan. Pemkab Ponorogo meyakini, hijranya puluhan warganya itu disebabkan karena mereka termakan isu kiamat.

Seperti dilansir dari Radar Ponorogo (Jawa Pos Group), Bupati Ponorogo Ipong Muchlissoni sangat menyayangkan warganya yang percaya dengan isu kiamat. Dia meminta agar seluruh warga tetap menjaga kondusivitas dan mencerna dengan baik berbagai informasi terkait kabar tersebut.

Tentu saya prihatin masih ada yang percaya dengan hal-hal seperti itu (kiamat, Red). Mereka percaya bahwa dunia segera kiamat, dan jika ikut Pak Kiai di ponpes itu, katanya bisa selamat. Mereka telanjur percaya dan meyakini, tutur Ipong.

Ipong juga meminta seluruh pihak agar tak tinggal diam dengan permasalahan ini. Menurutnya, tanggung jawab untuk membina masyarakat tidak bisa diserahkan kepada satu pihak semata. Artinya, Pemkab Ponorogo juga butuh dukungan dari stakeholder lainnya.

Harus ada upaya serius dari ormas keagamaan, MUI, termasuk pemprov maupun Pemkab Malang untuk menangani pusat ajaran tersebut di Kasembon, Malang, imbuhnya.

Belakangan diketahui, eksodus para warga itu tidak hanya terjadi di satu desa. Dua keluarga terdiri enam jiwa di Semanding, Kecamatan Kauman dikabarkan turut hijrah ke Malang. Bahkan satu keluarga menyuruh anaknya resign dari salah satu perusahaan milik BUMN. Dua Kepala Keluarga (KK) itu berangkat sejak Sabtu (2/3), ungkap Kaur Trantib Semanding, Wahyudi.

Lebih mengagetkan lagi, warga yang pindah itu rela menjual harta bendanya. Ada satu KK yang menjual sapi ternak karena tidak bisa merawat selama mereka pergi dari rumah. Ada juga satu KK lainnya yang menjual pekarangan di belakangan rumah. Seluruh hasil penjualannya dipakai untuk mencukupi kebutuhan hidup selama mereka hijrah ke Malang.

Kendati demikian warga Semanding itu pamitan baik-baik kepada tetangga di sekitarnya. Berbeda dengan 52 warga Watu Bonang.

Mereka pamitan. Mereka juga menitipkan kegiatan keagamaan di musala desa. Cuma merka tidak memberitahukan kepergiannya ke aparat tingkat RT higga kepala desa, imbuh Wahyudi.

Wahyudi melanjutkan, dia tidak mengetahui secara pasti alasan para warga itu memilih hengkang ke Malang. Hanya saja, dia mendapat cerita dari seorang warganya yang tidak ikut berangkat karena keterbatasan biaya. Warga itu memastikan tidak ada isu kiamat seperti yang berhembus sebelumnya.

Kalau ada doktrin tentang kiamat itu rasanya terlalu berlebihan. Sebab saya tanya ke yang nggak jadi berangkat, nggak ada ajaran seperti itu. Hanya kiai panutannya menuturkan bakal terjadi kemarau panjang di Indonesia selama tiga tahun. Itu yang diceritakan, valid langsung dari orangnya, tegas Wahyudi.

JawaPos.com mencoba mengorek lebih dalam terkait motivasi santri yang mondok di Ponpes MFM. Salah seorang santri asal Lampung, Maghfuri, 38 mengaku hanya ingin mencari ilmu di sana. Bapak dua anak itu mengaku sudah berada di ponpes tersebut selama 12 hari.

Baru sekali ini ke sini. Saya bawa satu keluarga, istri dan anak saya dua. Anak pertama sudah jadi santri selama 7 bulan, akunya.

Maghfuri mengaku hanya membawa bekal uang untuk tinggal di pondok tersebut. Ketika ditanya alasan bergabung menjadi jamaah, dia mengatakan karena meyakini kebenaran syariat yang diajarkan oleh ponpes tersebut.

Karena kebenaran soal syariatnya. Jadi apa yang dibilang Gus (Romli, Red) itu benar adanya semua, kata dia.

Selama 12 hari tinggal di pondok, Maghfuri melakukan kegiatan keagamaan seperti pada umumnya. Hari-hari wirid, zikir, dengerin ceramah Yai (Kiai). Malam jumat salawatan, ungkapnya.

Selama ini, dia tinggal di dalam sebuah mess khusus Lampung yang ada di dalam pondok. Dia tinggal bersama 15 KK lainnya yang juga berasal dari Lampung. 

Cerita senada juga diungkapkan salah satu warga Ponorogo yang baru saja bergabung menjadi jamaah ponpes. Namanya Giyanti. Ibu satu anak itu mengaku baru lima hari menjadi jamaah progran triwulan ponpes.

Dia mengungkapkan alasan dirinya menjadi jamaah karena berniat untuk mengaji dan mencari ilmu. (karena) Ngajinya. Menurut syariat islam dan hadis-hadis di dalam Alquran juga menerangkan, kalau menuntut ilmu itu tidak ada batasnya kan. Sampai tua pun kan boleh. Ini di sini niatnya juga ngaji, ungkapnya.

Giyanti tidak sendiri, dia turut memboyong suami dan anaknya yang masih berusia 4 tahun untuk turut menjadi jamaah. Dia mengungkapkan, alasan kenapa dia tertarik untuk menjadi jamaah karena memang dari dulu ingin mondok di ponpes.

Dulunya saya kepingin mondok di ponpes manapun, nggak ketekan (kesampaian). Saya ke sini ingin mondok menuntut ilmu, terangnya.

Wanita berhijab ini mengaku bahwa dirinya dan warga Ponorogo lainnya ikut dalam program triwulan menyongsong meteor yang ada di ponpes. Mereka juga dibolehkan membawa bekal logistik masing-masing.

Bawa beras dan lauk pauk di sini, bawa dari rumah, katanya.

Rencananya, dia akan berada di pondok tersebut hingga tiga bulan ke depan atau hingga Ramadan selesai. Setelah itu, dia akan kembali lagi ke kediamannya di Ponorogo. Sampai Ramadan terus pulang lagi. Mau Pondok Ramadan di sini, terangnya.

Ketika ditanya apakah dia juga sampai menjual barang-barang berharganya, seperti rumah sebagai bekal hidup di ponpes, dirinya membantah hal itu. Rumah di Ponorogo masih ada, saya di sini cuman mondok. Saya ke sini pamit (ke keluarga) mau mondok, nggak ada apa apa. Rumah saya masih ada, terangnya.

Giyanti menerangkan, selama lima hari berada di ponpes, dirinya melakukan kegiatan seperti biasa. Kegiatan salat jamaah, sama aja. Ngaji Alquran. Waktunya salat ya jamaah, sambungnya.

Menurutnya, bila berada di pondok, bisa salat berjamaah lima waktu. Sedangkan bila dirumah, terkadang terganggu kesibukan lain.

Pemerintah Ponorogo sendiri mempunyai rencana untuk memulangkan warganya yang berada di pondok tersebut. Namun, Giyanti masih bersikukuh tetap tinggal di pondok.

Saya ke sini kemauan sendiri. Saya tidak mau (pulang), di sini kan menuntut ilmu, cuma itu. Saya mau di sini dulu, nuntut ilmu, mau Ramadan di sini, tegasnya.

Anang Supardi juga menyampaikan hal serupa. Lelaki berusia 29 tahun itu mengatakan, tujuannya datang ke ponpes yakni untuk mengaji. Dia juga sudah mendengar pemberitaan yang menyebut santri di sana mondok karena isu kiamat. Namun Anang tak terlalu merisaukan isu itu. Ke sini mau ngaji. Rajab, ruwah, poso (puasa), ungkapnya.

Isu para santri yang mondok karena takut kiamat itu sudah dibantah oleh pengasuh Ponpes KH Muhammad Romli Soleh atau akrab disapa Gus Romli pada Rabu (13/3). Gus Romli mengatakan, ada pihak yang seolah sengaja memelintir informasi. Jamaah datang bukan karena takut kiamat.

Dia menjelaskan, kasus ini bermula dari program triwulan menyongsong meteor, menjelang Ramadan. Biasanya jamaah datang selama tiga bulan. Yakni saat Rajab, Syakban, dan Ramadan.

Program tersebut bukan bermaksud menakut-nakuti orang akan datangnya kiamat. Gus Romli hanya ingin mengajarkan bahwa meteor adalah salah satu tanda kebesaran Allah.

Saya khawatir kalau Ramadanmu (para santri, Red) adalah Ramadan meteor. Khawatir kan boleh, ujarnya.

Kalau (saat) meteor mereka sudah sama gurunya, sudah bawa makanan sendiri sendiri dan cari tempat sendiri-sendiri. Makanya, di sana (ponpes) itu ya ada yang nyewa, ada yang buat angkring-angkring, lanjutnya..

Rupanya, lanjut dia, tidak sedikit santri yang memilih untuk tinggal lama di ponpes. Padahal sudah disuruh pulang oleh orang tuanya. Akhirnya santri tersebut tidak dikirimi bekal oleh orang tuanya. Oleh karena itu, Gus Romli harus menanggung kebutuhan santri tersebut.

Makanya kalau mau Ramadan di sini bawa bekal minim (untuk) 1 tahun. Nah santri di sini rata-rata datang nangis, bapaknya tidak percaya, terkena fitnah, disuruh pulang, tapi milih ikut saya. Sampai nggak dikirim. Akhirnya saya yang nanggung, makannya, gabahnya, papar Gus Romli.

Kalau Ramadan tidak ada apa-apa (tidak ada hujan meteor, Red) ya mereka pulang. Ya ini yang akhirnya dipelintir. Katanya saya jual pedang, foto saya anti gempa. Itu semua hoax, tegasnya.

Adanya jamaah pendatang tersebut rupanya juga berdampak pada perekonomian warga sekitar pondok. Kapolres Batu AKBP Budi Hermanto mengatakan, tidak sedikit jamaah yang menyewa rumah warga di sekitar ponpes. Mereka menyewa di rumah warga, ada yang Rp 10 juta per tahun, ada yang Rp 8 juta, kata Budi.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Malang juga sudah menyampaikan sikap tegasnya. Mereka menilai, ajaran yang berada di Ponpes MFM tidak menyimpang dari agama.

Perwakilan MUI Kabupaten Malang Ibnu Mukti menyampaikan, dia sudag bertemu langsung dengan Gus Romli. Sudah kroscek sendiri, sudah lihat sendiri. Bahkan beliau (Gus Romli) juga menjabat sebagai Katib Syuriah NU Kasembon. Kalau pondok terafiliasi dengan yang lain itu salah, Ponpes ini ala NU, tegasnya.

Soal isu kiamat, menurut Ibnu, memang banyak sudut pandang tentang kiamat. Pihaknya menghargai keyakinan Gus Romli soal meteor yang terjadi saat Ramadan.

Menurut Gus Romli seperti yang disampaikan, tidak seperti ulama yang lain. Mungkin benar menurut perspektif beliau, kalau saya berbeda pandangan. Yang disampaikan beliau benar sesuai hadis, mohon jadikan maklum, lanjutnya.

Selain itu, dia juga menyampaikan bahwa Romli menyampaikan hal tersebut di hadapan jamaahnya sendiri, bukan untuk umum. Oleh karena itu, MUI menganggap kabar kiamat adalah bohong.

Editor : Dida Tenola

Reporter : Fiska Tanjung


Sumber: JawaPos.com

Berita Terkait



add images