iklan

Oleh : Dahlan Iskan

Sudah lama saya ingin ketemu sufi satu ini. Tapi harus menelusuri dulu jejaknya. Ialah satu-satunya lulusan Gontor yang mendapat beasiswa langsung dari Paus Benedictus XVI. Bahkan satu-satunya orang Islam di Indonesia. Pun Asia Tenggara.

Namanya: Ustad Yusuf Daud Risin. Gelarnya doktor dan master di banyak sekali bidang studi. 

Lahir di: Surabaya.

Tapi hanya numpang lahir. Sejak kecil dibawa orang tuanya ke Jakarta. Sekolah di madrasah. Di dekat JIS, Jakarta International School.

Di madrasah itulah ia belajar agama. Di luar jam sekolah ia bergaul dengan anak-anak JIS. Bahkan dengan guru-guru mereka. Yang umumnya orang asing.

Dari merekalah Yusuf bisa bahasa Inggris. Saat masih anak-anak. Dari madrasahnya ia bisa berbahasa Arab. Kini ustadz Yusuf bisa bicara dalam bahasa Inggris, Arab, Italia dan Jerman. Di samping cukup mengerti bahasa Urdu dan Parsi.

Guru madrasahnya itulah yang membuatnya punya obsesi: ingin sekolah ke pondok modern Gontor. Di sebuah desa jauh di selatan kota Ponorogo.
Ustadnya itu yang sering menceritakan kehebatan Gontor.

Begitu tamat ibtidaiyah (setingkat SD) Yusuf minta dikirim ke Gontor. Sampai tamat muallimin 6 tahun. Setingkat SMA. Lalu masuk Universitas Indonesia: ambil jurusan hubungan internasional. Dengan spesialisasi Timur Tengah.

Saat mahasiswa itu di Indonesia lagi top-topnya Ustad Toto Tasmara. Lewat pengajian tasawuf modernnya. Yusuf pun mengidolakan beliau. Mahasiswa Islam saat itu umumnya lagi gila tasawuf. Lagi jadi trend. Tasawuf urban. Jadi sufi tapi trendy. Zuhudnya kekinian. Zuhud adalah ciri khas seorang sufi: menjauh dari kepentingan dunia.

Ustad Toto Tasmara begitu diidolakan remaja. Terutama oleh para aktivis muda masjid. Lantas didirikanlah forum komunikasi pemuda remaja masjid Indonesia.

Ustadz Yusuf tidak terkecuali. Apalagi ilmu alat (bahasa Arab dan budaya Arab)-nya kuat.

Di UI-lah Yusuf menemukan Citra Resmi. Yang kuliah di sastra Perancis. Lalu ia ejek: untuk apa belajar sastra Perancis? Mau kerja di mana?
Ejekan itu dianggap perhatian. Citra langsung pindah ke sastra Arab. Di kemudian hari keduanya menikah.

Sastra Arabnya cepat melahirkan usaha. Di samping melahirkan anak pertama. Pasangan ini mendirikan restoran Arab. Di Cepete, Jakarta Selatan. Namanya pun sangat Arab: Najma Lan Tabur. Najma adalah nama anak pertamanya. Lan Tabur artinya: tidak akan pernah merugi.

Dan benar. Bukan saja tidak pernah rugi. Justru selalu untung. Dan laris. Kian besar.

Saya ingat pernah makan di situ. Dulu. Beberapa kali.

Para diplomat Timur Tengah juga menyukainya. Yusuf pun membeli tempat yang lebih besar. Lebih strategis. Masih di Cipete. Di Jalan Raya Cilandak Barat.

Yusuf memang banyak kenal diplomat Arab. Ia sempat menjadi staf lokal di kedutaan Sudan.

Tapi Yusuf dapat beasiswa ke Inggris. Kuliah di ICAS London. Bidang studi filsafat dan mistifikasi dalam Islam.

Sebagai murid Ustadz Toto Tasmara Yusuf tidak bisa lepas dari gerakan tasawuf. Bahkan ia terjun lebih dalam. Setelah mengenal Syekh Syarif Hidayat Muhammad Tasdiq. Mursyid tarekat di situ. Pemimpin spiritual Tasawuf Center Jakarta.

Jaringan tasawuf dunia memperhatikan Tasawuf Center. Dari sinilah Yusuf tahu: tiap-tiap agama memiliki level tasawuf masing-masing. Yang tidak henti-hentinya mencari: di mana sebenarnya Tuhan berada. Tuhan yang sesungguhnya. Yang bisa membuat manusia baik. Yang mampu membikin hati damai. Yang tidak menimbulkan kekisruhan. Lahiriah maupun batiniah. 

Yusuf sering berdiskusi dengan para sufi agama lain. Yang dicari sama: Tuhan sejati. Bukan Tuhan yang diperebutkan. Sampai bertengkar. Sampai saling mencaci. Sampai saling membunuh.

Ustadz Yusuf juga sering diskusi tasawuf dengan biarawati Katolik asal India: Gerardette Philips. Yang tinggal di Jakarta. Juga sering menerima tamu dari Amerika. Yang ingin membicarakan keberadaan Tuhan.

Pemikiran Yusuf soal ketuhanan dianggap sangat dalam. 

Para tamu itulah yang merekomendasikan pada Paus di Vatikan. Agar memberi beasiswa pada Yusuf. Paus pun memilihnya.

Dua tahun Yusuf kuliah di tiga kampus milik Vatikan di Roma: Angelicum Saint Thomas, Gregoriana University dan Pontificio Istituto di Studi Arabi e d Islamistica (Pisai). Beberapa tokoh Islam pernah ke Pisai. Untuk seminar antar-iman. Misalnya Prof Azyumardi Azra.

Tapi yang sampai kuliah di sana baru Yusuf Daud ini. Ia mempelajari ilmu tradisi agama-agama dunia. Sampai mendapat gelar doktor. Yang menunjuk pun Paus sendiri.

Rasanya akan banyak Pastor di Indonesia iri pada Yusuf. Yang pernah mendapat perhatian langsung dari Paus begitu besar.

Selama kuliah itu beberapa kali Yusuf berdiskusi dengan Paus. Dengan empat-lima orang calon doktor di situ. Biasanya, ujar Yusuf, Paus lebih banyak mendengar.

Kini Kyai Yusuf terlibat dialog-dialog antar agama. Di mana saja: Amerika, Jepang, Austria, dan belahan dunia lainnya. Ia juga jadi komite di lembaga kerukunan agama yang didirikan oleh raja Arab Saudi: KAICIID. Singkatan dari King Abdullah bin Abdulaziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue. Ustad Yusuf pernah setahun di Austria. Di kantor pusat lembaga milik Saudi Arabia ini.

Beliau juga mengajar di beberapa perguruan tinggi. Tapi setiap Selasa malam Ustad Yusuf melakukan kajian tasawuf di Surabaya. Habis salat isya. Di masjid Al Ikhlas Dukuh Pakis.

Saya pun kini lebih mudah mencari referensi. Lewat beliau. Jangan tanya soal Ibnu Al Arabi. Filsuf dari Andalusia itu. Ia menjadi bagian dari paguyuban Ibnu Al Arabi itu. Atau tentang filsuf Islam masa kini: Hossein Nasr. Tokoh filsafat Iran yang tinggal di New York itu. Yang pernah mengajar di Universitas Berkeley California itu.

Saya pun bisa memperoleh bukunya: The Garden of Truth. Yang menjadi buku acuan filsafat masa kini.

Berdiskusi dengan Ustad Yusuf seperti menimba air di sumur yang sangat dalam.

Sayang lebih banyak orang hanya bicara politik. Yang ujungnya sakit hati. Bahkan bertengkar. Lebih banyak orang yang hanya bicara kulit yang dangkal. Kalau pun ada yang bicara tentang Tuhan lebih banyak bicara Tuhan yang diperebutkan. Bukan Tuhan yang masuk dalam tubuh semua manusia. (dahlan iskan)


Berita Terkait



add images