iklan Ketua Umum PPP Romahurmuziy, saat akan menjalani penahanan perdana terkait kasus yang melilitnya, Sabtu (16/3) PPP Romahurmuziy, saat akan menjalani penahanan perdana terkait kasus yang melilitnya, Sabtu (16/3) (Dery Ridwansyah/JawaPos.com)
Ketua Umum PPP Romahurmuziy, saat akan menjalani penahanan perdana terkait kasus yang melilitnya, Sabtu (16/3) PPP Romahurmuziy, saat akan menjalani penahanan perdana terkait kasus yang melilitnya, Sabtu (16/3) (Dery Ridwansyah/JawaPos.com)

JAMBIUPDATE.CO,  Yang kaya makin kaya

                         Yang miskin makin miskin
                         Yang kaya makin kaya
                         Yang miskin makin miskin

                         Masih banyak orang hidup dalam kemiskinan
                         Sementara ada yang hidupnya berlebihan
                         Jangan dibiarkan adanya jurang pemisah
                         Yang makin menganga antara miskin dan kaya
                         Bukankah cita-cita bangsa
                         Mencapai negeri makmur sentosa

                         Selama korupsi semakin menjadi-jadi
                         Jangan diharapkan adanya pemerataan
                         Hapuskan korupsi di segala birokrasi
                         Demi terciptanya kemakmuran yang merata
                         Bukankah cita-cita bangsa
                         Mencapai negeri makmur sentosa

Penggalan lirik lagu dengan judul Indonesia dari sang maestro dangdut Rhoma Irama di atas, mungkin kerap kita nyanyikan dan dengar dalam sebuah acara panggung dangdut di sebuah stasiun televisi dan radio. Ataupun barangkali sering kita dengar dan melihat langsung di acara  ndangdutan ketika ada sebuah hajatan yang digelar di pelosok kampung.

Sekilas bagi orang yang hilang moralitasnya, lirik lagu dari album volume 11 Soneta Grup ini mungkin tak ada nilainya dan dianggap ndeso. Namun, bagi orang yang kerap menjunjung tinggi integritas dan nilai-nilai kejujuran dalam hidupnya, maka lirik lagu yang sempat membuat telinga penguasa rezim orde baru panas tersebut, punya syarat makna yang begitu mendalam. Menjadi cambuk yang keras, serta pengingat diri agar tak main-main dalam menjalankan hidup.

Jauh sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi terbentuk dan Romahurmuziy, mantan pemimpin partai yang pernah dinaunginya jadi pesakitan KPK, ternyata-Bang Haji- sapaan akrab Rhoma Irama, lewat syair lagunya, 39 tahun yang silam telah mengingatkan kita betapa dahsyatnya dampak korupsi bagi Negara Indonesia. Sang Raja Dangdut gelisah atas rezim yang korup pada saat itu, dan berharap korupsi segera tercerabut sampai akar-akarnya. Sehingga negeri ini makmur dan sentosa, tidak ada jurang pemisah yang menganga, antara Si Miskin dan Si kaya. Ikhtiar sang maestro dangdut ini tentu harus kita acungi jempol. Sebab saat itu, rezim orde baru sangat berkuasa dan jarang sekali orang yang berani mengkiritiknya. Sebab jika berani mengkritik, pasti akan diburu dan dibumi hanguskan.

Kini, usai 39 tahun yang silam lagu tersebut diciptakan, terlepas dari kekurangannya sebagai manusia biasa, ternyata harapan Bang Haji pada khususnya, dan masyarakat Indonesia belum sepenuhnya terwujud. Ini karena korupsi telah mengakar pada hampir di setiap sendi kehidupan rakyat Indonesia. Kejujuran dianggap sebagai sebuah hal yang kuno dan tabu. Padahal kejujuran adalah fondasi utama kehidupan, agar orang tidak mudah terjerembab dalam lembah nista korupsi.

Usai ditangkap pada Jumat (15/3) lalu, saat akan dibawa ke markas lembaga antirasuah di Jakarta, Rommy memang tampak malu dan menutupi wajahnya dengan masker dan memakai kacamata hitam, yang harganya tentu tak semurah yang dijual di pasar malam atau toko emperan di kaki lima. Namun, bak artis yang tengah naik daun, saat akan menjalani penahanan perdana, Rommy terlihat semringah saat puluhan kamera awak media membidiknya. Rommy bahkan sempat berujar dan mengklaim dirinya dijebak. Sebuah alasan klise yang kerap dilontarkan pasien KPK.

Kini, sepekan usai dirinya diamankan KPK, Rommy seperti tak malu lagi. Dia tak lagi memakai kacamata hitam andalannya dan mulai bersuara. Rommy bahkan mulai bernyanyi, mengklaim apa yang dilakukannya bukanlah sebuah kesalahan. Rommy berujar jika apa yang dilakukannya adalah hal yang biasa dan hanya menjalankan sebuah amanah. Dia menilai, dirinya hanya berupaya menjalankan aspirasi dari koleganya, Kiai Asep  Saefuddin dan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.

Ibu Khofifah Indar Parawansa, beliau gubernur terpilih yang jelas-jelas mengatakan, Mas Rommy, percayalah dengan Haris (Haris Hasanuddin) karena Haris ini orang yang pekerjaannya bagus. Sebagai gubernur terpilih pada waktu itu beliau mengatakan Kalau Mas Haris saya sudah kenal kinerjanya, sehingga ke depan sinergi dengan pemprov itu lebih baik, kata Rommy di gedung KPK, Jumat (22/3).

Saya juga menerima aspirasi itu dari ulama seorang kiai, Kiai Asep Saifuddin Halim yang dia adalah seorang pimpinan ponpes besar di sana, imbuh Rommy.

Itulah salah satu potret buruk bangsa Indonesia. Kaya akan orang orang yang pandai atau pintar berbicara, tapi miskin orang yang benar-benar jujur. Rommy tak paham, jika posisi dirinya saat itu adalah seorang penyelenggara negara. Sehingga tidak boleh memperdagangkan pengaruhnya (trading influence) selaku anggota DPR dan Ketua Umum PPP, untuk bisa meloloskan Muhammad Muafaq Wirahadi sebagai Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik dan Haris Hasanuddin sebagai Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Jawa Timur. Padahal belakang diketahui, Haris pernah bermasalah dan dijatuhi hukuman.

Sebelum diamankan tim lembaga antirasuah, Rommy pernah berpidato di depan khayalak. Dalam pidatonya, Gus Rommy sempat menyindir betapa tidak enaknya menjadi seorang politisi di zaman sekarang. Ibarat makan buah simalakama, menjadi politisi sekarang tidak bisa lari dari korupsi.

Hari ini, menjadi politisi tidak sebangga menjadi politisi. Bahkan menjadi anak politisi di zaman orde baru. Kenapa? karena antara pejabat dan penjahat itu beda tipis. Hari ini pejabat besok langsung jadi penjahat. Kenapa? Karena sistem politik kita yang hari ini berbiaya tinggi, menjadikan banyak pejabat yang melakukan hal-hal yang melanggar peraturan perundangan-undangan, sehingga ditangkap oleh KPK, kata Rommy dalam pidato politiknya kala itu.

Entah apakah Rommy sadar atas hal yang diucapkannya saat itu. Kalau Rommy mengatakan itu secara sadar, bukankah secara tak langsung dia menasehati dirinya sendiri, karena menjadi bagian dari sistem politik yang korup?. Dan pada saatnya nanti akan terciduk KPK. Tapi kita tentunya tidak ingin mengadili Rommy lebih dini, karena perjalananya kasusnya masih panjang.

Dari data KPK, sepanjang lembaga antirasuah terbentuk, sudah ada ratusan politisi yang menjadi pasiennya. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, untuk anggota DPR ada 70 orang, DPRD 165 orang dan kepala daerah sebanyak 165 orang. Khusus untuk Ketua Umum Partai Politik, sudah ada 5 orang yang terjerat kasus korupsi termasuk Rommy. Mereka antara lain, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera Luthfie Hasan Ishaq, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharama Ali dan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.

Banyaknya jumlah wakil rakyat yang tersandung kasus korupsi ini, kontradiktif dengan jumlah rakyat miskin di Indonesia yang mencapai 25,67 juta orang pada September 2018 (data BPS). Meskipun jumlah ini cukup banyak, namun menurut Kepala BPS Suhariyanto, jumlah tersebut mengalami penurunan 908.400 orang jika dibandingkan September 2017.

Melihat mirisnya banyak politisi yang tersandung kasus korupsi, untuk membenahi pendanaan partai politik, KPK pun telah melakukan kajian dan berkunjung ke kantor-kantor partai politik untuk menelisik sistem pendanaan partai politik. Selain itu, melihat tingginya biaya politik, KPK juga mengusulkan agar parpol dibiayai negara. Jumlahnya menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, jika mencapai Rp 20 triliun, maka anggaran ini sangat besar, sehingga tidak boleh disalahgunakan.

Kalau saya pikir, misalkan setahun habis Rp 20 triliun. Itu kan dibandingkan dengan APBN kita, malah bukan main, kesannya luar biasa, kata Agus.

Tentunya, jika wacana tersebut benar-benar direalisasikan, hal tersebut tidak bisa menjadi jaminan jika korupsi akan hilang di Bumi Nusantara.

Karena untuk menghilangkan korupsi di negeri tercinta ini, tidak bisa hanya dilakukan oleh KPK sendirian. Aparatur penegak hukum lain juga berperan penting dan bertanggungjawab atas massifnya korupsi di Indonesia.

Oleh karena itu, untuk membinasakan perilaku korup, dibutuhkan niat yang kuat dari diri sendiri. Sebab pemberantasan korupsi tidak akan efektif sampai kapan pun ketika kita sendiri tidak ikut memberantasnya mulai dari diri sendiri. Selain itu baru dibutuhkan kerjasama dari semua pihak, dari tukang becak hingga anggota DPR terhormat, yang duduk di kursi empuk di Senayan sana.

Jangan harap negeri ini akan bersih dari praktik lancung rasuah dan menjadi adil, makmur dan sentosa seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.

Jika kita semua masih menganggap perilaku koruptif kecil seperti menaikkan tarif harga becak atau ojek yang tak semestinya kepada orang yang tak dikenalnya, mengorupsi waktu bekerja, menyontek, menyogok aparatur negara agar pembuatan KTP, SIM, KK, dipercepat prosesnya, serta menerima hadiah atau janji yang bukan menjadi hak kita, kita biarkan saja dan menganggap semua itu sebuah hal yang biasa.Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki, begitu kata Bung Hatta.

Editor : Kuswandi


Sumber: JawaPos.com

Berita Terkait



add images