iklan Diskusi bertema “Pilpres dan Politisasi Simbol Agama”, Kamis (4/4) di Cikini, Jakarta Pusat. Foto : Ist
Diskusi bertema “Pilpres dan Politisasi Simbol Agama”, Kamis (4/4) di Cikini, Jakarta Pusat. Foto : Ist

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA - Menjelang Pemilu 2019 politisasi agama memang menjadi perbincangan hangat saat ini. Tentu elemen masyarakat menjadi hati-hati terhadap kondisi itu. Bahayanya politisasi simbol agama ini mengemuka dalam diskusi bertema Pilpres dan Politisasi Simbol Agama, Kamis 4 April 2019 di Cikini, Jakarta Pusat.

"Sebenarnya politik harus jadi ekspresi pemikiran, tidak boleh dibawa jadi ekspresi perasaan. Karena dibawa ke ekspresi pemikiran yang lahir adalah narasi dan gagasan. Kalau dibawa ke ruang emosi justru akan melahirkan emosi," kata Sekjen PP Pemuda Muhammadiyah Dzul Fikar Ahmad, yang menjadi pembicara dalam diskusi tersebut.

Menurut Dzul Fikar, ruang politik harus jadi ruang ekspresi pemikrian, bukan perasaan. Kalau jadi ruang perasaan, kata dia politik tidak beda dengan yang digambarkan dalam film Dilan.

Terlebih paska reformasi harusnya politik tumbuh jadi peradaban, lahir dari pemikiran. Yang membuat kenapa simbolisasi agam jadi sedemikian marak, karena ruang politik kita digiring ke ekspresi perasaan.

Kenapa politik penting dibawa ke ruang ekspresi pemikiran, supaya politik betul-betul tujuan akhirnya pada kemanusiaan, sehingga kita bisa menekan pragmatisme dalam politik," ujarnya.

"Bahwa di dunia manapun, peradaban yang maju akan selalu menjajah perdaban yang lemah. Kita beraharap politik kita kea rah perdaban maju," tandasnya.
Sama halnya disampaikan anggota BPIP Romo Benny Susetyo, dalam diskusi yang diselenggarakan Ujang Komarudin, Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR).

Kata dia, politisasi simbol agama tidak hanya di Indonesia. Modal simbol agama itu apa? Tokoh agama memiliki kekuatan lebih besar daripada tokoh politik, ini yang digunakan untuk politik.

"Sekarang terjadi politik pembelahan, sehingga secara ideologis terjadi pemecehan. Sekarang antar pertemanan jadi konflik gara-gara agama digunakan sebagai alat politik. Ini berbahaya," tegasnya.

Oleh karenanya, yang penting sekarang kata dia, bagaimana media mencoba mengajak masyarakat untuk memiliki budaya kritis. Bagaimana media mendidik masyarakat tidak lagi menggunakan politisasi agama. Jangan diberi ruang politisasi simbol agama.

"Berani tidak media massa tidak ekspos isu agama. Kemudian harus ada literasi media, terutama medsos. Sekarang orang tanpa data bisa menuduh orang lain. Agama itu urusan personal, urusannya dengan tuhan, tidak ada urusan dengan politik," paparnya.

Lebih lanjut diungkapkan Romo, beragam yang otentik adalah beragama yang jadi inspirasi dalam tata kelola kehidupan. Semakin orang beragama, semakin tawadu, memiliki kerendahan hati, bukan mengksploitasi agama.

Agama juga kata dia, bukan jadi alat untuk menyerang lawan politik dan menghancurkan karakter, yang rugi publik. Untuk itu, hati-hati ketika agama jadi aspirasi untuk kepentingan kekuasaan, maka dia jadi alat untuk menghancurkan peradaban.

Lalu, bagaimana bisa keluar dari situasi yang tidak nyaman ini? kata Romo hanya mungkin kalau media massa melakukan pertaubatan. Berani tidak media massa tidak ekspos berita yang menggunakan agama. Selain itu, media massa juga harus jadi komunitas pemutus kata yang kritis.

Ia kembali menegaskan, media massa harus jadi tempat pertarungan ide gagasan, bukan untuk merusak karakter personal. Lantas, ketika memasuki propaganda, apa itu? Agama. Propaganda itu terjadi ketika kompetisi tidak seimbang, calon merasa dirinya tidak mampu, tidak punya program, atau rencana kerja. Yang paling mudah mengaduk emosi adalah agama.

"Kemudian, menurut saya KPU dan Bawaslu harus keras. Tindak pihak-pihak yang menggunakan rumah ibadah sebagai alat politik. Ketegasan penting, karena selama KPU dan Bawaslu tidak tegas, maka kita akan menghancurkan masa depan kita yaitu sila ketiga persatuan," tutup Romo.

Sementara Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad, yang juga menjadi narasumber dalam diskusi bertema Pilpres dan Politisasi Simbol Agama, ikut menimpali dua pembicara sebelumnya. Khususnya, apa itu politisasi agama?
Menurut Rumadi, ada dua istilah yang digunakan, politisasi agama dan agamanisasi politik. Politisasi agama kurang lebih sering dipakai sebagai penggunaan agama sebagai instrument untuk dapat kekuasaan politik.

Bukan hanya itu, tapi di dalamnya ada unsur pemutalakan agama sebagai alat untuk mendapat kekuasaan polkitik. Ini akan beramplikasi pada agamanisasi politik. Yang akan dimunculkan dari proses itu adalah menjadikan pilihan politik seperti pilihan keagamaan.

"Politik seperti surga dan neraka, pahala dan dosa, jalan terang dan gelap. Politisasi agama dan agamanisasi politik dua hal yang sama buruknya," ujar Rumadi.
Dia melanjutkan, sejak awal Islam tidak bisa dilepaskan dari politik bahkan ketika Nabi Muhammad diutus ada cerita suatu saat Nabi duduk di masjidil haram. Ada orang menunjuk kepada Nabi, ini loh ada yang memproklamirkan diri sebagai orang yang akan menggulingkan kekuasaan romawi. Padahal saat itu, kekuasaan Romawi nyaris tidak terbayangkan akan digulingkan. Ini menunjukkan persoalan politik dan Islam sudah muncul.

Lantas, apa sebenarnya masalah dari politisasi agama? Pertama kata Rumadi, masalah terkait dengan pelucutan agama dari aspek substansi, agama hanya dilihat simbol-simbolnya. Itu yang sekarang terjadi di Indonesia. Politisasi agama akan jadi bahaya kalau agama dilucuti dari aspek substansinya, ajaran moral dilucuti, yang tersisa aspek simbolik dan emosi.

Ketika agama hanya jadi persoalan simbolik dan emosi, inilah yang kemudian membawa orang pada pertikaian. Dia lupa pada substansi agama. Kalau orang ingat dengan ajaran moral agama, tidak akan sulit memberikan pemahaman.

"Kedua adalah pemutlakan agama di dalam perjuangan politik. Seperti tadi saya sampaikan tidak mungkin orang Indonesia atau orang Islam melepaskan agama dari politik atau sebaliknya, karena perkembangan Islam di nusantara tidak pernah lepas dari politik," terangnya.

Bagaimana sekarang? Politisasi agama sudah ujar dia bisa dilihat, bahkan sekarang sudah cenderung agamanisasi politik. Kalau orang terjatuh pada agamanisasi politik, maka pilihan orang pada capres A atau B. "Jadi bukan lagi urusan politik duniawi, tapi sudah jadi urusan surga dan neraka, jalan sesat atau terang," tandasnya.

Tak jauh berbeda disampaikan Ujang Komarudin, selaku Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR). Ketika agama dijadikan ideologi yang kuat digunakan untuk politik sah dan boleh, tapi ketika agama dijadikan alat legitimasi politik ini jadi masalah. "Yang terjadi sekarang seperti itu. Kita harus mendudukkan secara benar," katanya.

Problemnya pemahaman masyarakat tentang agama, hanya sedikit umat yang bisa membaca kitab suci, ini jadi masalah. Kedua, kalau membaca saja hanya sedikit, apalagi memahaminya. Karenanya, wajar kalau ada polar pikir yang keliru digunakan pihak tertentu untuk melegitimasi politik. Ketika agama dijadikan symbol, itu akan berbahaya.

"Kita sedih bagaimana agama dibenturkan dengan politik, kita sedih ketika agama jadi alat untuk legitimasi politik. Agama apapun tidak salah, agama jadi kekuatan, bahwa bekerja itu ibadah, politik juga ibadah, tapi manusianya mengalami penyempitan dalam cara berpikir, ini jadi persoalan," bebernya.
Oleh sebab itu, harapan Ujang solusinya media harus memberikan kesadaran kepada masyarakat yang belum melek secara politik. "Jika agama digunakan sebagai alat legitimasi politik, sesungguhnya masyarakat yang harus memilah," pungkasnya. (Ist)


Berita Terkait



add images