iklan Banjir yang melanda Jawa Timur beberapa waktu lalu. (Rendra Bagus Rahadi/Jawa Pos Radar Madiun)
Banjir yang melanda Jawa Timur beberapa waktu lalu. (Rendra Bagus Rahadi/Jawa Pos Radar Madiun)

Oleh AMIEN WIDODO, Pakar Geologi ITS Surabaya

JAMBIUPDATE.CO,  Penebangan hutan gunung legal maupun ilegal, resmi ataupun liar, sebenarnya sama saja.

Sama-sama akan mengakibatkan stabilitas tanah gunung terganggu dan rawan longsor. Penebangan hutan gunung itu sudah terjadi lamaaaaa sekali.

Sudah puluhan tahun lalu. Area hutan yang ditebang sangat luas. Sehingga kalau longsor bersama-sama bisa menumpuk dan membendung sungai yang akan diikuti banjir bandang.

Banjir bandang nyaris selalu menimbulkan korban dengan jumlah banyak. Kerusakan yang ditimbulkan juga masif.

Kerugian ekonominya sangat besar. Kenapa? Sebab, longsor dan banjir bandang bukan hanya banjir air, tapi diikuti lumpur, bebatuan, batang-batang pohon, dan lain-lain.

Material yang ikut hanyut itu bisa membunuh dan menghancurkan apa saja yang dilewati. Seperti yang baru terjadi di Sentani (Jayapura), Sukabumi, Bengkulu, Luwu, dan tempat-tempat lain.

Tahun-tahun sebelumnya juga hampir terjadi tiap tahun, mulai 2002 sampai 2018.

Apakah bencana iklim ini akan berhenti? Jawabnya: TIDAK, kalau kita tidak mengembalikan hutan alami yang ada di pegunungan.

Kenapa bisa terjadi dan terus berulang? Tanah adalah material alam yang lepas atau belum terpadatkan. Tanah terbentuk karena pelapukan batuan yang masih menempel di atas batuan induknya.

Pembentukan tanah ini akan banyak dijumpai di daerah puncak sampai lereng bukit atau gunung, dikenal dengan sebutan tanah lereng.

Awalnya sebagian besar gunung dibentuk oleh batuan. Kemudian karena iklim dan pohon. Awalnya pohon berukuran kecil dan terus berusaha mencari nutrisi mineral tanah lewat akar.

Ujung-ujung akar mengeluarkan enzim untuk melapukkan bebatuan. Seiring dengan berjalannya waktu, pohon bertambah besar. Akarnya tambah panjang dan tanahnya pun makin tebal. Hutan menjadi lebat menutupi seluruh gunung.

Tanah hasil pelapukan yang tebal bisa stabil dan bertahan di lereng yang tajam karena dipegang akar serabut hutan. Sedangkan akar tunjang berfungsi sebagai angker (paku) ke lapisan tanah di bawahnya.

Banyaknya hutan asli di pegunungan berfungsi sebagai tata iklim, tata air, dan tata angin. Energi air hujan yang jatuh ke bumi ditahan kanopi hutan dan jatuh ke bawah masuk lewat serasah yang akhirnya meresap ke dalam tanah.

Hutan di gunung mampu meresapkan air hujan semusim ke dalam tanah sebesar > 80% dan sebagian kecil air hujan dialirkan sebagai air permukaan.

Itu berarti hujan semusim lebih dari 80 persen diresapkan ke dalam tanah dan dikeluarkan secara proporsional di sekeliling gunung sebagai mata air (sumber air).

Mata air itu akan menyuplai dan menambah debit air sungai di sekeliling gunung sehingga bisa berair selama setahun.

Manusia bertambah banyak dan mulai merambah kawasan yang semestinya tidak boleh dihuni. Penggantian hutan asli di pegunungan dari hutan menjadi kawasan wisata penuh dengan hotel, vila, permukiman, persawahan, perkebunan, dan lain-lain mengakibatkan tanah gunung tidak terlindungi dan tidak stabil.

Tanah gunung semakin tidak stabil dan siap longsor. Awalnya akan muncul retakan-retakan tanah di puncak sampai lereng dan air hujan yang turun > 80% akan mengalir. Sebagian yang lain akan meresap lewat retakan. Retakan-retakan semakin lebar dan mulai menurun.

Masyarakat mengenal sebagai tanah bergerak. Banyaknya retakan akan dimasuki air hujan sehingga tanah lereng tambah berat dan mulai turun yang ditunjukkan bagian bawah lereng menggelembung.

Bila hujan terus-menerus, tanah lereng akan longsor seperti cairan. Bila masuk sungai akan mengalir sebagai banjir bandang yang menerjang dan membawa apa saja yang dilewatinya.

Bagaimana mencegah atau mengurangi risiko banjir bandang? Satu-satunya jalan adalah menghutankan kawasan pegunungan.

Penghutanan kembali dengan reboisasi jelas tidak efektif karena butuh waktu lama untuk tumbuh. Untuk itu, bersamaan dengan reboisasi, dibarengi dengan rekayasa vegetasi.

Yakni penanaman batang pohon yang masih hidup dengan aturan sekitar 2/3 masuk ke dalam tanah, 1/3 muncul di permukaan atau ditaruh. Harapannya, dari batang yang tertanam, tumbuh akar serabut yang akan mengikat dan memperkuat tanah.

Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengembalikan fungsi kawasan puncak gunung. Sebab, kawasan tersebut sudah beralih fungsi secara masif, sistemik, dan terstruktur.

Saat ini kawasan itu dimiliki pejabat-pejabat dan pengembang kakap. Pemerintah harus tegas mengembalikan fungsi kawasan tersebut sebagai kawasan hutan lindung dan kawasan resapan.

Editor : Ilham Safutra

Reporter : (*/c9/oni)


Sumber: JawaPos.com

Berita Terkait



add images