iklan Zanita Navasha Murdoko, Mahasiswi Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya.
Zanita Navasha Murdoko, Mahasiswi Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya.

Oleh : Zanita Navasha Murdoko

Dewasa ini, masyarakat seringkali mengalami berbagai macam perubahan social dalam perkembangan mereka. Masyarakat sekarang ini juga seringkali menghabiskan waktunya di luar ruangan. Agar menjadi orang yang disegani oleh masyarakat lainnya, kita harus mampu melakukan interaksi / hubungan yang baik dengan masyarakat lainnya. Apalagi seorang remaja yang menempuh pendidikan atau pegawai kantoran yang seringkali dituntut untuk dapat memiliki hubungan yang baik antar sesama, memiliki kemampuan berbicara yang baik pula. Namun hal itu memang cukup sulit tanpa adanya latihan. Seringkali kita merasa kurang yakin atau kurang percaya diri akan kemampuan diri kita sehingga ketika kita dihadapkan pada persoalan dimana kita dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan dengan deadline yang mendadak kita seringkali merasa khawatir apakah dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut atau tidak, bahkan seringkali hal mudah sekalipun akan dianggap sebagai suatu hal yang sulit untuk diselesaikan. Hal-hal kecil demikian bisa dengan mudah membuat penderitanya merasa cemas.

kecemasan adalah keadaan emosional yang memiliki ciri atau gejala fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Jeffrey S. Nevid, dkk 2005: 163) Kecemasan merupakan salah satu gejala psiklogis yang seringkali menimbulkan pengaruh negative dalam diri manusia. Rasa cemas yang timbul secara berlebihan akan menyebabkan adanya sugesti negative dalam otak manusia yang mana itu akan menghambat seseorang untuk lebih maju dan menghasilkan karya yang terbaik. Seseorang yang merasa dirinya gagal dalam berinteraksi dengan orang lain akan cenderung menjauh dan menghindar dari orang lain. Maka dari itu, hal tersebut harus segera diatasi. Nah pernahkah anda merasakan cemas, takut, tidak percya diri saat dihadapkan didepan orang banyak. Anda juga kesulitan berinteraksi dengan orang lain, pun merasa diri anda tidakmampu menghadapi tekanan di lingkungan sekitar. Pada saat cemas kita cenderung mempunyai rasa takut sekaligus khawatir untuk menghadapinya dan seringkali dihadapkan pada 2 pilihan yaitu flight or fight. Artinya pada saat kita merasakan cemas, hal yang dapat kita lakukan adalah lari dari apa yang menjadi tuntutannya atau malah menjadikan diri kita tetap survive melawan rasa cemas tersebut dengan menanamkan suatu keyakinan pada diri sendiri sehingga kita dapat tampil dan dapat menciptakan sesuatu hal yang terbaik.

Ciri-ciri atau gejala kecemasan:

Kondisi fisik : susah tidur, jantung berdegup kencang, sulit berbicara, keluar keringat dingin yang berlebih, tubuh bergemetar, bagian tubuh seperti jari tangan akan dingin, dll. (Jeffrey S. Nevid, dkk,2005: 164).
Emosional : emosional yang keluar dalam diri seseorang misalkan panic dan takut.
Kognitif : gangguan berfikir kognitif misalkan sulit mendapatkan perhatian, hambatan dalam berfikir, salah dalam memberikan penilaian, dan tingkat produktifitas menurun (Gail W. Stuart, 2006: 149).
Afeksi : Gelisah, khawatir, rasa bersalah, malu, dll (Gail W. Stuart,
2006:149).
Terdapat strategi penghindaran terapeutik yang cukup efektif yaitu adalah dengan terapi perilaku kognitif Cognitive Behavioral Therapy (CBT) (Hofmann & Smits, 2008). Terapi jenis ini lebih fokus pada strategi behaviorisme atau perilaku dengan kognitif . Strategi penghindaran dimaksudkan agar meningkatkan persepsi orang ataupun sebagai kontrol diri seseorang untuk menghadapi kecemasannya sehingga akan membuat penderita tersebut dapat lebih tenang, lebih dapat menyesuaikan diri dengan kejadian-kejadian yang ada disekitarnya. Adapun strategi yang yang selanjutnya adalah strategi coping. Strategi coping adalah strategi atau perilaku yang dilakukan seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi dalam kondisi yang penuh stres (Yani, 1997).

Jenis-jenis strategi coping :

Problem-focused coping atau strategi yang berfokus pada masalah. Maksutnya adalah dengan cara berusaha mengatasi, menghindar, atau mengurangi dampak yang terjadi. Strategi jenis ini menegaskan bahwa seseorang masih dapat mengatasi permasalahan yang dihapinya dengan cara berusaha mencari solusi agar dapat menyelesaikan masalahnya. (Lazarus dan Folkman, 1984)
Emotion-focused coping atau strategi yang berfokus pada emosi. Maksutnya adalah strategi yang dugunakan dengan cara mengatasi atau mengurangi distress yang dipicu oleh banyaknya tuntutan pekerjaan yang ada misal dengan cara meminta dukungan emosianal oleh orang sekitar, dengan melakukan penenangan diri misal dengan cara merelaksasi diri, atau bisa juga dengan mengekspersikan diri kita misal dengan berteriak, tersenyum dapat memberikan signal positif kepada otak.
Jadi sebenarnya gangguan kecemasan bukanlah penyakit yang mematikan atau sesuatu yang bersifat fatal namun gangguan kecemasan yang berlebihan jika tidak dikendalikan akan menghambat seseorang dalam menjalani kehidupannya. Yang dikhawatirkan jika seseorang selalu mengalami kecemasan mulai dari dia bangun tidur sampai akan tidur kembali, bahkan seseorang dapat merasa cemas untuk keluar rumah dan berinteraksi dengan orang lain. Merasa menjadi pribadi yang gagal atas diri mereka sendiri sehingga yang dilakukan hanya berdiam diri di dalam rumah dan menarik diri dari berhubungan sosial karena jika mereka dalam situasi sosial, hal tersebut malah dapat membuat semakin panik dan cemas. Cemas juga dapat memicu gangguan mental dan fisik yang meliputi depresi, penyalahgunaan obat-obat terlarang, bahkan mungkin sekali untuk bunuh diri. Akibatnya, orang disekitarnya pun berfikir bahwa dirinya adalah seorang yang aneh dan tidak layak untuk di ajak bersosialisasi. Padahal penderita sendiri butuh dukungan dan semangat dari orang disekitarnya untuk menstabilkan emosinya. Maka dari itu, gangguan kecemasan ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Ada banyak cara untuk mengurangi gangguan kecemasan pada setiap penderita. Asalkan ada kemauan dan juga dorongan dari pihak internal maupun eksternal sehingga hal tersebut dapat dikendalikan dan diminimalisir tanpa mengganggu aktifitas penderita gangguan kecemasan tersebut.

* Disusun oleh Zanita Navasha Murdoko, Mahasiswi Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya


Berita Terkait



add images