iklan Ilustrasi.
Ilustrasi.

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang polemik mengenai figur yang cocok menjadi Dewan Pengawas (DP) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak perlu ada. Karena ICW menilai, KPK telah mati suri secara kelembagaan sejak Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU KPK resmi berlaku.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, pihaknya menolak konsep DP yang diamanatkan UU KPK baru. Pasalnya, menurut dia, KPK selama ini telah diawasi dan dikontrol oleh presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Siapa pun yang dipilih oleh Presiden untuk menjadi Dewan Pengawas, tidak akan mengubah keadaan. Karena sejatinya per tanggal 17 Oktober 2019 kemarin kelembagaan KPK sudah ‘mati suri’,” kata Kurnia di Jakarta, Selasa (12/11).

Kurnia menyebut, keinginan pemerintah dan DPR untuk membentuk DP menunjukkan ketidakpahaman mereka terhadap penguatan KPK. Secara teori, seharusnya KPK tak perlu DP lantaran lembaga yang independen tak mengenal konsep itu.

Padahal, kata Kurnia, UU KPK pra-revisi telah menegaskan KPK diawasi oleh presiden, BPK, hingga DPR. Ia pun lantas mempertanyakan urgensi konsep pengawasan seperti apa lagi yang diiinginkan oleh negara.

“Kemudian kewenangan Dewan Pengawas sangat berlebihan. Bagaimana mungkin tindakan pro justicia yang dilakukan oleh KPK harus meminta izin dari dewan pengawas? Sementara di saat yang sama justru kewenangan pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum justru dicabut oleh pembentuk UU,” terangnya.

Atas hal tersebut, Kurnia mengungkapkan kekahwatiran ICW soal adanya kemungkinan intervensi pemerintah terhadap proses hukum oleh KPK melalui kewenangan pro justicia yang dimiliki DP. Hal ini lantaran DP dipilih oleh presiden tanpa melalui mekanisme seleksi.

Penulis senior Toeti Heraty menyampaikan, konsep DP selayaknya tak hanya diterapkan bagi KPK semata melainkan untuk seluruh birokrasi. Ia menyebut, KPK seharusnya justru dijadikan DP sistem politik.

“Pengawas itu bukan hanya untuk KPK. Pengawas itu juga perlu untuk sistem politik kita,” ujar Toeti.

Toeti juga berpendapat, perlu adanya dewan yang mengawasi partai politik yang ada. Sebab, kata dia, partai politik membutuhkan dana untuk melakukan kampanye. Nah, menurutnya, dewan pengawas ada untuk menangkal partai politik menghimpun dana dari sumber-sumber tak jelas.

Senada dengannya, pemerhati lingkungan Ismid Hadad menyatakan, konsep pengawasan sejatinya tak hanya diperlukan KPK saja tetapi juga di seluruh Kementerian/Lembaga (K/L). Sebab, menurutnya, pengawasan di K/L tidak berfungsi dengan baik ditandai dengan munculnya kasus dugaan desa fiktif.

“Munculnya kasus desa fiktif, itu menunjukkan lemahnya sistem pengawasan di kementerian atau lembaga kita,” ucap Ismid.

Seperti diketahui, Presiden Jokowi masih menerima masukan mengenai siapa saja yang nantinya pantas mengisi pos Dewan Pengawas KPK. Rencananya, anggota Dewan Pengawas tersebut akan dilantik bersamaan dengan pengambilan sumpah pimpinan komisioner KPK periode 2019-2023.

(riz/gw/fin)


Editor: Net

Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait



add images