iklan Ketua YLBHI Asfinawati.
Ketua YLBHI Asfinawati. (Net)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (MA) Nomor 02 Tahun 2020 berpotensi membangkitkan praktik mafia peradilan. SEMA tentang tata tertib menghadiri persidangan, salah satunya soal larangan merekam dalam bentuk foto maupun suara serta mengambil gambar proses peradilan tanpa seizin Ketua Pengadilan Negeri.

Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan, Surat edaran tersebut bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Lantaran, menurutnya, berpotensi menghambat kinerja jurnalistik dalam memperoleh informasi dan menyebarluaskannya kepada publik khususnya menyangkut peradilan.

“Apalagi terdapat ancaman pemidanaan di dalamnya,” ujar Asfinawati kepada awak media, Kamis (27/2).

Ancaman pidana yang ada dalam surat edaran tersebut, dikatakan Asfinawati, sudah terdapat dalam UU Pers. Sehingga, menurut dia, tidak pada tempatnya dicantumkan dalam surat edaran ini.

Selain itu memfoto, merekam, dan meliput persidangan tanpa izin adalah ranah hukum administrasi yang dihubungkan dengan sesuatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan memfoto, merekam, dan meliput tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang.

“Ketua Pengadilan dan birokrasinya akan dengan mudah menolak permohonan izin tersebut dengan berbagai alasan dan kepentingan tertentu,” kata Asfinawati.

Ketua bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menyatakan, rekaman sidang memiliki beberapa manfaat. Salah satunya terkait bukti keterangan-keterangan saksi dalam persidangan.

Menurut Isnur, Indonesia tidak memiliki tradisi dan ketentuan yang ketat mengenai catatan jalannya sidang. Ia mengatakan, pihaknya kerap menemui perbedaan kutipan atas keterangan saksi baik dalam tuntutan jaksa mau pun putusan hakim. Keterangan saksi yang dikutip tidak secara utuh berpotensi menimbulkan perbedaan makna.

“Pola lain adalah ada keterangan saksi-saksi tertentu tidak diambil dan tidak dijelaskan pemilihan keterangan saksi tersebut. Dalam pengalaman LBH juga sering ditemukan bahkan hakim menghalang-halangi liputan media dan juga dokumentasi oleh tim penasihat hukum,” tutur Isnur.

Isnur menambahkan, rekaman sidang juga dapat dijadikan bukti atas sikap majelis hakim dan para pihak yang berkepentingan dalam persidangan. Ia menekankan, hakim dan para pihak itu terikat pada hukum dalam bertindak di persidangan.

Dalam Pasal 158 KUHAP, misalnya, hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di dalam persidangan tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.

“Atau Pasal 166 KUHAP yang mengatur pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi,” ucap Isnur.

Selain itu, kata Isnur, rekaman persidangan juga dapat membuat hakim dan para pihak lain merasa diawasi. Setidaknya, kata dia, mereka bakal berpikir dua kali apabila hendak bertindak tidak baik karena akan terekam dan dijadikan bukti.

“Di sisi lain, masalah-masalah pengadilan belum banyak berubah. Meskipun terdapat beberapa peraturan di tingkat MA yang membawa pembaruan MA, tetapi praktik-praktik minta uang serta layanan yang belum teratur masih ditemui di mana-mana. Pengadilan lambat merespons permintaan pihak-pihak yang berperkara,” tutur Isnur.

Atas hal itu, Isnur menyatakan, YLBHI mengecam lahirnya larangan MA untuk mendokumentasikan persidangan tanpa seizin Ketua Pengadilan. Selain itu, YLBHI meminta larangan tersebut dicabut dari Surat Edaran MA 2/2020.

Hal senada diungkapkan pengamat hukum Universitas Al Azhar, Jakarta, Suparji Ahmad. Dia menyebut SEMA No 2/2020 merepotkan kinerja wartawan.

“Ini bisa merepotkan kerja insan pers. Harus diperjelas urgensi aturan SEMA Nomor 2 Tahun 2020. Apakah selama ini tanpa izin mengganggu persidangan,” ujarnya.

Suparji memaparkan, kehadiran pers di setiap persidangan juga untuk menegakkan keadilan.


Berita Terkait



add images