iklan

Oleh: Amri Ikhsan

 

Ya Allah, kami tak bisa berbuat lebih banyak di ramadhan ini. Kami hanya mampu untuk mereguk nikmat dan senang, tanpa bisa memberikan yang terbaik untuk-Mu. Di bulan ini kami lebih banyak meminta ketimbang mengerjakan seruanMu. Ramadhan bagi sebagian kami, tak ubahnya sebuah pesta. Ramadhan bagi segolongan kami, sekadar seremonial ibadah.

Ramadhan hampir meninggalkan kita. Ini adalah injury time kita untuk beribadah.Dalam pertandingan sepak bola, waktu ini merupakan menit-menit akhir, waktu yang paling menentukan dan menegangkan (Republika). Idealnya, kaum muslimin akan mengeluarkan segenap kemampuannya, setiap waktunya untuk beribadah agar bisa ‘memenagkan pertandingan’ atau minimal menghindari atau menyelamatkan timya dari kekalahan.

Diakhir-akhir Ramadhan, Rasulullah SAW lebih bersemangat dalam menunaikan berbagai macam ibadah dibandingkan hari-hari lainnya. (HR Muslim). Dalam hadis lain disebutkan, bila memasuki 10 hari terakhir Ramadhan, Nabi SAW menyingsingkan lengan baju, menghidupkan seluruh malamnya, dan membangunkan keluarganya. (HR Bukhari. Lih. Shahih Bukhari Juz II hal 711).

Rasulullah SAW menghidupkan seluruh malamnya dengan qiyam, tilawatul Quran, zikir dengan hati, lisan, dan anggota badan karena mulianya malam-malam ini dan untuk menanti Lailatul Qadar. Dalam riwayat an-Nasa’i dari Siti Aisyah ia berkata, “Aku tidak melihat Rasulullah SAW membaca Alquran atau shalat sepanjang malam sampai pagi selain bulan Ramadhan.”

Adab yang baik di malam-malam terakhir Ramadhan adalah ‘membiarkan’ bulan suci ramadhan pergi dengan perasaan sedih dan merasa menyesal kenapa waktu disia sia untuk hal yang tidak berguna, tidak beribadah secara kaffah.

Jika kita sungguh bahagia dengan kedatangan bulan Ramadhan, menikmati ibadah dan puasa, maka berusahalah sebaik mungkin untuk menjalankannya, meyakini segala manfaat, kemuliaan dan kebesarannya. Ketika bulan itu akan ditinggalkan, sangat wajar kalau kita sedih dan berduka.

Sayang sekali, ada fenomena menunjukkan, semakin bertambah hitungan hari bulan ramadhan ada kecenderungan kualitas ibadah ramadhan kita menurun. Konsentrasi kita bukan lagi bagaimana mengoptimalkan amal pada hari-hari terakhir ramadhan agar tetap semangat sampai akhir ramadhan. Faktanya pada penghujung ramadhan jamaah tarawih dan shubuh menyusut, kotak amal makin kosong, tadarus Alquran makin sayup-sayup, bahkan barakah keutamaan sahur disia-siakan.

Alih-alih meningkatkan kualitas ibadah, tetapi konsentrasi telah beralih menyambut tanda berakhirnya ramadhan, yaitu Idul Fitri. Keramaian telah bergeser dari masjid ke mall, toko, swalayan dan bazar-bazar untuk memborong berbagai barang, dari pakaian sampai makanan. Akhir ramadhan, daya konsumtif masyarakat mendadak melonjak tajam.

Para salafusshalih menangis ketika akan berpisah dengan bulan ramadhan. Mereka merasakan nikmatnya ramadhan yang terbukti mampu merubah perilaku seorang muslim sedemikian rupa. Ibaratnya, ramadhan adalah oase di tengah-tengah gurun pasir yang panas, tempat musafir melepaskan letih dan dahaga dan melanjutkan perjalanannya. Karenanya, indikasi sukses ramadhan adalah kemampuan membawa nilai ruhiyah selama ramadhan untuk disambungkan sebagai amalan pada hari-hari lain di luar ramadhan.

Banyak orang berharap ada perubahan dalam dirinya setelah sebulan berpuasa. Sebulan berpuasa akan melahirkan manusia baru, yakni manusia yang lebih mengedepankan perilaku religius. Manusia baru tak membedakan ibadanya sebelas bulan pasca-Ramadhan dan Ramadhan itu sendiri. Semangat Ramadhan memunculkan kesholehan dan kecerdasan sosial yang terus membimbingnya pada sebelas bulan lainnya.

Kesholehan dan kecerdasan sosial mengandung makna, orang itu memiliki kepedulian untuk berhubungan secara harmonis dengan lingkungan sosial dan alam sekitar, sekaligus ikut bertanggung jawab terhadap setiap aktivitas masyarakat dan berperan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilandasi kualitas iman dan takwa.

Alangkah indahnya jika kesalehan sosial kian menebal pasca- Ramadhan. Kita paham aturan main sebenarnya sehingga hidup lebih disiplin. Kita paham makna kerja keras bukan bernafsu meraih kesenangan dengan cara secepatnya. Kita menempatkan perbedaan sebagai landasan hidup harmonis, bukan pemicu konflik.

Itulah ”manusia baru” yang diharapkan lahir pasca-Ramadhan. Jika saja ke depan tak menemukan ”manusia baru” dimaksud, kita pertanyakan kualitas ibadah puasa kita. Ramadhan hanya membangun kesalehan ibadah, tanpa kesalehan sosial. Rugilah mereka yang melewatkan Ramadhan demi kesalehan ibadah belaka dan merayakan hari kemenangan menjadi semu belaka.

Ya Allah, diantara yang paling istimewa dari kewajiban itu Engkau jadikan bulan Ramadhan yang Kau istimewakan dari bulan yang lain. Kau pilih ia dari semua zaman dan masa; Kau lebihkan ia dari semua waktu dalam setahun dengan Al-qur’an dan cahaya yang Kau turunkan didalamnya, dengan puasa yang Kau wajibkan didalamnya, dengan malam Qadar yang lebih baik dari seribu bulan yang Kau agungkan didalamnya, kemudian Kau istimewakan kami dari semua umat; maka kami berpuasa atas perintah-Mu, kami persembahkan puasa dan ibadah kami kepada Mu; melalui itu kami dapat memperoleh pahala-Mu.

Kau penuhi apapun yang diinginkan dari-Mu. Kau permurah dengan apa yang diminta dari karunia-Mu. Kau dekat dengan orang yang berusaha mendekati-Mu. Bulan ini telah hadir ditengah-tengah kami dengan kahadiran yang terpuji, telah menemani kami dengan persahabatan sejati, telah menguntungkan kami dengan keuntungan terbaik di seluruh alam.

Tiba-tiba ia meninggalkan kami pada akhir waktunya, pada kesempurnaan bilangannya; kami ingin mengucapkan selamat tinggal kepadanya, selamat tinggal kepada dia yang telah menyadarkan kami, merisaukan dan mendukakan kami atas kepergiannya; untuknya kami punya janji untuk menjaga kesuciannya, dan mempertahankan ibadah kami disebelas bulan yang lain. (dalam buku Puasa Bersama Sufi)

Ya Allah, pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan tahun depan. Amin!

*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah


Berita Terkait