iklan Fadli Zon (Dok Ist)
Fadli Zon (Dok Ist)

JAMBIUPDATE.CO JAKARTA- Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon menilai ada tiga kondisi fundamental yang memicu terjadinya krisis finansial pada tahun 1997/1998, yaitu gagal bayar utang korporasi, turunnya modal masuk, dan sistem keuangan yang rentan.

Dia khawatir, saat ini dimasa pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amien, kondisi yang sama akan terjadi. Hal itu karena adanya krisi utang dan risiko gagal bayar Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Menurut Fadli, BUMN yang seharusnya bisa jadi alat intervensi negara di dalam perekonomian, kini malah menghadapi risiko gagal bayar yang serius akibat kesalahan Pemerintah dalam lima tahun terakhir.

Dia membeberkan, menurut data Bank Indonesia (BI), dalam lima tahun terakhir total utang luar negeri seluruh BUMN terus mengalami kenaikan. Hingga April 2020, nilai utang luar negeri BUMN mencapai US$55,3 miliar, atau setara Rp775 triliun (kurs Rp14 ribu).

 “Jumlah mencapai lebih dari seperempat total utang luar negeri swasta yang mencapai US$207,8 miliar. Padahal, pada 2014, total utang BUMN masih ada di angka US$30,7 miliar,” ujar Fadli Zon melalui siaran persnya, Kamis (9/7). “Pandemi Covid-19 membuat kondisi tadi jadi lebih buruk, pendapatan hampir seluruh BUMN pasti tergerus, sementara jumlah utang jatuh tempo jumlahnya tak sedikit.” Sambungnya.

Dia melanjutkan, sebagai catatan, antara bulan Mei hingga Desember 2020, ada 13 BUMN yang memiliki obligasi jatuh tempo. “Yang paling besar nilainya adalah Bank Tabungan Negara (BTN), yaitu Rp5,4 triliun, disusul Pupuk Indonesia, senilai Rp4,1 triliun. Kalau BUMN menghadapi risiko gagal bayar, pemulihan ekonomi kita akan kian sulit.” Katanya.

Kasus paling mencolok adalah Garuda Indonesia, sambung Fadli Zon, pada 3 Juni lalu mereka seharusnya membayar utang sukuk global US$500 juta, namun terpaksa harus merestrukturisasinya.

Hal serupa jg terjadi pada BUMN karya, yg pertumbuhan utangnya jauh lebih besar dari labanya. Adhi Karya, misalnya, tahun 2019 lalu pertumbuhan utangnya mencapai 20 persen, sementara labanya hanya naik 3,1 persen. Artinya, kenaikan utang tersebut tidak seimbang dengan pertumbuhan laba perseroan.

“Tak heran jika kemudian BUMN terpaksa harus menjual aset untuk menutupi utang. Waskita Karya, misalnya, yang memiliki utang mencapai Rp89 triliun, akan melepas empat ruas jalan tahun ini, yaitu Tol Becakayu, Tol Kanci-Pejagan, dan Tol Pejagan-Pemalang.” Ujar Fadli Zon.

Dia mengatakan, pada zaman orde baru membangun infrastruktur saat negara sedang menikmati rejeki nomplok “Oil Boom”. Begitu juga di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SB) yang saat itu menikmati booming harga komoditas.

“Nah, Presiden Jokowi ingin membangun berbagai infrastruktur fisik, yang sebagian besarnya berupa infrastruktur konsumtif seperti jalan tol dan bandara, saat negara tak punya pemasukan. Akhirnya, BUMN kita yang dijadikan korbannya. Mereka dipaksa untuk membangun dengan jalan mencari utangan.” Katanya.

“Saya kira ini harus diperhatikan betul. Jangan sampai BUMN justru jadi katalis, bahkan menjadi pemicu bagi terjadinya krisis yang lebih besar.” Sambung dia. (dal/fin)


Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait



add images