iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (Faizal R Syam / FIN)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Kementerian Kesehatan telah membayarkan klaim kepada rumah sakit yang menangani COVID-19 sebesar Rp7,1 triliun. Sementara Rp 4 triliun lagi masih dalam tahap verifikasi.

Plt Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir menerangkan klaim yang sudah disalurkan sebesar Rp7,1 triliun berasal dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Kesehatan sebesar Rp6,2 triliun. Lalu ditambah dari Dana Siap Pakai (DP) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebesar Rp950 miliar.

Sedangkan tagihan klaim yang sudah diajukan oleh sekitar 1.900 rumah sakit per 15 Oktober 2020 totalnya mencapai Rp12 triliun. Sementara total anggaran yang disiapkan pemerintah untuk rumah sakit yang menangani COVID-19 sebanyak Rp21 triliun.

“Berarti masih ada Rp4 triliun lagi yang masih dalam proses verifikasi, dan ini tentu butuh waktu kita untuk memproses verifikasi,” kata dalam keterangan tertulisnya, Jumat (16/10).

Diungkapkannya, berdasarkan data yang dimiliki, pemerintah membayarkan klaim sekitar Rp150 miliar hingga Rp180 miliar per harinya untuk penanganan COVID-19 di rumah sakit.

“Atau setidaknya pemerintah membayarkan sekitar Rp3 triliun lebih kepada rumah sakit yang memberikan pelayanan untuk pasien COVID-19 selama satu bulan,” ujarnya.

Diakui Kadir, pada tahap awal pembayaran klaim memang lebih ketat. Ada 10 klaster dispute atau yang dianggap berkendala kelengkapan dokumen verifikasinya, sehingga pembayaran klaim tidak bisa dilakukan.

“Tapi, sekarang Menteri Kesehatan sudah merivisi Permenkes terkait dengan menyederhanakan hanya menjadi empat klaster dispute,” ungkapnya.

Selain itu, Kadir juga membeberkan kendala lain yang dihadapi dalam pembayaran klaim. Slah satunya adalah tidak seluruh rumah sakit yang mengajukan klaim bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

“Akibatnya tidak terbiasa dengan proses pengajuan klaim elektronik dalam sistem Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS),” katanya.

Untuk itu, pemerintah memberikan bimbingan dan panduan bagi rumah sakit yang belum bermitra dengan BPJS Kesehatan agar tetap bisa mengajukan kelengkapan dokumen untuk proses klaim pembayaran pelayanan kesehatan penanganan COVID-19.

Sementara di Yogyakarta, Direktur Utama Rumah Sakit Jogja Ariyudi Yunita menyebut pihaknya baru memperoleh pembayaran klaim sekitar 20 persen dari total Rp8,6 miliar untuk periode April hingga Oktober.

“Baru dibayar sekitar Rp1,6 miliar. Sedikit banyak mempengaruhi pelayanan tetapi kami tetap upayakan semaksimal mungkin untuk memberikan pelayanan terbaik,” katanya.

Dijelaskannya, untuk memenuhi kebutuhan operasional, RS Jogja masih mendapat dukungan dana dari APBD Kota Yogyakarta dan anggaran belanja tidak terduga (BTT) untuk penanganan COVID-19.

Selain itu, RS Jogja juga mengoptimalkan anggaran rumah sakit dengan efisiensi anggaran karena pembayaran klaim yang belum dilakukan secara penuh tersebut juga berdampak pada menurunnya pendapatan.

“Di satu sisi, jumlah pasien yang datang ke RS Jogja berkurang karena dampak COVID-19, tetapi di sisi lain pasien COVID-19 membutuhkan biaya yang cukup tinggi tetapi klaim tidak segera dicairkan,” katanya.

Klaim diajukan ke Kementerian Kesehatan dan proses verifikasi dilakukan oleh BPJS Kesehatan.

“Terakhir kali kami mengajukan klaim adalah pada Oktober. Sudah dilakukan komunikasi dan konfirmasi ke BPJS yang kemudian menyebut ada berkas yang ‘dispute’,” katanya.

Sementara terkait tudingan rumah sakit meng-COVID-kan pasien untuk mendapat keuntungan, dibantah Tonang Dwi Ardyanto dari Kompartemen Jaminan Kesehatan Pengurus Pusat Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Ditegaskannya, pihak rumah sakit selalu berkoordinasi dengan pihak keluarga terkait penyakit yang diderita pasien.

“RS menjelaskan soal General Concent, isinya mengenai pasien dan keluarga setuju ditangani dengan prosedur COVID-19 pas masuk, termasuk konsekuensi soal pembiayaan. Bagaimana kalau nanti meninggal, itu kita jelaskan,” katanya.

General Concent atau persetujuan dari pasien atau keluarga biasanya dilakukan di awal perawatan. Sedangkan terkait COVID-19, dilakukan setelah ada keputusan diagnosis awal sebagai suspek atau probable.

“Tapi kadang masyarakat salah sangka mengira RS mendorong-dorong, memaksa-maksa, membujuk, dengan pemahaman mereka bahwa pasien harus COVID-19 biar nggak bayar. padahal sebetulnya kalau COVID-19 memang kewajiban pemerintah untuk menanggung,” jelasnya.

Dicontohkannya, jika ada pasien korban kecelakaan datang ke UGD dengan kondisi Death on Arrival atau datang dalam keadaan meninggal. Maka RS wajib memastikan dugaan kematian. Dikatakannya, penyebab kematian tetap kecelakaan, namun karena saat ini dalam kondisi wabah, RS harus melakukan penyelidikan epidemiologi untuk memastikan apakah pasien sebelum meninggal memiliki gejala atau pernah kontak dekat dengan pasien COVID-19.

“Kalau ada, maka kami memasukkan di penanganan dengan koridor COVID-19. Ini bukan berarti ‘kok kecelakaan tapi di-COVID-kan. Nggak. Tetap kecelakan tapi status pemakamannya dengan tujuan menghindari penularan dengan cara prosedur COVID-19,” jelasnya.

Ditegaskannya, dalam kondisi pandemi seperti ini, rumah sakit hanya mendapat penggantian biaya sebatas pemulasaraaannya saja. Ia juga mengatakan tidak benarkalau ada yang mengatakan jika ada pasien COVID-19 yang datang meninggal, RS bisa memperoleh keuntungan.

“Pengajuan klaim pembayaran pasien COVID-19 harus dilakukan berdasarkan assesmen klinis. Rumah sakit yang memberikan pelayanan tidak sesuai tata kelola pelayanan tidak akan diberikan klaim penggantian biaya pasien COVID-19. Itu ada aturannya di KMK, jelas bahwa RS hanya mendapat penggantian biaya pemulasaraannya saja,” katanya.(gw/fin)


Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait



add images