iklan Disway.
Disway.

Oleh: Dahlan Iskan

“BANYAK mana? Yang kelaparan atau yang kena Covid?”

“Banyak yang kelaparan”.

“Banyak mana, yang kehilangan pekerjaan atau yang kena Covid?”

“Banyak yang kena Covid”. “Banyak mana, seniman yang nganggur atau orang yang kena Covid?”

“Lebih banyak seniman yang nganggur”.

Itulah dialog antara dalang dan kru yang mengiringi pergelaran wayang kulitnya. Sang dalang saat itu sudah siap di depan kelir. Penabuh gamelan sudah di depan alat musik masing-masing. Para sinden (penyanyi) sudah duduk berjajar dengan pakaian Jawa.

Nama dalang itu: Purbo Asmoro. Dari Solo. Kelahiran Pacitan.

“Pilih dapat bantuan atau pilih ada yang mengundang show?” tanya Ki Dalang lagi.

“Pilih ada yang undang show!” jawab mereka serentak.

“Kalau begitu, ayo dimulai,” ujar Ki Purbo Asmoro.

Gamelan pun dibunyikan. Pesinden mengalunkan lagu. Tangan kiri Ki Dalang mulai mengetukkan bunyi penanda. Telapak kaki kanannya mulai membunyikan kepyak. Tangan kanannya memegang gunungan.

Pertunjukan wayang kulit pun dimulai.

Tidak ada yang menonton.

Ups… ada! Yang menonton adalah mereka yang mengikuti live streaming pertunjukan malam itu. Juga yang mencarinya di YouTube.

Itulah wayang kulit virtual.

Untuk mengatasi keadaan yang sangat berat.

Selama pandemi Covid-19 dalang-dalang memang nganggur. Para wiyogo (penabuh gamelan) tidak ada pekerjaan. Sinden-sinden pun tidak ada kesempatan membuka mulut.

Tapi begitu ditemukan jalan virtual ini mereka seperti mulai ”hidup lagi”.

Tiga bulan pertama pandemi suasananya seperti tanpa harapan. Yang ada sedih dan sedih. “Sejak ada pertunjukan virtual wajah-wajah kami seperti mulai dialiri darah lagi,” ujar Purbo Asmoro.

Purbo termasuk dalang yang laris di kanal YouTube. Lakon ”lahirnya Bagong”, misalnya, ditonton sampai 160.000 orang. Jauh lebih banyak dibanding penonton show sebelum pandemi.

Saya, belakangan, termasuk sering membuka YouTube Purbo Asmoro. Mula-mula karena ditegur pembaca Disway. Yakni setelah saya menulis panjang tentang dalang Seno Nugroho. Yang begitu larisnya. Yang saat anggap Seno lah marketer of the year. Yang meninggal dunia belum lama ini.

“Tapi menurut saya, dalang terbaik saat ini adalah Purbo Asmoro,” ujar pembaca itu.

Saya pun mencari cara agar bisa terhubung dengan Ki Purbo. Tersambung. Kemarin. Ayahnya ternyata juga dalang. Baru meninggal 100 hari yang lalu. Sampai usia hampir 80 tahun sang ayah masih mendalang. Khususnya untuk ruwatan. Kakek Purbo Asmoro pun juga dalang. Pun canggahnya, juga dalang. Mereka berasal dari desa paling pojok barat Pacitan –guyonnya, sudah dekat dengan Australia Barat.

Sang ayah menyekolahkan Purbo ke Solo. Ke SMA khusus kesenian –jurusan karawitan dan pedalangan. Lalu kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) di Solo sampai S-1. “Ayah saya ingin anaknya tidak sekadar bisa mendalang, tapi juga tahu ilmunya,” ujar Purbo Asmoro.

Beberapa kali saya telepon Ki Purbo. Yang usianya kini sudah hampir 60 tahun. Tinggalnya di pinggiran utara kota Solo. Yakni di sebuah rumah dengan halaman luas. Dengan gerbang yang bagus. Dan di seberang rumah itu masih ada tanah miliknya. Di situ mobil-mobilnya parkir. Termasuk dua mobil Fiat tahun 1950-an yang mesinnya sudah diganti baru. Rupanya ia penggemar mobil kuno.

Di pekarangan itu juga diparkir ”kendaraan khusus” miliknya –mirip kendaraan di zaman pewayangan: kreto. Yakni kereta seperti yang dimiliki kerajaan-kerajaan masa lalu.

Tapi itu kereta baru. Dibuat sendiri 8 tahun lalu. Dari kayu jati. Termasuk jari-jari rodanya. Penampilannya dibuat seperti kereta kuno.

Sesekali Purbo Asmoro berangkat mendalang dengan naik kereta itu. Yang ditarik dua ekor kuda –bukan 8 kuda seperti di lakon wayang. Jalannya pun pelan. Harus bersaing dengan sepeda motor, bendi, dan mobil. Tidak bisa sekencang seperti di wayang –yang digambarkan sampai rodanya mengambang lima inci di atas tanah.

Sejak pertama live streaming, sampai tulisan ini dibuat, sudah 30 lakon di-upload ke YouTube. Lewat channel Purbo Asmoro official.

Ki Purbo sendiri tidak hanya mengandalkan kehidupan dari mendalang. Sehari-hari ia dosen di ISI Solo –almamaternya dulu. Karena itu terlihat sekali intelektualitasnya.

Ia juga menjadi dalang yang tidak mau dipanggil show setiap malam. “Saya harus memikirkan kesehatan saya jangan panjang,” katanya. Mendalang itu pekerjaan satu malam suntuk. Kalau sebulan 30 hari bisa merusak kesehatan. Juga merusak kehidupan rumah tangga yang normal.

Ia termasuk dalang yang rumah tangganya dijaga dengan baik. Ia dalang yang hidupnya sangat tertib –sebagai suami dan ayah.

Anak kedua Ki Purbo juga sudah bisa mendalang. Tapi masih belum mau tampil di publik. Ia baru lulus ISI Solo.

Setelah menonton banyak penampilannya, saya setuju Ki Purbo sangat menonjol dari segi sastra. Intelektualitasnya dan kesastrawanannya terlihat di kalimat-kalimat yang bersastra di pementasannya. Tapi itu juga membuat Ki Purbo terasa sangat ”priayi”. Humor-humornya intelek. Tidak bisa sebebas dan senakal seperti Seno Nugroho. Dialog-dialog antar-tokohnya juga bisa dianggap kurang ”liar”. Kurang bisa menyatu dengan penonton masa kini.

Tapi itulah memang Ki Purbo. Yang sosoknya juga sangat priayi. Yang mungkin ia-lah kini menjaga wayang kulit lengkap dengan warna sastranya.

Saya lagi mencari buku yang ditulis peneliti Amerika Serikat dua tahun lalu. Peneliti itu, Kathryn Emerson, menulis buku tentang Purbo Asmoro.

Kathryn, asal Michigan, kini bergelar doktor. Dia mempelajari gamelan Jawa di Solo. Bahkan sampai bisa ngendang –membunyikan kendang, instrumen tersulit di gamelan.

Kathryn rupanya jatuh cinta ke instrumen kendang –kemudian jatuh cinta pula ke pria Solo di belakang kendang tersebut: Wakidi Dwijo Martono. Dia pun kawin dengannya. Kini Kathryn bekerja di Jakarta. Setelah pensiun nanti akan menetap di Solo.

Saya sudah berkomunikasi dengan Kathryn. Dia lagi sibuk mengerjakan penerjemahan pertunjukan wayang kulit ke dalam bahasa Inggris. Dengan demikian akan ada teks Inggris di layar YouTube kelak. Yang diterjemahkan oleh orang yang sangat mengerti wayang dan sangat –tentu saja– menguasai bahasa Inggris.

Sesekali Kathryn ikut menjadi sinden di pementasan Ki Purbo atau Seno Nugroho.

Ki Purbo sudah pernah pula ke kampung Kathryn di Michigan. Ia mendalang di sana –di dalam gedung. Sudah berkali-kali Ki Purbo pentas di Amerika. Di berbagai kota di sana. Ia juga pernah pentas di Inggris, Austria, Jepang dan banyak negara lainnya.

Kesenimanan Ki Purbo juga terlihat dari bagaimana ia menyikapi Covid. Ketika berkerumun dilarang. Jarak harus dijaga. Tinggal pun di rumah saja.

Di awal pandemi itu Ki Purbo kelihatan sedih sekali. Terutama ketika melihat begitu banyak yang ikut menggantungkan hidup padanya.

“Mengapa terjadi pandemi. Kapan pandemi berakhir”. Pertanyaan itu mengusik batinnya. Maka kesenimanan Ki Purbo muncul. Ia ingin mendalang. Di rumahnya. Sendirian. Tanpa gamelan. Tanpa sinden. Tanpa siapa-siapa.

Betapa sepinya.

Betapa sunyinya.

Betapa mengiris-iris hatinya.

Malam itu Ki Purbo tetap mengenakan pakaian dalang. Lengkap dengan blangkon dan kerisnya. Resmi sekali. Seperti layaknya akan pentas besar. Bahkan ia juga membawa sesajen. Dengan tokoh wayang Betari Durga yang dibungkus kain putih.

Ia sadar adegan sesaji itu bisa dikecam kalangan agamawan garis jingga. Maka ia jelaskan: sesajen itu bukan untuk dipersembahkan kepada setan. “Setan tidak makan buah-buahan,” katanya.

Sesajen itu ia maksudkan sebagai rasa syukur. Bahwa di tengah pandemi ia masih hidup. Masih segar. Masih bisa mendalang.

Meski harus sendirian.

Mendalang itu harus mengerjakan banyak tugas: tangannya, kakinya, mulutnya dan bibirnya. Malam itu Ki Purbo masih menambah satu pekerjaan lagi untuk dirinya. Ia taruh alat musik ”gender” di depannya –instrumen yang juga sulit. Ia akan mendalang sambil menggender. Juga sambil menabuh gendang –suara gendang itu diwakili suara di mulutnya.

Kalau tidak ada pandemi tidak mungkin ada dalang melakukan itu. Saking inginnya tetap berkarya di masa pandemi Ki Purbo melakukan apa pun yang mungkin dilakukan.

Kehadiran gender itu ternyata sangat mewarnai. Tapi Ki Purbo harus membagi tangannya. Kapan menggerakkan wayang, kapan menabuh gender.

Saya begitu terharu melihatnya di YouTube.

Malam itu Ki Purbo memainkan lakon ‘Sudomolo’. Hanya ada satu orang ‘lain’ di situ. Yakni anaknya nomor dua. Yang memegang kamera. Untuk live streaming.

Lakon ‘Sudomolo’ sendiri dipilih karena konstektual: itu adalah doa dari Ki Purbo agar pandemi segera lenyap.

Itu dilambangkan tokoh Betari Durga di lakon itu. Yang asalnya adalah bidadari cantik di alam kedewaan. Karena berbuat jahat dia jadi raksasa wanita yang buruk. Dia juga jadi pembawa segala bencana di alam dunia.

Setelah puluhan tahun menjalani hidup sebagai raksasa, Durga ingin kembali menjadi bidadari. Agar dunia bisa kembali tenteram. Satu-satunya yang bisa ‘meruwat’ Durga adalah si bungsu Pandawa, Sadewa.

Maka berkat kesakitan Sadewa, Durga pun bisa kembali jadi bidadari yang cantik.

“Itu lakon kreasi Anda sendiri atau sesuai dengan pakem pewayangan?” tanya saya.

“Itu ada di kitab sastra Sudomolo karya sastrawan Agung Prof. Dr. Raden Mas Purbatjaraka,” ujar Ki Purbo. Yang lahir tahun 1884.

Tanpa gamelan dan sinden, seorang dalang ternyata tetap bisa tampil mengharukan. Hanya saja ketika adegan perang memang terasa tidak serunya. Sepo.

Apa pun, setidaknya pandemi telah memaksa segala macam kreasi terlahirkan.

Lalu jadilah kehidupan baru: dalang virtual. Dalang Youtube. Dengan penonton puluhan sampai ratusan ribu orang.

Dulu seorang dalang hanya mengenal dunia mayapada. Kini mereka harus mendalang di dunia maya. (*)


Berita Terkait



add images