iklan Disway.
Disway.

Oleh: Dahlan Iskan

KERETA barang dari Wuhan (Tiongkok) berangkat ke Jerman. Waktunya hampir bersamaan dengan berangkatnya kapal Ever Given dari Shenzhen (Tiongkok) ke Rotterdam (Belanda): Selasa 23 Maret lalu.

 

Dari Wuhan kereta barang itu jalan terus, menikung ke utara, menuju Moskow. Setelah berhenti sebentar di ibu kota Rusia itu, kereta berbelok ke selatan menuju kota Duisburg.

Tidak ada rel pintas lurus ke barat lewat Turki. Tidak bisa menghemat waktu: perjalanan kereta Wuhan-Duisburg itu 15 hari. Kini tiap hari ada saja kereta barang yang berangkat dari Tiongkok ke Eropa. Dari berbagai kota di Tiongkok ke berbagai kota di Eropa.

Kapal Ever Given punya jalan pintas: terusan Suez. Dari pada menikung ke selatan, melewati Tanjung Harapan di selatan Afrika.

Itu bisa hemat waktu 7 hari. Kalau lancar. Juga lebih aman: tidak diganggu bajak laut di laut timur Afrika.

Dari Shenzhen, kapal kontainer itu mampir dulu di pelabuhan Tanjung Pelepas, Malaysia. Tanjung Pelepas adalah pelabuhan yang dibangun dalam periode pertama Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Tanjung Pelepas dijagokan untuk bersaing melawan pelabuhan Singapura. Karena itu letaknya hanya sepelemparan batu dari Singapura.

Dari Tanjung Pelepas salah satu kapal terbesar di dunia itu lurus ke barat. Mengarungi Samudera Hindia. Terus ke barat lagi mendekati Jazirah Arab. Lalu memasuki Laut Merah –yang pernah ”dibelah” oleh tongkat Nabi Musa itu.

Setelah satu malam menyusuri Laut Merah, menjelang subuh, kapal itu memasuki Terusan Suez. Itulah tol laut buatan untuk cepat sampai ke Laut Tengah.

”Sungai buatan” itu lebarnya 200 meter. Kapal itu sendiri lebarnya 50 meter. Tapi panjangnya –duile– 400 meter.

Rencananya kapal itu akan menyusuri terusan Suez selama 7 jam. Panjang terusan itu memang hanya 200 Km tapi kapal tidak boleh berlayar terlalu cepat. Di bagian-bagian tertentu, di kanan-kiri sungai itu, terbuat dari tanah berpasir. Kapal yang berjalan cepat bisa menimbulkan gelombang: menghantam pinggiran sungai.

Ever Given baru 2 jam berlayar di sungai buatan itu. Langit seharusnya mulai terang: jam 6.30 pagi, waktu setempat. Tapi kapal modern itu (selesai dibangun tahun 2018 di Jepang) tidak terlihat jelas. Nakhoda kapal juga tidak bisa melihat ke sekitar. Pagi itu terjadi badai yang bukan sembarang badai: badai pasir. Menurut media di Mesir, kecepatan angin di saat badai itu mencapai 39 Km/jam.

Inilah salah satu kelemahan kapal raksasa: bidang yang diterpa badai sangat luas. Apalagi Ever Given penuh dengan tumpukan kontainer. Dari muka sampai belakang. Sampai-sampai, sekilas, kapal ini seperti gedung tinggi yang berderet-deret rapat. Badai menerpa Ever Given.

Posisi kapal pun berubah. Buritannya mengarah ke tepi barat sungai. Kepalanya bersandar ke tepi timur terusan. Kapal sepanjang 400 meter ini pun memblokade terusan yang lebarnya 200 meter.

Panjangnya kapal memang dua kali dari lebarnya terusan. Maka posisi kapal pun diagonal: memblokade total terusan Suez sisi selatan.

Kapal berhenti jegreg di situ. Dua ujungnya terperosok di pinggiran sungai yang lebih dangkal. Berbagai upaya menggerakkan kapal gagal. Buritannya terbenam dalam ke dalam lumpur.

Kalau saja badai itu datang satu jam kemudian, Ever Given akan selamat. Di depan sana, di bagian tengah terusan itu, ada danau besar yang dalam: Danau Pahit. Terusan Suez memotong danau itu.

Tapi badai datang terlalu pagi. Suez tersumbat di tengahnya. Lalu-lintas kapal di terusan sepanjang 200 Km itu pun berhenti total. Ada 107 kapal di belakang Ever Given yang tertahan. Masih ada 41 kapal yang terpaksa parkir di Danau Pahit. Lalu ada 89 kapal yang dari arah utara menuju Laut Merah. Semua berhenti. Kian hari kian banyak yang tertahan.

Semua kapal menunggu nasib Ever Given: apakah bisa terangkat dari lumpur pinggiran barat terusan.

Sampai tadi malam: belum berhasil.

Berarti sudah lima hari buritan Ever Given terpacak dalam lumpur.

Kian panjang kapal yang antre di belakangnya –dan di depannya. Dunia mulai berteriak: belum lagi sembuh dari Covid-19, dunia logistik terganggu oleh Suez.

Dua belas persen logistik dunia tergantung oleh terusan Suez.

Pers Barat memuat foto yang menarik. Kapal itu begitu besarnya. Terlihat ada upaya naif untuk menggerakkan kapal itu: dengan cara mengeduk lumpur di buritan kapal.

Yang melakukan pengedukan adalah ekskavator. Ekskavator-nya satu buah.

Foto itu menjadi menarik karena betapa besarnya kapal itu. Lalu betapa kecilnya ekskavator itu. Itu ibarat pertempuran antara semut dan gajah bengkak.

Tentu saja: gagal.

Maka dikerahkan kapal penarik. Satu kurang kuat. Ditambah dua. Ditambah tiga. Ditambah empat. Sampai enam kapal pun tidak berhasil menggoyang Ever Given –mbegegeg-ugeg-ugeg.

Lalu Belanda turun tangan. Dikirimlah kapal penyedot lumpur. Yang kemampuannya sama dengan ratusan ekskavator sekaligus: bisa memindahkan lumpur 2.000 m3/jam.

Sudah dua hari kapal penyedot lumpur itu bekerja: belum berhasil.


Berita Terkait



add images