iklan Kapal Pertamina Prime Milik PIS (Pertamina)
Kapal Pertamina Prime Milik PIS (Pertamina)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA– Teknologi industri maritim terus berkembang, salah satunya adalah teknologi Marine Autonomous Surface Ships (MASS) atau teknologi kapal laut tanpa awak.  Apakah MASS cocok untuk di Indonesia? Bagaimana sistem keamanannya? Bagaimana nasib para pelaut nanti dengan kehadiran MASS ini?

“Jika topik yang diangkat ini, dibicarakan di kampus-kampus sarat teknologi seperti ITB, ITS, dsb, maka saya akan mengatakan bahwa topik ini sungguh pas. Tapi dikarenakan yang mengangkatnya adalah Kampus Politeknik Pelayaran Sumbar, maka saya hendak mengatakan bahwa sebetulnya ini lebih menjadi ancaman bagi Taruna/I dan seluruh civitas Politeknik Pelayaran,” demikian disampaikan Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa SSiT., M. Mar, Pengamat Maritim dan Pengurus DPP Perkumpulan Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia AKKMI) dalam keterangannya, Rabu (27/10/2021).

Capt Hakeng mengatakan, sangat penting baginya menyampaikan hal tersebut kepada para Taruna/Taruni sekolah Pelayaran, dengan tujuan untuk melahirkan pelaut-pelaut tangguh guna mengawaki kapal-kapal Niaga di seluruh penjuru dunia. Sedang teknologi MASS tersebut, tujuan akhirnya adalah menghilangkan para pelaut dan digantikan perannya oleh Artificial Intelligence (AI).

Yang menjadi sorotan lain dari  Ka. Bid Hukum DPP Corps Alumni Akademi Ilmu Pelayaran ini adalah melihat dahulu peta kekuatan negara-negara yang terdapat di International Maritime Organization (IMO). Dewan IMO sendiri dibagi menjadi tiga kategori yaitu kategori A dimana anggotanya adalah Negara-Negara yang memiliki interest tertinggi dalam dunia perkapalan. Kategori B adalah negara dengan interest di bidang SeaBorne Trade, serta Indonesia di Kategori C ; dengan interest di letak geografisnya.

“Jadi para raksasa shipping saat ini berada di kategori A. Mari Kita lihat siapa saja yang menjadi Negara-negara sponsor teknologi MASS ini? Mereka adalah negara Denmark, Estonia, Finlandia, Jepang, Belanda, Norwegia, Korsel, Inggris, Amerika. Dan bisa dikatakan semuanya mewakili Kategori A,” ungkap Capt Hakeng.

Berdasarkan data yang didapatkan dari situs wikipedia.org, maka untuk Negara-Negara tersebut dan ditambah Indonesia, pertambahan jumlah penduduknya adalah Denmark,  -0,01  persen, Estonia : -3.40 persen, Finlandia -0.16 persen, Jepang -1.31 persen, Belanda 1.52 persen, Norwegia 1.64 persen, Korsel 2.57 persen, Inggris 3.01 persen, Amerika 5.45 persen dan Indonesia 12.20 persen.

“Dari sini dapat kita lihat serta amati bahwa patut diduga yang menjadi alasan-alasan negara-negara tersebut mau mensponsori implementasi teknologi ini adalah terkait  kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mereka alami. Dan jika pun SDMnya  ada, yang ingin menjadi pelaut sangatlah sedikit,’ bebernya.

Capt Hakeng memberikan contoh negara Norwegia. Sebagai salah satu contoh kekuatan di dewan Kategori A,  Norwegia adalah negara yang sangat makmur seperti umumnya Negara-Negara Skandinavia. Soal security dan safety tentunya mereka disebut yang terbaik. Bahkan bisa dikatakan di atas Negara Eropa lainnya.

Negara dengan populasi yang hanya 5 juta penduduk ini sudah sedemikian majunya dalam dunia pelayaran. Tapi SDM-nya sangat minim. Maka keberadaan Pelaut asing di kapal-kapal Norway atau Uni Eropa lebih dilihat sebagai CASH OUT devisa Negara mereka.  Jumlahnya sekitar 30 persen dari neraca berjalan sektor transportasi laut.

“Tentunya bagi negara-negara ini, mereka tidak memiliki romantisme dengan menghilangkan pelaut diatas kapal, karena bukan warga negara eropa juga. Maka diciptakanlah MASS, yang pertama di Norway, dan berlayar di antara Fjord. Buat mereka MASS adalah penyelamat devisa. Sementara buat negara yang memiliki pelaut banyak, MASS adalah bencana apabila di-approve oleh IMO,” tegas Capt. Hakeng.

Ada hal yang harus dipertimbangkan sebelum menerapkan teknologi MASS di Indonesia menurut Capt. Hakeng. Penerapan MASS ini harus terlebih dahulu dilengkapi dengan aturan yang jelas.

“Teknologi kapal tanpa awak harus dipikirkan secara matang penerapannya di Indonesia.  Karena masih membutuhkan kajian lebih lanjut terutama berhubungan dengan regulasi, dimana dalam kesempatan ini saya mencoba menghubungkannya dengan Undang Undang No. 17/2008 tentang Pelayaran.,” ujar Capt Hakeng yang juga Sekjen Serikat Pekerja Forum Komunikasi Pekerja dan Pelaut Aktif Pertamina ini.


Berita Terkait



add images