Bersatu Dalam Perbedaan

Posted on 2014-04-22 17:00:00 dibaca 3881 kali
(Salah satu Indikator Kualitas Demokrasi)

Dinamika politik belakangan ini mempengaruhi suhu politik di Indonesia, bagaimana tidak? Kekuasaan selalu merupakan magnit yang mempunyai daya tarik tersendiri, sehingga pergerakan-pergerakan yang seharusnya dirahasiakan malah terpantau media. Akibat manuver politik yang dilakukan dapat menimbulkan masalah baru dan bukan tidak mungkin hasrat untuk mendapat kekuasaan, menjadi mimpi yang tak pernah terjadi. Itulah gambaran terhadap beberapa tokoh yang sibuk melakukan komunikasi politik dalam rangka mencari format yang pas dalam  berkoalisi.

Koalisi yang pertama telah disepakati antara PDI Perjuangan dengan Partai Nasdem, lantas koalisi tandinganpun bermunculan yaitu koalisi Nasionalis dan Islam (antara Partai Gerindra dan PPP). Koalisi ini masih dianggap belum menjamin ketangguhan dari popularitas  dan elektablitas Jokowi. Muncullah selanjutnya Poros Tengah yang sebenarnya adalah bentuk koalisi sesama partai Islam.  

Ada yang berkomentar, koalisi ini tidak sesuai lagi dengan dinamika politik. Bagaimana tidak, ketika Habibie menjadi Presiden, banyak kemajuan Politik yang kita raih, terutama berkaitan dengan kebebasan. Masa Habibie tahanan-tahanan politik dibebaskan, pers mengalami euphoria karena kebebasan pers bukan sekedar lips service tapi betul dibebaskan. Belum lagi kebebasan masyarakat Timor-Timur menentukan nasibnya sendirinya melalui referendum. Jadi wajar jika dunia internasional memberi gelar kepada mantan Presiden Habibie sebagai “a great national democracy”.

Namun perkembangan democracy di Indonesia tidaklah bisa dijamin  linieritasnya. Pada tahun 1999, seharus Megawati terpilih sebagai Presiden, terpaksa menahan mimpinya sejenak akibat munculnya Poros Tengah yang dikomandani oleh Amien Rais, sehingga K.H Abdurrachman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden dan Megawati Soekarnoputeri menjadi wakilnya. Setelah kasus inskontitusional yang dilakukan Gusdur maka beliaupun dilengserkan jadi Presiden. Sehingga ketika itu Amin Rais selalu dihubungkan dengan  bait lagu Rhoma Irama yang berjudul kegagalan cinta  “kau yang mulai, kau yang mengakhiri”. Poros tengah sebenarnya adalah noktah demokrasi Indonesia. Mengapa  demikian? Prof. Dr. Ramlan Surbakti Dalam buku Sistim Politik Indonesia (Rahman, 2009 : 24) membedakan empat system politik yaitu : (1) Sistem Politik Otokrasi Tradisional, (2) Sistem Politik Totaliter, (3) Sistem Politik Demokrasi Demokrasi dan (4) Sistem Politik Negara Sedang Berkembang. Dalam variable identitas bersama disebutkan jika masih membicarakan SARA (Suku Agama, Ras dan Adat)  berarti kita masih terjebak dalam system Politik Otokrasi Tradisional.

Jika mengedepankan idiologi sebagai agama politik berarti Indonesia menganut sistem politik Totaliter dan jika lebih mengedapanan campur tangan pemerintah berarti menganut sistem politik Negara Sedang Berkembang.  Namun jika lebih mengedepankan persatuan dalam perbedaan, itulah sesungguhnya implementasi sejati demokrasi. Seharusnya proses demokrasi Indonesia  sekarang bergerak menuju kemajuan bukan kemunduran seperti tahun 1999, namun faktanya tokoh-tokoh Islam masih membicarakan Poros tengah jilid II.

Koalisi Indonesia Raya.

Jika pada Pemilu 2004 ada terminologi  Koalisi Kebangsaan untuk mengalahkan Koalisi Kerakyatan (milik Susilo Bambang Yudhoyono), kini muncul terminologi baru  yaitu Koalisi Indonesia raya untuk mengalahkan koalisi Partai  PDI Perjuangan dan Partai Nasdem (Koalisi Nasionalis) dan Koalisi Nasionalis dan agama (Partai Gerindra dan PPP). Koalisi Indonesia Raya menurut hemat penulis lebih cerdas dan  cocok jika kita mengacu kepada prinsip demokrasi “bersatu dalam perbedaan”. Koalisi ini sangat sesuai dengan kemajemukan masyarakat Indonesia yang disatukan oleh kesatuan politik. Furnivall pernah mengatakan dalam buku Sistem Sosial Indonesia (Nasikun, 2009 : 35) bahwa masyarakat majemuk (plural societies), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atu lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran dalam satu sama lain dalam suatu kesatuan politik.  Jika koalisi ini benar-benar terwujud menggambarkan demokrasi di Indonesia benar-benar menuju dinamika  linier keatas. Alternatif ini memungkinkan  lebih mempunyai kekuatan ketimbang poros tengah yang sudah terpecah dengan adanya koalisi (partai Gerindra dan PPP).
--batas--
Jika melihat fenomena terakhir dua koalisi sudah memunculkan nama Presiden dan dua macam koalisi lagi belum mencantumkan nama Presiden. Bukan tidak mungkin adanya  Koalisi Indonesia Raya tidak memunculkan nama Presiden, tetapi mendukung salah satu koalisi yang sudah ada. Itulah koalisi ideal jika mengacu kepada dinamika progresif demokrasi lebih berkualitas,  dan dengan demikian  keseimbangan menerapkan  prinsip Bersatu dalam Perbedaan akan lebih terwujudkan . Jika persatuan dan kesatuan (integrasi) telah tercipta, maka basis dalam membangun Indonesia yang lebih baik telah mempunyai fondasi yang lebih kuat dan keukeh (baca : kokoh).  Selanjutnya tinggal membuat program-program bagaimana  meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa  yang merupakan tujuan Negara yang tidak berakhir (never ending goals). Kita tunggu keberhasilan Koalisi Indonesia Raya dalam mewujudkan cita-cita yang telah diamanahkan dalam pembukaan UUD 1945.

 Penulis adalah Ketua Pelanta (NIA. 201307002) dan dosen PNSD STISIP NH Jambi.    

Sumber : jambi ekspres
Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com