TV, Budaya Populer dan Kita

Posted on 2014-04-24 15:35:00 dibaca 3645 kali
John Lodie Baird tentu akan terheran-heran dengan dinamika televise (TV) saat ini seandainya dia masih hidup. Mulanya lelaki berkebangsaan skotlandia ini menciptakan TV pada 1926 supaya oragn bisa menyaksikan suatu kejadian peristiwa dari jarak jauh secara audio visual. Ide ini setelah Guglielmo Marconi berhasil menemukan radio yang hanya bisa mengeluarkan suara saja. Tak pelak, hasil temuan media audio visual itu disebut-sebut sebagai temuan fenomenal yang mampu merubah awajah peradaban dunia.

Kini kotak ajaib itu seakan menjadi kebutuhan primer warga global dan bukan barang mewah lagi. Hampir setiap rumah rata-rata di perkotaan memiliki perangkat ini lebih dari satu. Kantor pemerintah, swasta, terminal, pertokoan hingga pangkalan ojek benda ini dipajang untuk mengisi ruang publik. Bukan itu saja, program TV bisa ditonton secara privacy via handphone akibat kemajuan tekhnologi informasi. Beraragam stasiun TV dengan beragam siaran program  dengan mutu gambar dan suara yang kinclong tersaji. Bahkan, akhir-akhir ini kementrian kominfo RI gencar mendorong digitalisasi seluruh siaran TV guna mendapatkan kualitas audio visual berkelas bintang lima.

Lalu bagaimana dengan materi isi siaran TV saat ini? Industry TV adalah industry padat modal. Di industry ini, juga disebut sebagai arena pertempuran berdarah-darah bagi pemilik modal pas-pasan yang hanya bersemangat idealism semata.

Programmer stasiun TV berlomba merancang mata acara yang menarik minat public. Ujung-ujungnya tentu bertujuan untuk mendapatkan rating tinggi yang menjadi lahan potesial bagi pemasukan financial lewat antrean iklan terutama pada siklus prime time. Maka jangan heran kalau program infotainment menjadi tayangan unggulan enath pagi, siang dan dore hari.

Kini program infotainment nampaknya menjadi gaya hidup masyarakat kita. Tiak hanya di Kota, bahkan di pelosok terpencil dihipnotis untuk menikmati acaa ini dengan berbagai pro kontra di tengah kehidupan sosial ekonomi yang mengarah ke dekadensi moral. Budaya popular lantas hadir di tengah masyarakat yang mengikis nilai agama dan budaya sehingga mengancam jati diri generasi bangsa.  Tontonan tentang dendam, permushan, cacimakian, kekerasan, perkosaan sampai melibatkan tokoh agama disajikan secara vulgar. Tentu pembca masih ingat cerita keluarga eyang subur beberapa waktu lalu ramai diberitakan hampir di semua stasiun TV nasional, kalau mau sebut salah satunya. Untuk menarik perhatian public, tayangan ini didramatisasi melalui sound effect, editing gambar serta presenter yang provokatif. Bahkan, kadang masalah diperuncing dalam dimensi emosional melalui pelibatan keluarga, tetangga bahkan ketua RT sang artis diinterogasi sebagai bumbu sensasi. Capek deh!
--batas--
Bagaimanapun, daya infiltrasi sangat kuat. Seorang sosiolog berkebangsaan prancis, jean Baudrillard dalam bukunya in the shadow of silent majorities (Columbia University 1983) mengatakan bahwa TV sebagai pencipta modal acuan nilai dan makna sosial budaya masyarakat dewasa ini, melalui telenovela, iklan, film dan gaya hidup selebritis. Baudrillard juga menambahkan bahwa pemirsa adalah mayoritas yang diam (the silent majorities), pasif menerima segala tayangan ke dalam pikiran dan prilaku.

Mereka menelannya mentah-mentah tanpa pernah mampu merefleksikan kembali dalam kehidupan nyata. Bahkan hanyut dalam gelombang deras budaya masa dan budaya popular.

Saya teringat 25 tahun silam, saat itu rezim orde baru mengeluarkan izin TV swasta pertama, RCTI yang mengusung moto ‘kebanggaan  bersama milik bangsa’. Kemudian lebih dari 10 stasiun TV Nasional menyusul hadir mengisi ruang dan waktu kita. Tidak hanya itu, lewat lembaga penyiaran berlangganan atau sering disebut TV Kabel atau TV Satelit, kita disuguhi beraneka ragam siaran asing yang datang dari berbagai penjuru dunia dengan mutu siaran plus minusnya. Maka saat itu pula, budaya popular mulai menghinggapi mata, telinga, pikiran, gaya hidup, tutur bahasa dan emosi kita.

Tentu kita tak mengingkna outcome yang destruktif bagi kehidupan bangsa ini ke depan akibat tayangan murahan yang kontraproduktif. Untuk tayangan tragedy bencana alam, stasiun TV masih sering mempertontonkan korban tewas secara kasat mata. Bencana tsunami Aceh 2004 menjadi contoh klise. TV kita mendramatisir bencana nasional itu secara mengharu biru dna membuat kesedihan berkepanjangan.

Mayat korban dalam jumlah ribuan dizoo oleh kameraman tanpa memikirkan dampak psiokologis bagi keluarga korban. Memang dampak positif dari siaran itu dapat menggulirkan solidaritas. Tapi tanpa itu masyarakat Indonesia yang memiliki sifat gotong royong tinggi akan ikut berpartisipasi untuk turut meringankan beban korban.

Sebagai contoh, coba dibandingkan dengan stasiun TV di Jepang. Bagaimana mereka sikapi bencana tsunami yang melanda bagian timur Negara matahari terbit tahun 2011 silam? Sorotan kerusakan akibat dampak terjangan air raksasa itu tetap dimunculkan. Bahkan, detik awal terjangan badai itu datang disiarkan secara langsung lewat kamera satelit akibat kecanggihan teknologi mereka. Tapi ingat, TV Jepang sama sekali tak menyoroti korban tewas dalam jumlah ribuan secara kasat mata. Malahan iklan komersil langsung diganti dengan iklan layanan masyarakat yang tak lain untuk membangkitkan semangat kebangsaan mereka. Life must go on.

Ketua KPI Pusat, DR Yudhariksawan dalam acara serah terima jabatan beberapa bulan lalu mengatakan, yang lebih penting memberikan budaya prefentif dalam meningkatkan kualitas tayangan program siaran di TV yang dimulai dari praproduksi hingga pasca produksi. Ini menjadi bentuk edukasi KPI kepada lembaga penyiaran sehingga berbagai siaran berupa kekerasan, pornografi, mistik dapat diminimalisir dari layar kaca. Kalau ini bisa terwujud, dugaan saya tentu roh john lodie baird tak akan terheran-heran lagi di alam kubur sana.
 
(Penulis adalah komisioner KPID Maluku Utara)


Sumber : Jambi Ekspres
Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com