Seleksi CHA di Toilet ( ? )

Posted on 2013-09-28 06:45:00 dibaca 3164 kali
Aroma tak sedap kembali berhembus di komisi III DPR – RI. Pasalnya komisi yang akan melakukan fit and proper test tersebut ditengarai adanya praktik suap dari Calon Hakim Agung (CHA) Sudrajad Dimyati kepada salah satu anggota DPR – RI dari Fraksi PKB Bahrudin Nasori.
Sudrajad, hakim dari Pengadilan Tinggi Pontianak, merupakan peserta CHA yang telah diuji oleh KY, lalu diloloskan ke tahap fit and proper test ke DPR. Sebagaimana diberitakan oleh media, Sudrajad Dimyati diduga menyelipkan amplop ke Anggota Komisi III DPR Fraksi PKB, Bahrudin Nasori, ketika mereka berdua sedang berada di salah satu toilet DPR – RI. Peserta CHA dari Pengadilan Tinggi Pontianak yang direkomendasikan KY itu merupakan peserta pertama uji kelayakan dan kepatutan CHA.

Moral lembaga perwakilan kian rusak dengan aneka tingkah laku oknum yang duduk di dalamnya. Perangai yang merusak martabat lembaga terhormat tersebut juga sebagai penghambat jalannya reformasi peradilan Indonesia. Sebagaimana diungkap oleh Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, mengatakan jika seleksi Calon Hakim Agung (CHA) masih dibuat seperti pasar bebas, DPR atau oknum-oknum lainnya dapat terus melakukan aksi lobi-lobi untuk meloloskan calon tertentu. Hal itu akan melahirkan mafia-mafia peradilan baru. Hal ini dikarenakan praktik-praktik lobi jika terus dibiarkan akan sangat berbahaya bagi masa depan peradilan Indonesia.

Atas dasar itulah sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) meminta Komisi Yudisial (KY) untuk membuka siapa oknum anggota Komisi III DPR yang menawarkan uang Rp1,4 miliar untuk meloloskan salah satu calon hakim agung (CHA) beberapa tahun silam.

Sebab jika tidak segera diungkap, program pembangunan hukum yang telah disusun lama menjadi tenggelam dan hilang fokus akibat banyaknya pihak yang terlalu menikmati tarian dan nyanyian pada pusaran dinamika politik dan kekuasaan saat ini. Sebutlah salah satunya program reformasi birokrasi di lembaga peradilan yang sesungguhnya masih berjalan tertatih-tatih. Tidak dapat disangkal lagi, selama ini reformasi birokrasi lembaga peradilan seringkali kurang mendapat perhatian lebih dari semua elemen negeri ini.

Ketidak beresan dari peradilan seperti bertolak belakang dengan keberadaan dan kemerdekaan hakim, untuk menjadi seorang hakim dan hakim agung disyaratkan dan diharuskan memiliki kepribadian yang tidak tercela, adil, dan professional serta berpengalaman di bidang hukum. Hakim konon sebagai representasi dan atau wakil Tuhan dimuka bumi dengan diberi mandat menegakan keadilan dan kebenaran,  tetapi kenyataannya sebagai hakim dimaksud justru malah tak ubahnya makhluk tuhan yang tidak kuat menghadapi godaan dan mengumbar hawa nafsu tanpa terkendali dengan dalih sebagai hakim berkuasa menentukan putusan dan memiliki imunitas (kebal tuntutan hukum).

Perilaku hakim yang menyimpang mulai dari selingkuh, terlibat suap, dan menerima gratifikasi pihak yang berperkara kasus terakhir menimpa Hakim Setyabudi Tejocahyono selaku Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diduga, menerima sesuatu dari pihak berkaitan kepengurusannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani jelas sangat melukai rasa keadilan.

Kenyataaan demikian menurut publik, menunjukan gagalnya reformasi Peradilan yang selama ini didengang-dengungkan. Peradilan koruptif tidak lepas dari sistem peradilan sendiri, mulai terdakwa, advokat, jaksa, panitera dan hakim semua berkepentingan meski jalan haram ditempuh dengan mengotori peradilan.

Kesemua perilaku busuk para penegak hukum di negeri ini, terlebih ketika Mahkamah Tak Agung Lagi di mata publik merupakan imbas dari transaksi toilet yang kerap terjadi dan mewarnai seleksi, penunjukan dan pengangkatan seorang Wakil Tuhan di meja peradilan dan lembaga hukum di Indonesia.

Sebab, tidak mungkin Calon Hakim yang telah mengeluarkan banyak biaya dengan imbas honorarium yang terkadang tidak sepadan dengan nilai yang telah dikeluarkannya tidak berpikir mengembalikan. Hemat penulis, suatu hal yang mungkin, namun sangat mustahil. Lihat saja pengakuan Komisioner KY bidang hubungan antarlembara, Imam Anshori Saleh mengaku pihaknya saat melakukan seleksi awal calon hakim agung (CHA) pernah ditawari uang sogokan senilai Rp1,4 miliar untuk meloloskan salah satu peserta CHA. Dana yang sanagt besar digelontorkan, hanya untuk menduduki kursi Hakim.

Ironis memang kondisi sistem hukum peradilan kita yang oleh peradilan opini publik divonis sebagai tempat aman bagi pelaku kejahatan atau sebagai tempat berlindung yang nyaman bagi koruptor, kenapa peradilan menjadi tempat aman dan nyaman sebagai persinggahan bagi mereka pelaku kejahatan dan pelawan hukum karena dari peradilan yang korup dan tidak berpihak kepada keadilan sejatinya akan memberi manfaat dan keuntungan dampak dari ketidakbersihan lembaga peradilan untuk dapat dimanfaatkan.

Sekali lagi penulis menilai, kegagalan reformasi birokrasi peradilan di Indonesia, kasus suap dan sejenianya yang melibatkan para wakil Tuhan di Meja Hijau merupakan imbas dari berbagai bentuk transaksi toilet yang berlaku umum di wajah lembaga peradilan kita. Meski ironi, namun inilah wajah buram peradilan kita, ketika hakim selaku wakil Tuhan saja tidak bisa kita percaya berlaku bersih dan jujur dalam menegakkan hukum kepada siapa lagi kita menyandarkan harapan agar terwujudnya keadilan hukum.

Akhirnya, penulis mendesak kepada Badan Kehormatan DPR – RI untuk menyelidiki kasus suap yang melibatkan anggota Komisi III dari Fraksi PKB atas temuan dan dugaan suap oleh CHA Sudrajad Dimyati di toilet. Juga kepada kepada KY harus mau mengungkap anggota DPR – RI yang menawar samapai dengan Rp. 1,4 M. Agar meloloskan salah satu CHA. Jika tidak segera ditindak, maka transaksi toilet akan menjadi jalan tol menuju kehancuran peradilan Indonesia. Pun kita tidak akan menemukan Hakim dengan figur seorang Baharudin Lopa lagi.

Terakhir penulis ingin mengutip pendapat Baharudin Lopa untuk kita renungkan bersam Kini sudah menjadi gejala umum suap digunakan untuk mendapatkan apa saja yang diinginkan. Karena itu, kampanye kembali ke jalan agama dan etika perlu ditingkatkan dan hendaklah dimulai dari kalangan atas, karena sesungguhnya di kalangan ataslah terjadi banyak kasus suap-menyuap. Penulis tekankan kembali ke jalan agama dan etika, karena untuk masa sekarang ini Undang-Undang (UU) dengan sanksinya tidak mampu lagi mencegah terjadinya suap-menyuap.” Wallahu a’lam

Suwardi., SE. Sy adalah Wakil Direktur FiSTaC. Anggota PELANTA (NIA. 20130729)
Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com