Ronny P. Sasmita

Menyayangi dan Menyayangkan Ahok

Posted on 2014-11-24 09:21:54 dibaca 3842 kali

Oleh: Ronny P. Sasmita
AHOK
adalah sosok yang fenomenal sekaligus kontroversial. Sepeninggal Jokowi, nama Ahok alias Basuki Cahaya Purnama kian merajai ruang publik Jakarta. Gaya kepemimpinan yang keras, ceplas-ceplos, terkadang nyentrik dan temperamental, menjadi pembeda dan daya tarik tersendiri dimata awak pencari berita. Akhirnya, ruang-ruang pemberitaan dalam berbagai variasi media sejagat Jakarta, bahkan Indonesia, nyaris tak pernah lupa menyelipkan beberapa aksinya saban hari. Mulai dari aksi koboy sampai reaksi remeh temeh dan nyeleh atas segala hal yang berlangsung di Ibu Kota Negara dikemas kedalam berbagai variasi judul yang menyundul.

Siapa yang tidak mengidamkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa plus seabrek layanan prima? Nyaris tidak ada. Disinilah titik unggul Ahok dimata para pendukungnya, terlepas realitasnya seperti apa. Membawa angin segar dan prospek cerah bagi terwujudnya "good governance dan clean government" di Jakarta. Mempelopori berbagai macam terobosan pelayanan publik dan efisiensi birokrasi, menghujat semua sisi patologi birokrasi, dan tak pernah berhenti membakar kebencian atas segala bentuk aksi korupsi. Tak pelak lagi, dalam kontek ini, Ahok adalah secercah harapan, sosok langka yang hadir dengan sejuta pesona perbaikan ketatapemerintahan ke depan.

Ya, memang itulah Ahok, yang tempo hari masih mewakili Jokowi di jajaran tertinggi birokrasi provinsi  negeri Betawi, sekarang sudah resmi dilantik menjadi orang nomor wahid di DKI. Tak tanggung-tanggung, penyematan legitimasinya dilangsungkan di Istana negara dan diambil sumpah oleh mantan atasanya sendiri, Joko Widodo. Entah kebelet atau keburu nafsu, atau karena ingin cepat bekerja layaknya sang mantan atasan, tak ada yang tau pasti.

Sebagaimana diketahui, amanat konstitusional yang mensyaratkan sang wakil untuk segera menempati posisi mantan atasan ternyata tidak selamanya diterima secara taken for granted oleh semua masyarakat Jakarta. Beberapa waktu lalu, demonstrasi besar-besaran yang sesumbar mewakili sebagian besar masyarakat Jakarta menggugat amanat konstitusi itu dan tidak terima Jakarta dipimpin oleh manusia yang bernama Ahok. Berbagai argumentasi yang berkaitan dengan sikap arrogan Ahok terhadap Islam dijadikan  alibi pamungkas. Kelompok masyarakat ini menamai diri dengan Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ). Celakanya, Ahok bukanlah penganut Agama Islam. Maka tak pelak, ketidaksukaan itu akhirnya berbuah kebencian sehingga dalam batas-batas tertentu tampak sedikit rasis dan chauvinistik.

Super celakanya lagi, gayung tidak bersambut. Penolakan tidak mengalir mulus alias tidak berlabuh ke muara komunikasi yang konstuktif.  Ahok mengerang, ternyata resistensi bertemu resistensi. Ahok tidak membuka pintu diskusi. Bukan hanya itu, Ahok  justru membalas dengan menyurati Kementerian Hukum dan HAM agar meliquidasi izin satu organisasi yang selama ini santer menjadi oposisi jalanan terhadap beliau, yaitu FPI, salah satu organisasi pentolan dalam GMJ. Alhasil, api bertemu minyak.

Salahkah masyarakat yang menolaknya? Dalam kontek demokrasi, tentu saja tak ada yang salah. Konstitusi wajib melindungi hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat. Sehingga penolakan dan resistensi menjadi hal yang wajar dalam demokrasi selama tidak berimplikasi hukum dan disampaikan dengan cara-cara yang syah. Lalu dimana persoalanya? Sebagai pemimpin Jakarta, pemimpin administratif dan politis, suka tidak suka, mau tidak mau, sebagian besar kesalahan tentu ada ditangan Ahok.

Sang Gubernur yang baru boleh saja punya segudang kreatifitas kebijakan, tapi rasanya belum afdol jika tak dilandasi kebijaksanaan. Seorang pemimpin boleh saja berkoar-koar atas nama keadilan sosial, tapi tetap terasa tak lengkap tanpa disisipi etika kekuasaan. Seorang pemimpin politik adalah mobilisator, orkestrator, dan konsolidator, begitu kata Stanley A. Renson (Jurnal Political Science Quarterly,2008). Dia harus mempunyai energi lebih untuk  menggerakan (mobilisation)  masyarakatnya ke arah yang lebih baik,  menyelaraskan dan mengharmoniskan semua perbedaan yang ada (orchestration), dan menyatukannya ke dalam satu kesepahaman untuk menggapai tujuan bersama (consolidation).

Semuanya tergantung pada pendekatan dan komunikasi politik sang pemimpin. Jikalah Ahok mampu membangun jembatan kesepahaman dengan semua pihak yang menolaknya alias tidak menggunakan pendekatan kekuasaan, maka Ahok tidak akan memusuhi sebagian rakyat yang dipimpinnya, meskipun mereka menolak legitimasi sang gubernur. Beliau pasti akan memilih musyawarah dan mufakat, memilih untuk mendekati, mendengarkan, dan mendalami  rakyat yang menolaknya. Karena apa? Karena Ahok bukan saja gubernur bagi para pendukungnya, tapi juga gubernur bagi seluruh masyarakat Jakarta, baik yang mendukung ataupun yang membencinya. Ahok tidak sedang memimpin Bangka Belitung yang cendrung lebih homogen. Dalam banyak hal, Jakarta jauh lebih heterogen ketimbang ibu kota provinsi manapun di Indonesia. Butuh karakter dan kapasitas kepemimpinan yang berbeda untuk Jakarta. Itu pasti.

Tapi lagi-lagi gayung tak bersambut, dalam silang sengketa dengan DPRD Jakarta contohnya, Ahok kembali memakai pendekatan yang hampir serupa. Tak ada jembatan untuk mempertemukan kesamaan, tak ada tanda-tanda komunikasi persuasif yang akan dibangun, tapi malah memilih Patron politik yang lebih tinggi untuk melegitimasi kursi gubernur yang beliau duduki, yakni penghuni baru istana negara, President RI ke tujuh, Joko Widodo. Ahok mengirim sinyal dan mempertontonkan kepada publik bahwa legitimasi politiknya mendapat restu nyata dari orang nomor satu di Indonesia, maka urusan legitimasi DPRD menjadi urusan nomor dua. Secara implisit, bukankah ini sebuah menu kekuasaan yang harus ditelan mentah-mentah oleh legislatif Jakarta?
Sementara itu, disisi lain, peristiwa politik ini juga akan menjadi preseden buruk dalam hal lantik-melantik seorang gubernur. Ada kesan anak emas, intimewa, dan prioritas didalamnya. Kesan negatif ini tentu berlaku bagi Ahok sekaligus Jokowi.

Secara perundang-undangan, tentu tak ada yang salah. Tapi secara politik, Ahok sudah memainkan kartu yang tidak elegan. Apapun alasanya, miniatur kepentingan rakyat Jakarta adalah DPRD Jakarta. Lembaga ini menjadi reprensentasi demokrasi di Jakarta, lembaga yang menyimbolkan kehadiran rakyat di dalam setiap detak jantung pemerintahan DKI, sekaligus lembaga mitra kerja pemerintahan Ahok sendiri. Apa yang tersirat? Yang tersirat adalah Ahok tidak bisa menjadi pemimpin yang disegani kawan dan lawan, tidak bisa bekerja sama dengan pihak-pihak yang tidak sewarna dengannya, bahkan malah terus memperlebar jurang pembeda diantara mereka. Dan yang lebih memilukan, Ahok membangun kesan tak baik untuk lembaga legislatif daerah dimata publik. Bukankah lembaga ini benteng pertahanan demokrasi bagi kepentingan rakyat daerah? Maka, Ini boleh jadi lampu kuning untuk demokrasi Jakarta.

Point terakhir saya, Jakarta terlalu besar untuk dibenahi sendiri oleh seorang Ahok. Kebenaran terlalu naif didefenisikan  hanya oleh satu orang saja. Semua masyarakat Jakarta berhak punya gambaran kebaikan masa depan Jakarta. Gambaran itu akan menempel didinding-dinding bangunan lagislatif DKI Jakarta, terkadang tumpah ruah ke jalanan. Jika ternyata ada yang  tidak sesuai dengan ekspektasi dan keinginan sang gubernur, maka menyapunya bukanlah cara yang tepat bagi seorang pemimpin yang hebat. Disinilah salah satu arena pengujian bagi kapasitas kepemimpinan seorang kepala daerah, terutama kapasitas management konflik dan managemen keberagaman,  baik bagi Ahok secara khusus ataupun semua kepala daerah diseluruh Indonesia. Jadilah pemimpin dan kepala daerah bagi seluruh masyarakat daerahnya, baik bagi yang mendukung maupun yang membenci.

Penulis adalah Pemerhati Ekonomi Politik

Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com