Desakralisasi Ujian Nasional 2015

Posted on 2015-02-01 17:50:19 dibaca 3913 kali
Oleh: Amri Ikhsan
 
Ujian Nasional (UN) tahun ini akan kembali diselenggarakan pada 13-15 April 2015 untuk SMA/SMK/sederajat dan 4-7 Mei 2015 untuk SMP/sederajat. Kebijakan UN tahun ini tidak lagi berfungsi sebagai penentu kelulusan siswa. Sekolah diberikan kewenangan 100 % menilai secara komprehensif seluruh komponen pada siswa untuk menyatakan tamat atau tidaknya peserta didik dari jenjang pendidikan tertentu. (Kemdikbud)
 
Harapannya, segala potensi siswa dan sekolah yang selama ini ”terbelenggu” oleh tagihan UN akan terbebaskan. Tentu saja ada catatan penting bagi sekolah dan guru, yakni kemampuan dan kejujuran sekolah dalam  menilai siswa. Oleh karena itu, guru diingatkan agar jujur dan bijaksana dalam melaporkan hasil penilaiam siswanya bukan hanya untuk mengejar kelulusan 100%.
 
Kelihatannya, Kemdikbud ingin menginisiasi desakralisasi UN tahun ini, yaitu UN tidak lagi dilihat sebagai hal yang menakutkan. UN sejatinya digunakan untuk mengembangkan potensi dan kreativitas siswa, UN bukan sebagai sesuatu yang sakral melainkan sebagai sesuatu hal yang positif, biasa biasa saja, seperti ujian ujian yang lain.
 
Selama ini hasil UN menjadi salah satu penentu kelulusan siswa. Ini membuat sebagian besar siswa menganggap UN menjadi sesuatu yang menegangkan sehingga membuat siswa stres. Bahkan ada sebagian siswa yang melakukan ritual-ritual khusus, mengikuti kursus kilat untuk ‘pintar’ menjawab soal soal menjelang pelaksanaan UN.
 
Keputusan pemerintah mengubah konsep UN semestinya merupakan kesempatan bagi sekolah/madrasah untuk kembali kepada inti penting pendidikan, yakni pemberdayaan manusia. Pakar pendidikan HAR Tilaar menyatakan dengan tegas, tugas lembaga pendidikan ialah memfasilitasi agar perkembangan bakat dan kemampuan peserta didik dapat berjalan sebagaimana mestinya dengan bantuan pendidik. 
 
Pemberdayaan berarti menghormati pribadi manusia yang disebut peserta didik. Bakat dan kemampuan tiap anak berbeda sehingga harus dihargai dan diapresiasi. Selayaknya mengabdikan diri untuk kepentingan peserta didik merupakan panggilan hati para pendidik
 
Diharap penyelenggaraan UN tidak lagi memberatkan siswa, tetapi menjadi kebutuhan siswa dalam mengukur kemampuan hasil belajar setelah bersekolah selama 3 (tiga) tahun. Untuk itu laporan hasil UN harus menginformasikan kelebihan dan kekurangan, agarsiswa mengetahui potensi diri secara utuh dan akuntabel, bukan hanya sekedar angka.
 
Sebenarnya, ujian sekolah yang menjadi penentu kelulusan, telah sesuai dengan amanat UU Sisdiknas Pasal 58 Ayat (1) yang menyebutkan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik atau guru. Pasal 61 ayat (2) menyebutkan, ijazah diberikan kepada peserta didik setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan.
 
Disetujui, upaya perbaikan yang dilakukan dengan mempreteli ‘kesaktian’ UN yang begitu berpengaruh sehingga sekolah selama ini ‘berani beraninya’ mengabaikan program lain yang lebih edukatif hanya untuk berfokus pada UN, memberikan otonomi pada sekolah dan mengurangi tekanan yang berlebihan, dengan cara memisahkan UN dari kelulusan agar proses pembelajaran menjadi lebih bermakna, dan mendorong pembelajaran yang komprehensif.
 
Ada beberapa catatan yang dilakukan yang bisa membuat UN tidak sakral sebelumnya, UN yang ramah sekolah. Pertama, UN tidak untuk kelulusan. Sekolah sepenuhnya diberikan kewenangan mempertimbangkan seluruh aspek dari proses pembelajaran, termasuk komponen perilaku siswa untuk menentukan lulus tidaknya mereka dari jenjang pendidikan tertentu.
 
Kedua, tujuan UN kan bukan menjadi hakim, tapi alat pembelajaran. Mengubah UN dari sekadar alat menilai hasil belajar, tetapi alat untuk belajar.
 
Ketiga, UN bukan cerminan kesuksesan. Paradigma soal UN sebagai hal menakutkan dan telah melekat di benak siswa. UNjuga dianggap sebagai sesuatu yang paling penentu, sebuah pertandingan "hidup dan mati" bagi siswa.
 
Keempat, menempatkan UN pada posisi yang berbeda, fungsi dan tujuan yang berbeda pula: UN bukan lagi sebagai syarat kelulusan mutlak; UN menjadi alat untuk mengukur kinerja pelaksana atau penyelenggara dan; konten di dalam UN sebagai ruang untuk perbaikan ke depannya. (Kemdikbud)
 
Kelima, mengurangi keterlibatan aparat keamanan dalam distribusi naskah UN maupun kehadiran mereka di sekolah. UNmemang harus dikawal pengamanannya, tapi tidak mesti mengawal ala ‘penjahat’. Libatkan masyarakat dalam ikut mengontrol. Distribusi naskah UN tidak lagi melalui pengawasan khusus.
 
Keenam, pengawas UN ‘dilarang’ dari dosen-dosen perguruan tinggi. Kehadiran mereka menambah ‘ngeri’ siswa dalam mengerjakan soal soal UN, walaupun ‘mereka mereka’ ini bangga melakukan itu. Kalau memang punya ‘ilmu’, tolong ajari guru bagaimana membuat siswa cerdas dalam proses pembelajaran.
 
Ketujuh, dinamika belajar mengajar di dalam kelas pun berubah. Karena tagihan di masa akhir belajar berupa UN sangat menentukan, maka seluruh energi pun dicurahkan dalam upaya mengasah kemampuan menjawab soal-soal UN yang umumnya bersifat pilihan ganda dengan model drilling. Dan sekarang belajar seperti itu tidak ada lagi, pastinya siswa lebih rileks, santai, kritis tapi tetap serius.
 
Kedelapan, ‘membebaskan’ kepala sekolah untuk masuk ‘penjara’ setiap pagi untuk menjeput naskah soal UN yang ‘diamankan’ diruang penjara di Kapolsek terdekat. Tentu saja ini membuat UN lebih steril dari kesakralan.
 
Kesembilan, kurangi ‘kunjungan para pejabat’ untuk memantau dan memonitor UN. Kunjungan ini menjadi beban bagi sekolah dalam ‘prosesi penyambutan’ ditengah kecemasan penyelenggaran UN dan bagi siswa, kedatangan ‘tamu’ menguapkan ilmu mereka dalam menjawab soal soal UN.
 
Tapi, diakui kompetensi sejati siswa tak bisa hanya dilihat dari hasil satu ujian sekolah saja yang akan menjadi penentu kelulusan. Perlu beragam penilaian kelas agar informasi mengenai kompetensi siswa lebih komprehensif. Ujian sekolah sebaiknya hanya jadi salah satu kriteria penentuan kelulusan dan proporsinya lebih kecil dibandingkan dengan penilaian kelas sejak semester pertama.
 
Kapasitas guru untuk mengimplementasikan variasi model penilaian kelas perlu ditingkatkan melalui pelatihan, bukan hanya sekedar pelatihan membuat RPP ‘melulu’. Penilaian seutuhnya semestinya diarahkan pada penilaian sewaktu belajar bukan penilaian pembelajaran. Penilaian sewaktu belajar lebih berperan memandu siswa menjadi pembelajar yang mau belajar.
 
Oleh karena itu, jadikan UN sebagai cermin bagi sekolah untuk mengetahui kualitas proses pembelajaran. Hasil UN merupakan jerih payah proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa. Semoga UN ini menjadi kenyataan!.
 
*) Penulis adalah Pendidik di Kab. Batanghari
Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com