Arief Budiman.

Ini Penjelasan Ketua KPU Soal Teka-teki Suap Wahyu Setiawan Dalam Proses Pleno

Posted on 2020-01-10 21:10:30 dibaca 5922 kali

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA - Meninggalnya calon anggota legislatif (Caleg) DPR RI dari PDI Perjuangan daerah pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan I, Nazarudin Kiemas menjadi awal mula operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

Pasalnya, lembaga antirasuah berhasil mencium "bau amis" dari rencana penetapan pergantian antar waktu (PAW) Nazarudin. PDIP menginginkan PAW almarhum Nazarudin adalah Harun Masiku, bukan Riezky Aprilia seperti yang ditetapkan KPU.

Rabu (8/1), KPK berhasil membekuk 8 orang yang diduga mengetahui dan melakukan transaksi suap terkait kasus ini.

Namun, dari 8 hanya 4 orang yang dijadikan tersangka. Yaitu, Komisioner KPU Wahyu Setiawan (WSE); mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina (ATF); Caleg PDIP Dapil Sumsel I, Harun Masiku (HAR); dan satu orang pihak swasta bernama Saeful Bahri (SAE). Saeful yang juga pernah jadi caleg PDIP ini adalah orang dekat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

Hal yang ganjil dari proses penetapan pengganti Nazarudin ini mulai kentara, setelah Wahyu mencoba main belakang dari rekan-rekan di KPU, yang memutuskan menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun sebagai pengganti almarhum.

Ketua KPU RI Arief Budiman mengaku, tidak melihat gelagat Wahyu mau mengubah keputusan rapat pleno yang sampai dilakukan sebanyak tiga kali.

"Seingat saya untuk case (kasus) ini enggak ada pandangan berbeda. Sepanjang yang saya ingat tiga kali (rapat pleno) itu enggak ada yang berbeda," ujar Arief di kantornya, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/1).

Dalam rapat pleno pertama KPU yang digelar 31 Agustus 2018, Arief menerangkan seluruh komisioner sepakat, menetapkan Riezky Aprilia sebagai caleg perolehan suara terbanyak kedua setelah Nazarudin, yang berhak melenggok ke Senayan.

Keputusan itu secara jelas membatalkan putusan Mahkamah Agung (MA) pada 19 Juli 2019, yang mengabulkan gugatan DPP PDIP tentang "partai sebagai pihak yang menentukan suara dan PAW".

"Jadi ketika mengajukan judicial review ke MA, keluar putusan judicial review-nya. Putusan itu dikirimkan ke kita sekaligus permohonan berdasarkan itu. Sudah kita jelaskan enggak bisa," ujar Arief.

Dua pekan kemudian atau tanggal 23 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa MA ke KPU dengan mengirimkan surat berisi penetapan caleg.

Arief mengatakan, ajuan ini juga ditolak oleh seluruh komisioner KPU dalam rapat pleno kedua.

"Nah itu kita sudah jawab lagi. Lah itu sebenarnya surat sebelumnya sudah konsisten," tutur Arief.

Setalah itu, lanjut Arief, KPU melaksanakan banyak rapat pleno pada tiap minggunya. Dia pun mengaku tidak ingat saat ditanya wartawan terkait upaya Wahyu untuk mendorong penetapan Harus sebagai pengganti Nazarudin.

"Kalau saya disuruh ingat proses pembahasan per item itu, ya tentu tidak mudah bagi saya untuk diingat," Arief mengatakan.

Akan tetapi, dalam rapat pleno yang ketiga pada 7 Januari 2020, Arief menegaskan bahwa pihaknya tetap konsisten untuk menolak permohonan PAW yang diajukan PDIP.

"Seingat saya (saat itu) juga enggak ada yang berbeda pendapatnya untuk hal ini. Menurut ketentuan peraturan perundangan nggak bisa ditindaklanjuti, bagaimana cara saya mengubah, sementara sertifikat itu sudah ditetapkan," sebut Arief.

"Dan UU mengatakan perolehan suara ini bisa berubah kalau ada putusan Mahkamah Konstitusi. semua sepakat tidak bisa dilakukan," tambahnya.

Konstruksi Wahyu Setiawan Dorong PAW Harun

Untuk membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR RI pengganti Nazarudin, dia meminta dana operasional Rp 900 juta.

Untuk merealisasikan hal tersebut dilakukan dua kali proses pemberian, yaitu, pertengahan Desember 2019, salah satu sumber dana yang belum disebutkan KPK memberikan uang Rp 400 juta yang ditujukan pada Wahyu melalui Agustiani, Doni dan Saeful.

Wahyu menerima uang dari dari Agustiani sebesar Rp 200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.

Sampai pada akhir Desember 2019, Harun memberikan uang pada Saeful sebesar Rp 850 juta melalui salah seorang staf di DPP PDIP.

Saeful memberikan uang Rp 150 juta pada Doni. Sementara sisanya Rp 700 juta yang masih di Saeful dibagi menjadi Rp 450 juta pada Agustiani, dan Rp 250 juta untuk operasional.

Dari Rp 450 juta yang diterima Agustiani, sejumlah Rp 400 juta merupakan suap yang ditujukan untuk Wahyu, yang masih disimpan oleh Agustiani.

Setelah gagal di Rapat Pleno KPU, 7 Januari 2020 lalu, Wahyu kemudian menghubungi Doni menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi PAW.

Namun pada Rabu, 8 Januari 2020, Wahyu meminta sebagian uangnya yang dikelola oleh Agustiani, tapi sayanganya dia terciduk oleh tim KPK melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT), di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, Tangerang.

Dalam OTT tersebut, tim KPK menemukan dan mengamankan barang bukti uang Rp 400 juta yang berada di tangan Agustiani dalam bentuk dolar Singapura.(rmol)

Sumber: www.rmol.id
Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com