Ilustrasi.

Peringatan Maulid Nabi, Berikutnya Sejarah Kelahiran Rasulullah

Posted on 2022-10-07 21:26:05 dibaca 6882 kali

JAMBIUPDATE.CO, JAMBI - Tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriah adalah tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada tanggal tersebut diperingati sebagai Maulid Nabi bagi umat Islam di seluruh dunia.

Tanggal 2 Rabiul Awal jatuh pada Sabtu, (8/10/2022) besok.

Maulid nabi merupakan hari peringatan untuk kelahiran Nabi Muhammad Saw.

Meski ada beberapa pendapat terkait tanggal kelahirannya, yang pasti Rasulullah lahir pada rabiul awal. Bagaimana sih sejarah kelahiran utusan Allah SWT tersebut?

Dikutip dari ulasan Syekh Shafiyyur-Rahman Mubarakfury “Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah” disebut, Rasulullah lahir dari suku Quraisy, yaitu suku yang paling terhormat dan terpandang di tengah masyarakat Arab pada waktu itu.

Dari suku Quraisy tersebut, beliau berasal dari Bani Hasyim, anak suku yang juga paling terhormat di tengah suku Quraisy.

Rasulullah lahir dalam keadaan yatim. Karena bapaknya, Abdullah, telah meninggal ketika ibunya, Aminah mengandungnya dalam usia dua bulan.

Setelah melahirkannya, sang ibu segera membawa bayi tersebut kepada kakeknya; Abdul Muttholib.

Betapa gembiranya sang kakek mendengar berita kelahiran cucunya.

Lalu dibawanya bayi tersebut ke dalam Ka’bah, dia berdoa kepada Allah dan bersyukur kepadaNya. Anak tersebut kemudian diberi nama Muhammad; nama yang belum dikenal masyarakat Arab waktu itu. Lalu pada hari ketujuh setelah kelahirannya, Rasulullah dikhitan.

Selain ibunya, Rasulullah disusukan juga oleh Tsuwaibah, budak Abu Lahab.

Kemudian, sebagaimana adat kebiasaan masyarakat perkotaan waktu itu ibunya mencari wanita pedesaan untuk menyusui putranya.

Maka terpilihlah seorang wanita yang bernama Halimah binti Abi Dzu’aib dari suku Sa’ad bin Bakr, yang kemudian lebih dikenal dengan panggilan Halimah as-Sa’diyah.

Demikianlah, 5 tahun pertama kehidupan Rasulullah, dia lalui di daerah perkampungan dengan kehidupan yang masih asri dan udara segar di lembah Bani Sa’ad.

Hal tersebut tentu saja banyak berpengaruh bagi pertumbuhan Rasulullah, baik secara fisik maupun kejiwaan.

Ketika Rasulullah berusia 5 tahun, dan saat masih dalam perawatan Halimah as-Sa’diyah di perkampungan Bani Sa’ad, terjadilah peristiwa besar yang sekaligus menunjukkan tanda-tanda kenabiannya kelak. Peristiwa tersebut dikenal dengan istilah Pembelahan Dada (Syaqqus Shadr).

Suatu hari, ketika Rasulullah bermain bersama teman-temannya, tiba-tiba datang malaikat Jibril menghampiri dan menyergapnya.

Lalu dia dibaringkan, kemudian dadanya dibelah, lalu hatinya diambil selanjutnya dikeluarkan segumpal darah darinya, seraya berkata “Inilah bagian setan yang ada padamu”.

Kemudian hati tersebut dicuci di bejana emas dengan air zam-zam, setelah itu dikembalikan ke tempat semula.

Sementara itu, teman-teman sepermainannya melaporkan kejadian tersebut kepada Halimah seraya berkata, “Muhammad dibunuh… Muhammad dibunuh”.


Maka mereka bergegas menghampiri tempat Rasulullah semula, di sana mereka mendapatkan Rasulullah dalam keadaan pucat pasi.

Setelah kejadian tersebut, Halimah sangat khawatir terhadap keselamatan Muhammad kecil. Akhirnya tak lama setelah itu, dia memutuskan untuk memulangkannya kepada ibunya di kota Mekkah.

Maka berangkatlah Halimah ke Mekkah dan dengan berat hati dikembalikannya Rasulullah kepada ibunya.

Setelah beberapa lama tinggal bersama ibunya, pada usia 6 tahun, sang ibu mengajaknya berziarah ke makam suaminya di Yatsrib.

Maka berangkatlah mereka keluar dari kota Mekkah, menempuh perjalanan sepanjang 500 km, ditemani oleh Ummu Aiman dan dibiayai oleh Abdul Mutthalib. Di tempat tujuan, mereka menetap selama sebulan.

Setelah itu mereka kembali pulang ke Mekkah. Namun di tengah perjalanan, ibunya menderita sakit dan akhirnya meninggal di perkampungan Abwa’ yang terletak antara kota Mekkah dan Madinah.

Sang kakek, Abdul Muththalib, sangat iba terhadap cucunya yang sudah menjadi yatim piatu diusianya yang masih dini.

Maka dibawalah sang cucu ke rumahnya, diasuh dan dikasihinya melebihi anak-anaknya sendiri.

Pada saat itu Abdul Muththolib memiliki tempat duduk khusus di bawah Ka’bah, tidak ada seorangpun yang berani duduk di atasnya, sekalipun anak-anaknya, mereka hanya berani duduk di sisinya.

Namun Rasulullah yang saat itu masih anak-anak justru bermain-main dan duduk di atasnya.

Karuan saja paman-pamannya mengambilnya dan menariknya. Namun ketika sang kakek melihat hal tersebut, beliau malah melarang mereka seraya berkata : “Biarkan dia, demi Allah, anak ini punya kedudukan sendiri”.

Akhirnya Rasulullah kembali duduk di majlisnya, diusapnya punggung cucunya tersebut dengan suka cita melihat apa yang dia perbuat.

Tapi lagi-lagi kasih sayang sang kakek tak berlangsung lama dirasakan oleh Muhammad kecil.

Saat Rasulullah berusia 8 tahun, kakeknya meninggal di Mekkah. Namun sebelum wafat dia sempat berpesan agar cucunya tersebut dirawat oleh paman dari pihak bapaknya; Abu Thalib.

Kini Rasulullah 3 berada dalam asuhan pamannya yang juga sangat mencintainya. Abu Thalib merawatnya bersama anak-anaknya yang lain, bahkan lebih disayangi dan dimuliakan.

Begitu seterusnya Abu Thalib selalu berada di sisi Rasulullah, merawatnya, melindunginya dan membelanya, bahkan hingga beliau telah diangkat menjadi Rasul. Hal tersebut berlangsung tidak kurang selama 40 tahun.

Pada saat Rasulullah berusia 12 tahun, Abu Thalib mengajaknya berdagang ke negeri Syam.

Sesampainya di perkampungan Bushra yang waktu itu masuk wilayah negeri Syam, mereka disambut oleh seorang pendeta bernama Buhaira. Semua rombongan turun memenuhi jamuan pendeta Bahira kecuali Rasulullah.


Pada pertemuan tersebut, Abu Thalib menceritakan perihal Rasulullah dan sifat-sifatnya kepada pendeta Buhaira.

Setelah mendengar ceritanya, sang pendeta langsung memberitahukan bahwa anak tersebut akan menjadi pemimpin manusia sebagaimana yang dia ketahui ciri-cirinya dari kitab-kitab dalam agamanya.

Maka dia meminta Abu Thalib untuk tidak membawa anak tersebut ke negeri Syam, karena khawatir di sana orang-orang Yahudi akan mencelakakannya.

Akhirnya Abu Thalib memerintahkan anak buahnya untuk membawa pulang kembali Rasulullah ke Mekkah.

Pada usia 15 tahun, Rasulullah ikut serta dalam perang Fijar yang terjadi antara suku Quraisy yang bersekutu dengan Bani Kinanah melawan suku Qais Ailan. Peperangan dimenangkan oleh suku Quraisy.

Pada peperangan tersebut, Rasulullah membantu paman-pamannya menyiapkan alat panah.

Setelah perang Fijar usai, diadakanlah perdamaian yang dikenal dengan istilah Hilful-Fudhul, disepakati pada bulan Dzulqaidah yang termasuk bulan Haram, di rumah Abdullah bin Jud’an atTaimi.

Semua kabilah dari suku Quraisy ikut dalam perjanjian tersebut; Di antara isinya adalah kesepakatan dan upaya untuk selalu membela siapa saja yang dizalimi dari penduduk Mekkah.

Dan mereka akan menghukum orang yang berbuat zhalim sampai dia mengembalikan lagi hak-haknya.

Baca juga: 
Kapan Sebenarnya Nabi Muhammad Lahir? Ini Lima Pendapat Tanggal Kelahiran Rasulullah

Rasulullah ikut serta menyaksikan perjanjian tersebut, bahkan setelah beliau menjadi Rasul, beliau masih mengingatnya dan memujinya, seraya berkata, “Saya telah menyaksikan perjanjian damai di rumah Abdullah bin Jud’an yang lebih saya cinta dari onta merah. Seandainya saya diundang lagi setelah masa Islam, niscaya saya akan memenuhinya”.

Masa muda Rasulullah dilalui dengan kehidupan berat.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Rasulullah menggembalakan kambing penduduk Mekkah demi mendapatkan upah.

Pada usia 25 tahun, dia memulai usaha dagang dengan modal dari Khadijah-wanita pengusaha yang kaya raya dan terpandang di Mekkah saat itu dengan sistem bagi hasil.

Mendengar kejujuran dan keluhuran budi pekertinya, Khadijah menawarkan kepada Rasulullah untuk membawa barang dagangannya dan menjualnya di negeri Syam.

Rasulullah menerima tawaran tersebut. Maka Khadijah memberikan barang-barang dagangannya yang paling utama yang tidak pernah diberikan kepada pedagang lainnya, dia sertakan pula budaknya bernama Maisarah untuk menemani Rasulullah.


Berangkatlah Rasulullah ke Syam bersama Maisarah untuk membawa dan menjual barang dagangan Khadijah.

Menikah dengan Khadijah Setelah sekian lama berdagang di negeri Syam, Rasulullah kembali ke Mekkah dengan membawa keuntungan yang berlimpah.

Melihat hal tersebut semakin kagumlah Khadijah dengan kepribadian Rasulullah, apalagi setelah Maisarah menceritakan tentang keluhuran budi, kejujuran dan kecerdasannya yang dia saksikan selama menemaninya dalam perjalanan.

Khadijah seperti mendapatkan sesuatu yang selama ini dicari-carinya. Karena sebagai wanita kaya raya dan terhormat, sudah banyak tokoh dan pemimpin-pemimpin suku yang berusaha melamarnya, namun belum ada yang dia terima.

Akhirnya masalah tersebut segera dia sampaikan kepada sahabatnya, Nafisah binti Maniah.

Tanpa menunggu lama, Nafisah segera menemui Rasulullah dan memohon agar Rasulullah bersedia menikahi Khadijah.

Rasulullah setuju, segera dia beritahu paman-pamannya, lalu paman-pamannya segera menemui paman Khadijah dan melamarnya untuk Rasulullah.

Setelah itu terlaksana lah akad pernikahan yang dihadiri oleh Bani Hasyim dan pemimpin suku Mudhar. Saat itu, Rasulullah berusia 25 tahun, dan Khadijah berusia 40 tahun.

Pada saat Rasulullah berusia 35 tahun, kaum Quraisy sepakat memugar bangunan Ka’bah yang sudah lapuk di sana sini karena termakan usia.

Karena kedudukan Ka’bah yang sangat agung di mata masyarakat Quraisy, mereka sepakat agar biaya pemugarannya hanya diambil dari harta yang halal. Mereka menolak biaya yang bersumber dari pelacuran, riba dan hasil menzalimi orang lain.

Pada awalnya, bangunan Ka’bah yang lama diruntuhkan. Kemudian setelah itu, mereka mulai membagikan pembangunan Ka’bah berdasarkan suku masing-masing sehingga setiap mereka telah ditetapkan bagian mana yang akan dibangun.

Ketika pembangunan sampai pada posisi Hajar Aswad, terjadilah pertikaian antar mereka tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad pada posisi semula. Semua berkeinginan melakukannya karena kemuliaan Hajar Aswad bagi mereka.

Pertentangan terus terjadi dan semakin membesar hingga nyaris terjadi pertumpahan darah di Masjidil Haram. Namun akhirnya Abu Umayyah bin Mughiroh al-Makhzumi menawarkan usulan agar keputusannya diserahkan kepada orang pertama yang masuk mesjid dari pintunya. Merekapun setuju.

Atas kehendak Allah jualah, kalau ternyata yang pertama kali masuk adalah Rasulullah. Segera saja mereka berseru : “Itu alAmin, kami rela dia yang memutyskan, dia adalah Muhammad…”.

Lalu mereka menyampaikan duduk persoalannya kepada Rasulullah. Maka Rasulullah minta diambilkan selembar kain, lalu Hajar Aswad itu diletakkan di tengahnya dan dia meminta setiap mereka mengangkat kain.

Ketika posisi batu tersebut sudah berdekatan pada tempatnya, dia mengambil Hajar Aswad dan meletakkannya di tempat semula. Penyelesaian yang sangat tepat dan semua pihak puas menerimanya. (selfi/fajar)

Sumber: www.fajar.co.id
Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com