Deontologi Konsumsi Masyarakat Muslim

Posted on 2014-04-25 20:05:00 dibaca 3816 kali
(Renungan Hari Konsumsi Nasional 2014)

Keinginan manusia agar terpenuhi kebutuhannya telah melahirkan konsep teori konsumsi. Perilaku konsumsi manusia bisa bersumber pada dualitas yaitu economic rasionalism dan utilitarianism yang menekankan keduanya lebih menekankan kepentingan individu (self interest) dengan mengesampingkan keberadaan dan kepentingan pihak lain. Konsep self interest rationality menurut Edgeworth, meskipun secara ekonomi terkesan baik, tetap mengandung konsekuensi terhadap perilaku konsumsi yang lebih longgar karena ukuran rasionalitas adalah selama memenuhi self interest tersebut. Sedangkan utilitarianisme yang menekankan bagaimana manfaat terbesar dapat diperoleh meski harus mengorbankan kepentingan/hak pihak lain.

Perspektif  sosiologi bukan sebagai sekedar pemenuhan kebutuhan yang bersifat fisik dan biologis manusia semata, tetapi berkaitan dengan aspek-aspek sosial budaya. Konsumsi berhubungan dengan masalah selera, identitas, atau gaya hidup (life style). Jika para ekonom memperlakukan selera sebagai suatu yang stabil, difokuskan pada nilai guna, dibentuk secara individu dan dipandang sebagai sesuatu yang eksogen (diluar pusat perhatian). Maka sosiolog memandang selera sebagai sesuatu yang dapat berubah, difokuskan pada kualitas simbolik dari barang dan tergantung pada persepsi tentang selera dari orang lain.   Konsumsi terhadap suatu barang, menurut Weber (1922-1987), merupakan gambaran gaya hidup tertentu dari kelompok status tertentu.  

Konsumsi, Life Style dan ideology, sebuah paham yang salah
Horkheimer dan Adorno, mengemukakan bahwa logika komoditas dan perwujudan rasionalitas instrumental dalam lingkup produksi tampak nyata dalam lingkup konsumsi. Pencarian waktu bersenang-senang, seni dan budaya tersalur melalui industri budaya. Resepsi tentang realitas diarahkan oleh nilai tukar – exchange value – karena nilai budaya yang mengalahkan logika proses produksi dan rasionalitas pasar. Selain itu juga terjadi standarisasi produk-produk budaya untuk memaksimalkan konsumsi.

Dalam pemikiran Baudrillard, yaitu bahwa konsumsi membutuhkan manipulasi simbol-simbol secara aktif. Bahkan menurut Baudrillard, yang dikonsumsi bukan lagi use atau exchange value, melainkan “symbolic value”, maksudnya orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan karena kegunaan atau nilai tukarnya, melainkan karena nilai simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi.

Disamping itu, definisi lifestyle—gaya hidup saat ini menjadi semakin kabur. Namun dalam kaitannya dengan budaya konsumen, istilah tersebut dikonotasikan dengan individualitas, ekspresi diri serta kesadaran diri yang stylistik. Tubuh, busana, gaya pembicaraan, aktifitas rekreasi, dsb adalah beberapa indikator dari individualitas selera konsumen.

Peter N. Stearns (2003:ix) mengungkapkan bahwa kita hidup dalam dunia yang sangat diwarnai konsumerisme. Istilah konsumerisme, menurut Stearns : ... consumerism is best defined by seeing how it emerged.but obviously we need some preliminary sense of what we are talking about. Consumerism describes a society in which many people formulate their goals in life partly through acquiring goods that they clearly do not need for subsistence or for traditional display. They become enmeshed in the process of acquisition shopping and take some of their identity from a posessionof new things that they buy and exhibit. In this society , a host of institutions both encourage and serve consumerism.. from eager shopkeepers trying to lure customers into buying more than they need to produce designer employed toput new twists on established models, to advertisers seeking ti create new needs..”

Konsumerisme, pada masa sekarang telah menjadi ideologi baru kita. Ideologi tersebut secara aktif memberi makna tentang hidup melalui mengkonsumsi material. Bahkan ideologi tersebut mendasari rasionalitas masyarakat kita sekarang, sehingga segala sesuatu yang dipikirkan atau dilakukan diukur dengan perhitungan material. Ideologi tersebut jugalah yang membuat orang tiada lelah bekerja keras mangumpulkan modal untuk bisa melakukan konsumsi.

Ideologi konsumerisme, pada realitasnya sekarang telah menyusupi hampir pada segala aspek kehidupan masyarakat, mulai dari aspek politik sampai ke sosial budaya. Menurut Trevor Norris, konsumerisme terkenal bersifat korosif dalam kehidupan politik dan bahkan menjadi suatu perombak—pendeformasi—kesadaran manusia. Konsumerisme dalam hal ini dipandang sebagai suatu proses dehumanisasi dan depolitisasi manusia--karena para warga negara yang aktif dan kritis telah banyak yang berubah menjadi konsumen yang sangat sibuk dan kritikus atau peneliti pasif.

Baudrillard sejak lebih dari dekade lalu telah menyadari fenomena konsumsi terseut dalam masyarakat sehingga kemudian menyatakan, ”..with the advent of consumer society,we are seemingly faced for the first time in history by an irreversible organized attempt to swamp society with objects and integrate it into an indispensable system designed to replace all open interaction between natural forces,needs and techniques”

Dalam konteks yang demikian ini sangatlah jelas, jika kekeliruan memahami aspek filosofis dalam aktivitas konsumsi menjadi awal dari kesalahan memaknai kehidupan yang memang secara nyata memiliki hubungan terikat langsung dengan aktivitas konsumsi. Padahal secara etika ke-humanisan, penulis melihat aktivitas konsumsi tidak berdiri sendiri secara individu, tetapi juga dengan masyarakat dan lingkungan. Sebab, individualism dalam konsumsi sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan dalam Islam, yakni saling memberi dan berbagi kepada sesame, tidak bergaya hidup mewah sedang yang lain masih hidup dalam keadaan miskin dan sengsara.

Etika Konsumsi perspektif Islam
Etika Islam berusaha mengurangi kebutuhan material manusia yang hampir tanpa batas, untuk bisa menghasilkan energi dalam mengejar cita-cita spiritualnya. Perkembangan batiniah telah dijadikan cita-cita mulia lagi tinggi mulia dalam hidup. Sekalipun diakui jika manusia butuh materi sebagai pemuas kebutuhan fisio-biologis-nya, tetapi bagaimanapun kebutuhan spiritual tetap harus dikedepankan.

Islam sebagai agama yang sempurna (syamilah kamilah) senantiasa mengajak umatnya untuk bisa hidup dengan sebaik mungkin, termasuk sesuatu barang yang dikonsumsi atau yang dibelanjakannya.Konsumsi juga tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yang dalam bentuk perilaku, gaya hidup, selera, sikap – sikap terhadap sesama manusia, sumberdaya, dan ekologi. Keimanan sangat mempengaruhi sifat kuantitas, dan kulitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan materil maupun spiritual. Dalam konteks inilah kita dapat berbicara tentang bentuk – bentuk halal dan haram, pelarangan terhadap israf, pelarangan terhadap bermewah – mewahan dan bermegah – megahan, konsumsi sosial, dan aspek – aspek normatif lainnya. (baca dan perhatikan Q.S. Al – Baqarah ayat 168 – 169).

Dalam hal ini Islam telah menetapkan prinsip-prinsip konsumsi yang seyogyanya menjadi panduan bagi konsumen selaku penikmat produk. Ada dua  prinsip konsumsi dalam Islam yang selayaknya menjadi perhatian khusus setiap individu dalam tindakannya untuk mengkonsumsi hasil produk oleh produsen, yaitu sebagaimana berikut : pertama, Prinsip Kesederhanaan. Sebagaimana firman Allah swt, dalam al – Quran surah al – A’raf ayat 31 yang artinya : Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.

Kedua, Prinsip Moralitas.Berakhlak dalam koridor Islam sejatinya tidak hanya ditujukan kepada individu lain, tetapi juga terhadap diri sendiri, alam bahkan terhadap Tuhan sekalipun. Artinya adalah sebagai wujud syukur atas karunia yang telah diberikan Allah kepada kita, kita harus mengkonsumsi hasil olahan sebagai bentuk rizki yang diterima dengan moral dan etika konsumsi Islami yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya, yakni dengan tidak berlebih-lebihan. Serta tetap mengingatkan kepada kita pribadi jika rizki dan barang konsumsi yang kita terima harus diwujudkan sebagai bentuk syukur dan anugerah dari Allah swt dan bukan hasil keringat kita sendiri. Sehingga dengan sendirinya kita akan sadar jika yang kita konsumsi tidak boleh berlebih atas dasar pemuasan nafsu semata akan tetapi kebutuhan. (needs).

Dari pemaparan etika konsumsi perspektif Islam tersebut di atas, penulis ingin mengajak kepada kita semua untuk menghentikan gaya hidup bermewah-mewahan dan mendahulukan kepentingan nafsu (wants) bukan kebutuhan (need). Padahal akhlak yang baik dalam konsumsi adalah untuk memenuhi need bukan want. Akhirnya, momentum hari Konsumsi Nasional 20 April 2014 ini selaiknya kita jadikan ajang muhasabah diri, agar tidak terjebak dalam pola hidup kapitalisme konsumsi yang sedang mewabah di era abad 21 ini. Wallahu a’lam

(Suwardi., SE. Sy adalah Wakil Direktur FiSTaC dan Anggota PELANTA)






Sumber :  Jambi Ekspres
Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com