PILEG dan UN: Perlu Tata Ulang?

Posted on 2014-05-05 16:35:00 dibaca 3969 kali
“MANA yang lebih berbahaya, pelaksanan Pileg dengan segala perselingkuhannya atau penyelenggaraan UN dengan segala perzinahannya?”, demikian status seorang Facebooker baru-baru ini. Berbagai responpun bermunculan, dan sebagian besar respon menunjukkan persepsi negatif public terhadap Pileg dan UN.

Status ini setidaknya  mengisyaratkan dua maknapenting. Pertama, baik Pileg maupun UN, keduanya dianggap membahayakan.Kedua, hajat nasionalini bersifatanti sosial, karna diasosiasikan dengan perbuatan amoral yakni perselingkuhan dan perzinahan.

Terlepas dari penafsirandi atas, Pileg dan UNsecara teknis memiliki beberapa persamaan.Pertama, kedua perhelatan nasional ini sama-sama memiliki fungsi sosial yang sangat kompetitif dan sangat menentukan.Makanya tidak heran bila semua pihak menggelar segala upaya agar bisa menang, terpilih, atau lulus dalam ajang kompetisi penentu nasib ini.

Penyelenggaraannya sama-sama heboh, masif, menyibukkan, dan membutuhkan energi yang luar biasa. Yang pasti, keduanya sama-sama membutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk UN saja, negara harus menggelentorkan dana sekitar 540 milyar lebih setiap tahunnya, sebuah angka yang cukup fantastisdandana sebesar ini sejatinya bisa digunakan untuk keperluan yang lebih mendesak seperti membangun  sekolah baru, memperbaiki sekolah yang rusak, meningkatkan mutu dan kualifikasi guru, melengkapi sarana dan prasarana sekolah, yang hasilnya dipastikan berdampak secara  langsung terhadap peningkatan kualitas layanan pendidikan di sekolah. Semua ini belum termasuk ongkos politik dan psikologis yang muncul akibat perhelatan akbar nasional ini.

Bila kita menoleh kebelakang, sebenarnya pelaksanaan UN masih diwarnai berbagai kontroversi. Keputusan Mahkamah AgungNo. 3 tahun 2009, meskipun tidak melarang, namun secara tegas telah memerintahkan pemerintah(dalam hal ini kepala negara dan kementrian terkait) untuk melengkapi sarana dan prasarana sekolah, meningkatkan mutu guru, serta melengkapi akses informasi secara merata ke seluruh daerah di Indonesia sebelum membuat kebijakan pelaksanaan UN.

Putusan ini sejatinya dipahami sebagai aspek kondisional dimana pemerintah belum diberikan wewenang secara legal formal untuk menggelar UN sebelum semua persyaratan di atas dipenuhi.
--batas--
Sepertinya, pemerintah memiliki interpretasi yang keliru dalam memaknai putusan MA ini. Versi pemerintah mengisyaratkan bahwa putusan ini tidak mengandung makna larangan terhadap pelaksanaan UN, dan oleh karnanya peperintah tetap bersikukuh melaksanakannya Sambil memenuhi persyaratan seperti tersebut di atas, yakni memperbaiki mutu guru, melengkapi sarana dan prasarana sekolah, serta melengkapi akses informasisecara merata ke seluruh daerah.

Jelas sekali disini bahwa kata Sebelum telah dimaknai sebagai kata Sambil. Padahal, secara literal, makna kedua kata ini sangat berbeda.Makanya hingga kini, masih banyak pihak yang menyangsikan legalitas formal pelaksanaan UN.

Selanjutnya, Pileg dan UN sama-sama memicu praktik kecurangan karna keduanya berfungsi sebagai instrumen penentu nasib.Bila Pileg digelar untuk menentukan nasib caleg parpol yang akan duduk di badan legislatif baik di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, maka UN diusung untuk menentukan nasib dan pencapaian belajar siswa secara masal dan menyeluruh.

Lebih jauh, UN dipatok sebagai alat uji keberhasilan penyelenggara pendidikan, serta alat pemetaan mutu pendidikan, meskipun hingga kini publik tidak pernah tahu seperti apahasil pemetaan tersebut karna tidak pernah diumumkan secara luas kepada masyarakat dan stakeholders pendidikan.
    
Tingginya predikat sosial dan “penghasilan”seorang wakil rakyat, serta tingginya tingkat “kompetitiveness” dalam pergelaran UN, ditenggaraimenjadi salah faktor pemicu malapetaka Pileg dan UN selama ini. Ketatnya pertarungan politik antar caleg dan parpol, beratnya beban sosial dan psikologi seorang siswa yang tidak lulus UN, serta tingginya beban sosialpolitik penyelenggara pendididikan bila banyak siswa yang tidak lulus UN, juga menjadi faktor penting pemicu praktik illegal dalam pelaksanaan Pileg dan UN.

Hasilnya, semua pihak dituntut untuk “mahir” dan “cekatan” mengasah strategi agar target “menang” atau “lulus”bisa terwujud. Hasilnya, berbagai praktik kecurangan tak terhindarkan.
    
Praktik kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan UN tentu harus menjadi perhatian serius semua pihak, terutama penyelenggara pendidikan.Betapa tidak, praktik ini sangat memprihatinkan karna dilakukan oleh insan terdidik dan berseberangan dengan tujuan hakiki pendidikan yakni membentuk perserta didik atau generasiyang cerdas, terampil, dan berakhlak mulia.

Dalam konteks ini, tidak salah bila UN dianggap membahayakan seperti yang terurai dalam status facebook di atas, karna UN secara tidak langsung telah mendorong berbagai pihak mulai dari siswa, sekolah, rekanan pembuat soal,bahkan masyarakat dan oknum yang tidak bertanggung jawab untuk berbuat curang.

Berbagai adegan dan tontonan seputar praktik kecurangan dalam pelaksanaan UN mewarnai layar kaca nasional dan tersebar secara luas melalui media cetak dan elektronik, dan tentu semua ini sangat memilukan dan menyayat kalbu.
    
Ironi memang, disatu sisi UN digelar untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan, namun disisi lain, UN justru memicu sikap dan moral yang tidak terpuji dan merusak moral bangsa karna karna ktidakberesan pelaksanaannya telah meracuni sikap dan moral siswa.

Bila praktik ini berlanjut, bukan tidak mustahil UN menjelma sebagai penyulut runtuhnya etika bangsa dan bahkan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara karna secara tidak langsung telah membangun generasi curang, generasi yang mahir dan cekatan mencari jalan pintas!
    
Dari tahun ketahun praktik curang ini semakin massif dan terstruktur.Bisa dibayangkan kedepan, apa yang akan terjadi bila generasi semacam ini kelak akan menjadi pemimpin dan akan menentukan nasib bangsa. Hal semacam ini tentu juga bisa disamakan dengan pelaksanaan Pileg yang selalu dibayangi praktik kecurangan, penipuan, dan bahkan kekerasan. Bangsa ini tentu tidak akan pernah bisa berkembang dan maju bila wakil rakyatnya bejiwa culas dan berwatak curang, karna terpilih melalui sebuah proses curang dan akal-akalan !!!

Sudah saatnya kedua hajat nasional ini ditata ulang.Caranya tentu tudak terlalu sulit. Pertama batasi gaji dan penghasilan para wakil rakyat, sehingga kursi yang akan diperebutkan tidak akan dijadikan “sandaran hidup” yang memabukkan seperti yang terjadi selama ini. Bila gaji atau penghasilan seorang wakil rakyat tidaklah “wah” seperti sekarang, tentu ritme dan tingkat persaingan untuk menduduki kursi wakil rakyat tidaklah seheboh ini, sehingga frekuensi kecurangan bisa ditekan. Demikian juga dengan UN.Bila UN ditujukan hanya semata-mata untuk pemetaan mutu pendidikan secara murni dan bukan dijadikan sebagai alat penentu nasib siswa, tentu hasilnya juga tidak seperti sekarang ini.

Selanjutnya, UN tidak harus diselenggarakan untuk siswa yang akan tamat sekolah, tapi bisa diselenggarakan secara berkala. Sebagai perbandingan, ujian nasional yang dikenal dengan NAPLAN (National Assessment Program for Language and Numeracy), di Australia hanya digelar untuk siswa kelas 3, 5, 7, dan 9.

Artinya, setiap siswa sejak duduk di kelas 3 wajib mengikuti ujian skala nasional ini setiap dua tahun, dan hasilnya murni untuk pemetaan, bukan untuk penentu kelulusan. Hasilnya disampaikan kepada semua pihak,termasuk orang tua siswa, sekolah, dan jajaran pemerintah terkait sebagai bahan acuan untuk remedi nasional. Hasilnya, pemerataan mutu pendidikan di seluruh daerah dapat terwujud secara gradual. (*Penulis Dosen FKIP Universitas Jambi dan Sekretaris BAP-SM Provinsi Jambi).

Sumber : Jambi Ekspres
Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com