UN: Pendidikan Tanpa Pendidikan

Posted on 2014-05-06 17:00:00 dibaca 3815 kali
Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Oleh karena itu, untuk mengevaluasi ketercapaiam visi pendidikan ini pemerintah (baca-Kemdikbud) menyelenggarakan Ujian Nasional (UN). Tidak ada yang salah dengan UN ini, buktinya beberapa tahun terakhir UN tetap dilaksanakan. Ada yang menolak UN, Kemdikbud selalu punya teori untuk melegalkan UN. Mungkin manfaat UN diteropong dari atas sehingga tidak nampak ‘rumput-rumput yang berduri’ yang akan menggerogoti karakter anak bangsa. Ada ‘hidden curriculum’ yang tidak terperhatikan oleh Kemdikbud.

 Mari kita baca hasil studi yang dilakukan oleh Bank Dunia: sistem apa pun yang dihasilkan hanya akan efektif jika didukung oleh kesamaan persepsi dan komitmen dari pihak-pihak yang terkait untuk mengimplementasikan sistem itu secara konsekuen. Jadi wajar pelaksanaan UN belum efektif karena banyak pihak tidak memiliki kesamaan persepsi dan komitmen tentang UN.

Idealnya, setiap program pendidikan yang diluncurkan pemerintah mempertimbangkan plus-minus bagi masyarakat bukan hanya beretorika dalam teori belaka. Dalam pelaksanaan UN misalnya ada tahapan, proses, konsep yang bisa mempengaruhi, mendorong oknum tertentu untuk berbuat sesuatu di luar ketentuan yang berlaku. Artinya tahapan ini memunculkan ‘pembelajaran’ baru bagi masyarakat.

Pemerintah boleh saja meminta warga sekolah untuk jujur, tidak boleh nyontek, tidak percaya dengan kunci jawaban palsu tapi pemerintah juga diharapkan tidak membuat aturan yang ‘memaksa’ warga sekolah untuk berbuat hal-hal tersebut yang ditawar ‘oknum’ dari luar sekolah.

Seperti dalam Permendiknas, pendidikan di sekolah idealnya terdiri dari 3 tahapan: proses perencanaan, melaksanakan pembelajaran dan evaluasi. Kenapa cuma evaluasi (baca- UN) yang ‘diplototi’ secara berlebihan. Mulai dari pembuatan kisi-kisi soal, percetakan, packing, pengiriman, penyimpaan, pemindaian diawasi ekstra ketat. Tidak hanya itu, pada hari H, semua elemen stakeholder pendidikan: pengawas, LPMP, Dinas Pendidikan/Kemenag, Kepolisian, Pengawas dari PT, dsb. Semuanya turun ‘gunung’ mengawasi UN. Seolah olah UN dikepung dari semua arah.

Kenapa stakeholder pendidikan mengabaikan begitu saja proses pembelajaran? Padahal inti pendidikan adalah prosesnya dan ada asumsi bahwa proses yang berkualitas akan menghasilkan output yang berkualitas pula. Seolah olah proses pembelajaran diabaikan begitu saja. Mungkin pemerintah ‘hanya pandai’ mengawasi siswa ujian, tapi tidak pandai mengajari guru mengajar yang sebenarnya.

Pengawalan ‘benda mati’ paket soal yang super ketat dan soal UN dikawal Polda & Polres (JE, 3/5/14), Kepala Sekolah diawasi intel (JE,5/5/14) menambah beban sekolah dan siswa, apalagi ‘benda mati’ ini ‘dipenjara’ di Kapolsek terdekat. Penyimpanan ini sama sekali tidak memberi pembelajaran yang positif bagi siswa dan malah menambah beban tambahan bagi siswa, alangkah ‘seramnya’ UN.
--batas--
Tersimpannya naskah soal di Kapolsek terdekat seolah olah Kemdikbud memulai ‘perang terbuka’ dengan pihak sekolah, seolah olah mendeklarasikan ketidakpercayaan pemerintah terhadap sekolah. Sekolah ‘dituduh’ secara tidak langsung sebagai pihak yang tidak dipercaya. Padahal sekolah (baca-kepala sekolah, guru dan karyawan) adalah orang orang pilihan yang direkrut oleh pemerintah.

Jumlah paket soal 20 juga mencerminkan pemikiran pemerintah bahwa peserta UN adalah tukang contek. Diasumsikan dengan jumlah paket 20 sama jumlahnya dengan peserta UN dalam ruang kelas menutup kesempatan untuk saling contek. ‘Gelar’ ini tentu saja menambah beban tambahan bagi siswa, yang sebenarnya siswa siswa ini tidaklah sejelek yang dipikirkan.

Porsi 40% dari nilai sekolah dan 60% dari nilai UN juga ‘mengajarkan’ oknum sekolah untuk berbuat sesuatu membantu siswa sehingga nilai siswa bisa memenuhi target kelulusan. Diyakini tidak ada niat sama sekali bagi guru untuk berbuat demikian tapi ‘keadaan’ yang memaksakan untuk berbuat seperti itu. Tidak alasan bagi siapapun untuk menyalahkan guru, UN telah melenceng niat guru. Kalau tidak ada UN, pasti kasus ini tidak terjadi.

Wawendikbud menyatakan pendidik yang kreatif adalah kunci keberhasilan pendidikan di sebuah negara. Ide-ide kreatif tidak akan muncul tanpa pendidikan. Pendidikan yang baik dimulai dari guru yang kreatif. Gedung yang bagus tidak ada gunanya tanpa guru yang berkualitas Tapi kreativitas guru dimatikan benda yang bernama UN untuk menyulap siswa pintar menjawab soal UN.

Seperti yang disampaikan media, setiap pelaksanaan UN adalah kebocoran soal dan kunci jawaban yang dilakukan berbagai oknum dengan berbagai modus. Paket kunci yang beredar ini dalam bentuk lembaran kertas dengan mencantumkan cuplikan soal untuk meyakinkan peserta ujian menggunakan kunci jawaban tersebut. Sebagian oknum siswa menjadi ‘kreatif’, mereka tidak berjuang untuk belajar, tetapi bereka berjuang mencari ‘ajimat berbayar’ yang bisa digunakan dalam menjawab soal UN. Kalau UN ‘dibuang’ pastilah ini tidak akan terjadi.

Kenapa yang menjadi sasaran “tertuduh” adalah warga sekolah. Kalau ada bocoran soal, diasumsikan pastilah dilakukan sebelum amplop disegel ‘rahasia negara’. Kalau sudah disegel, dijamin warga sekolah tidak akan berani menyentuh bungkusan yang berlapis lapis itu. Bisa dipastikan kebocoran soal pastilah dilakukan waktu percetakan, sortiran, packing. Kalau begitu, kenapa pemerintah menghabiskan banyak energi, dana hanya memplototi guru dan siswa yang ‘tidak berdaya’? Mungkin, pemerintah hanya berani dengan anak anak?

Tapi, ‘kisah sedih’ diatas akan hilang begitu saja waktu pengumuman kelulusan, dengan wajah sumringah diumumkan bahwa kelulusan peserta UN nyaris 100% lebih baik dari tahun sebelumnya, diiringi tepuk tangan yang membahana dari penonton. Selamat kalau begitu!
*) Penulis adalah seorang pendidik di Kab. Batanghari
 


Sumber : Jambi Ekspres
Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com