Sulitnya Menghapus Budaya Jamban Terapung
Meskipun selama ini berbagai upaya pembersihan telah dilakukan Pemprov Jambi, namun keberadaan jamban terapung di pinggiran Sungai Batanghari tetap saja semarak. Sulitnya memberantas jamban terapung ini tak lain lantaran sejak dulu kala warga yang tinggal di sepanjang bantaran sungai memang sudah terbiasa menjadikan sungai sebagai tempat Mandi Cuci Kakus (MCK).
Keberadaan jamban terapung, di zaman sudah modern dan serba canggih ini, tetap masih melekat kuat dalam sosial kultural masyarakat. Ia memiliki peran penting bagi kelangsungan hidup sehari-hari. Keberadaannya tak tergrus oleh perkembangan zaman. Seolah 'tak lekang di panas dan tak lapuk di hujan'.
Jadi, tak heran lagi jika di sepanjang pinggiran Sungai Batanghari berjejer jamban terapung.Di mana ada rumah warga, di sanalah ada jamban terapung yang biasa digunakan warga setiap hari untuk mandi, mencuci, buang hajat, dan mengambil air minum untuk memasak. Hampir bisa dipastikan tak ada warga yang tinggal di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari yang steril dari budaya turunan ini.
Upaya pembersihan bukannya tak pernah dilakukan. Para pemimpin Jambi terdahulu pernah berkali-kali mencobanya. Di zaman pemerintahan Gubernur Zulkifli Nurdin, bekerjasama dengan Pemkab terkait, bahkan pernah dilakukan pembersihan besar-besaran. Program sumur bor dan toilet umum diluncurkan. Rumah-rumah yang belum punya kamar mandi diberi bantuan untuk membuat kamar mandi di rumah. Tapi, ternyata hasilnya nihil.
Padahal, tidak dikotori dengan sampah rumah tangga dan limbah jamban terapung pun, kondisi Sungai Batanghari sudah sangat keruh oleh aktivitas penambangan pasir. Ditambah lagi dengan Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti) di bagian hulu. Memang sudah lama Sungai Batanghari tak lagi pernah jernih, tapi selalu kuning dan menghanyutkan sampah-sampah.
Entah berapa ton volume polutan per hari mencemari Sungai Batanghari. Itulah sebabnya, pengusaha dari luar negeri menolak mentah-mentah membeli ikan patin yang diproduksi petani ikan Jambi. Pasalnya, daging ikan patin Jambi disebut-sebut tidak higienis lantaran mengandung air raksa dan bakteri tinja manusia.
Ujung-ujungnya, pabrik pengolahan ikan patin untuk eksport yang dulu pernah diresmikan Gubernur Zulkifli Nurdin di Desa Rengas Bandung, Kec Jambi Luar Kota (Jaluko), Kab Muarojambi, tak pernah mengirim ikan ke luar negeri. Kondisi pabrik itu kini tak lagi berpenghuni. Padahal, rencananya pabrik itu digadang-gadangkan untuk menampung semua produksi ikan patin Jambi secara besar-besaran.
Itu seiring dengan pilot project program bantuan seribu keramba yang dibagi-bagikan kepada warga yang tinggal di sepanjang DAS Batanghari. Sasaran akhirnya yaitu menciptakan Jambi sebagai sentra produksi ikan patin.
Sekarang, Gubernur Hasan Basri Agus (HBA) kembali mencetus tekad pembersihan. Tentunya program ini patut kita dukung bersama. Sebab, rencana bagus tanpa dukungan semua pihak tentu sulit mendapatkan hasil yang bagus. Sangat diperlukan peran tokoh masyarakat, ninik mamak, kaum ulama, dan cerdik pandai, dalam upaya membangkitkan 'batang terendam' dari kesadaran positif masyarakat. Meskipun tidak bisa dalam sekejap mata, dalam dua-tiga kejap tak apalah.(cr01)