Taufiq Ismail suatu ketika berujar "Kelambanan kolektif kita terhadap budaya akan diterjang tanpa ampun oleh kencang lajunya peradaban milenium yang akan datang ketika batas-batas geografis dan berbagai sekat peraturan sudah diangkat orang. Kita yang terkenal lambat, lamban, terdesak dan kemudian tergeletak di pinggir jalan raya peradaban dunia". Sebuah gambaran lugas kondisi jati diri negeri ini yang bisa jadi mirip cermin retak di ruang yang muram. Tidak ada cahaya kemilau yang menerobos masuk, kecuali suara risau, rintihan nan perih dan kegaduhan budaya yang tak beraturan yang diam-diam merayap di dinding waktu.
Isyarat itu terbentang didepan mata, bertumpuk kenyataan yang menoreh luka budaya, ketidakberdayaan warisan leluhur yang bernama budaya menjadi pagar hidup untuk kehidupan rakyat negeri ini. Kalimat yang selalu bergaung di tengah masyarakat Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah hanya tinggal raga. Jiwanya hilang. Rakyat terpuruk bermahkota amarah ketika negeri ini dinobatkan sebagai kota 10 besar penyalahgunaan norkoba, setiap hari media cetak berlomba mempertontonkan kehidupan pergaulan bebas remaja yang sudah bak negeri antah berantah. Penyakit masyarakat, korupsi disana sini, lomba saling cegal mencegal memperebutkan ‘kue APBD’ dimainkan elit politik di atas panggung demokrasi, elit birokrasi nan sudah lupa budi, membutakan mata membisukan mulut menulikan telinga. Semua sudah tak peduli, semua bertopeng ‘demi kesejahteraan rakyat’. Warisan leluhur hukum adat dilupakan, seloko tunjuk ajar tegur sapo kehilangan ruhnya.
Kekerdilan bertingkah pola bak gendang kompangan dengan kemunafikan seolah menjadi prestasi berjenjang kelompok penguasa bahkan menular kuat di lingkungan adat budaya. Gelisah pun merasuk sukma, sinyal kewibawaan negeri ini nyaris terpuruk di ruang tak berbentuk. Adat Budaya menjadi komoditi seremonial, ia menjadi hiasan yang hanya dilihat dan menjadi kuantitas sebuah laporan pertanggungjawaban penggunaan uang rakyat. Membangun budaya hanya raganya. Lantas, siapa yang hendak disalahkan ?
Semua merasa benar dengan ilmu masing masing. Semua merasa paling padek. Para senior mempertontonkan kekuatannya hingga melupakan keluhuran musayawarah mufakat dan kehidupan saling asah asuh asih. Inilah tragedi peradaban bak pecahan kaca tempat kita semua bercermin diri. Tidak dapat dipungkiri saat ini kehidupan politik "tak cerdas", modernisasi dan globalisasi telah banyak membawa dampak negatif (juga positif) dan telah membawa kemunculan manusia berkarakter pembangkang, oportunitis, munafik, hedonistik, bermoral lemah, maupun schizopronik dan terjadi ketimpangan antara kata dan perbuatan.
Manusia-manusia berkarakter semacam ini akan mudah tergelincir kedalam kubangan nafsu duniawi, selera hidup yang tidak mempunyai hati nurani.Tatanan hidup tak jauh berbeda dengan siklus hukum rimba, rakyat yang lemah dan tak berdaya akan menjadi santapan empuk rezim yang berkuasa, dengan kata lain kehidupan telah terinduksi oleh peradaban kehidupan malam, sadis keras dan lepas kontrol. Sikap latah dalam memburu gengsi dan kemaruk dalam menumpuk harta aji mumpung telah melumpuhkan kepekaan sosial dan nurani kemanusiaan bahkan cenderung menghalalkan segala cara dalam menuntaskan ambisi pribadi. Apa yang perlu kita lakukan?
Kesigapan kita bersikap adaptif dan lentur agar dapat bijak menyikapinya. Semua unsure masyarakat negeri ini harus saling bersinergi dengan nilai-nilai jati diri dan kepribadian bangsa. Diperlukan sikap sensitif dan jenjang antar komunitas budaya yang kuat untuk menyentuh dimensi kesenian dan kebudayaaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam dinamika pembangunan karakter Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.
Kehadiran komunitas dan kantong-kantong budya menjadi penting sebagai katalisator kebudayaan yang memiliki dua fungsi; Pertama penguat ketahanan dan identitas kebudayaan. Kedua memciptakan ruang dan atmosfer kebudayaan yang mampu memicu "adrenalin" para pelaku budaya untuk melahirkan karya-karya seni yang menakjubkan. Komunitas budaya tidak boleh diartikan sebagai kelompok pesaing atau kelompok anti pemerintah. Komunitas budaya adalah kumpulan pelaku, pencinta, pemerhati dan peduli budaya yang independen. Mereka adalah penyelamat asset terbesar bangsa. menyelamatkan budaya salah satu cara terhebat untuk menyelamatkan negeri ini dari keterpurukan mental dan karakter bangsa. Selamatkan budaya, selamatkan bangas.
Tidak kalah penting adalah semangat dan energi para awak komunitas budaya. Membanguun sebuah komunitas budaya memang bukan hal yang sulit, justru memberdayakan sebuah komunitas agar tidak terjebak sekedar simbol dan papan nama semata membutuhkan energi ganda. Komunitas budaya akan terus berkarya untuk melahirkan produk-produk budaya. Komunitas ini juga perlu menjadi bagian dari masyarakat kebudayaan yang memiliki daya dan porsi tawar yang diperhitungkan.
Akhirnya, ‘membangkitkan batang terendam’ kejayaan budaya, menegakkan hukum adat menjadi pagar hidup ditengah kehidupan masyarakat sebuah tantangan nan membentang. Menyadari sepenuh hati bahwa TUAH BANGSA ada pada BUDAYA . Namun yang terpenting peluang dan tantangan kratif ini harus dijawab dengan AKSI.
Salam Budaya.
Penulis adalah Pendiri Komunitas Peduli Budaya Jambi (KPBJ) dan Anggota PELANTA