Dakwah bil Hal: Korporatisasi Usaha Individu Umat Menuju Indonesia Maju
Orasi Ilmiah Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa Bidang Ilmu Komunikasi dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo, Semarang, pada 8 Juli 2013 (2-Habis)
Kemajuan-kemajuan ekonomi yang digerakkan oleh peradaban industri dan informasi telah membawa perubahan besar, namun porsi manfaat yang lebih besar diambil oleh masyarakat industri dan masyarakat informasi.
Dari pengalaman selama ini, saya membagi dua tingkatan dakwah:
Dakwah Tekstual. Dakwah yang diberikan begitu saja oleh pendakwah. Tanpa tahu apakah materi itu yang sebenarnya dibutuhkan oleh sasaran dakwahnya. Tanpa tahu bahwa sasaran dakwahnya sebenarnya sudah tahu dan sudah berkali-kali mendengarkan hal yang sama. Dakwah yang tidak menyentuh realitas yang tengah dihadapi sasaran dakwah;
Dakwah Kontekstual. Dakwah untuk menjawab kebutuhan sasaran dakwah. Kebutuhan untuk keluar dari kebodohan melalui pendidikan. Kebutuhan keluar dari kemiskinan dengan ekonomi. Dan seterusnya. Dakwah bil hal ada di kategori ini.
Untuk lebih memberikan relevansi, dengan tuntutan zaman, dakwah kontekstual harus diperluas maknanya. Bukan hanya yang bisa menjawab kebutuhan saat ini, tapi sudah harus bisa menjawab masa depan. Masa depan tentu erat kaitannya dengan desain. Desain seperti apa yang diinginkan untuk diwujudkan dalam masyarakat Islam Indonesia masa depan.
Desain itu haruslah desain yang bisa mewujudkan cita-cita semua orang. Cita-cita yang sejak kecil diperdengarkan, namun tidak pernah dijelaskan dan tidak pernah ada penjelasan bagaimana road map untuk mencapainya. Yang pertama dalam konteks personal, adalah doa yang kita kumandangkan setiap hari, yang tertera di Surat Al Baqarah ayat 15: Rabbana aatina fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirati hasanah wa qina “adzabannar. Ya, Tuhan kami, karuniakanlah untuk kami kebaikan hidup di dunia dan akhirat, dan selamatkanlah kami dari api neraka.
Dalam bermasyarakat dan berbangsa, cita-cita itu tertera di Surat Saba” ayat 15: baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Negeri yang makmur yang penuh dengan pengampunan Tuhan. Indonesia yang adil makmur dengan roh ketuhanan.
Itulah cita-cita personal kita sebagai seorang manusia, dan cita-cita komunal kita sebagai bangsa.”
Desain dan cita-cita sudah ditetapkan, tapi road map untuk mewujudkan desain itu belum pernah dirumuskan. Karena itu, para pendakwah juga belum bisa secara masif mendakwahkan desain masa depan itu.
Korporatisasi Usaha Individu
Kita punya problem mendasar untuk mayoritas umat Islam, terutama di pedesaan. Mungkin sangat sulit merumuskan desain masa depan tanpa mengubah struktur yang ada. Terutama struktur perekonomian mereka. Penguasaan aset perekonomian yang kecil dan bersifat individual akan menjadi faktor yang amat sulit untuk menciptakan desain besar, baik dalam konteks cita-cita personal maupun komunal.
Kepemilikan sawah oleh individu muslim yang kecil-kecil, pada akhirnya hanya akan jatuh ke para penyewa besar. Kepemilikan ternak yang hanya satu-dua ekor di masing-masing individu muslim, juga tidak akan bisa memberikan dampak besar bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas kehidupan secara umum.
Kita membutuhkan sebuah desain gerakan dakwah bil hal yang masif untuk menjawab permasalahan itu. Sebuah desain yang tidak hanya berorientasi kekinian, tapi juga menjangkau masa depan. Saya mengistilahkan desain itu: Korporatisasi Usaha Individu Umat.
Tujuan korporatisasi usaha individu umat sejalan dengan tujuan dakwah, sebagaimana rumusan dakwah dari Amrullah Ahmad (1985): eksistensi dakwah mengubah realitas sosial yang ada ke realitas sosial yang baru.
Ke depan umat harus yakin bahwa “usaha bersama” lebih baik daripada “usaha sendiri” yang kecil-kecil. Korporatisasi -tidak harus dalam pengertian membuat perusahaan, apalagi konglomerasi- akan mengubah desain ekonomi umat masa depan. Saya terkesan dengan rumusan dakwah dari Andi Abdul Muis (2001): dakwah jangan hanya terfokus pada masalah agama, tapi harus mampu menjawab realitas keadaan di pedesaan.
Realitasnya, umat di pedesaan terbelit pada kepemilikan aset produksi yang kecil, yang tidak akan bisa digerakkan sebagai kekuatan ekonomi. Korporatisasi Usaha Individual bisa menjadi jalan keluarnya. Hanya, dalam korporatisasi ini diperlukan pihak ketiga yang akan menjadi penjamin fasilitas pendanaan (avalis).
Adanya avalis menjawab persoalan yang selama ini menjadi kendala bagi pendanaan usaha kecil umat. Sebab, fasilitas pendanaan perbankan umum maupun perbankan syariah sangat besar untuk mendukung misi korporasitasi usaha individual umat ini. Yang belum cukup adalah siapa lembaga atau pihak yang menjadi penjaminnya. Avalis bisa menjadi jembatan bagi individu pengusaha kecil untuk menjangkau pendanaan perbankan.
Maka, sudah waktunya konsep zakat juga lebih akomodatif terhadap keperluan riil masa depan itu. Peranan zakat orang kaya yang 2,5 persen dari aset mungkin terlalu kecil dampaknya bagi pekerjaan sangat besar mengangkat perekonomian umat yang mayoritas miskin itu. Tapi, peranan orang kaya (aghniya”) atau pemilik modal akan menjadi lebih berarti jika diposisikan dalam konteks membangun korporatisasi usaha individu umat itu.
Avalis bisa dilakukan dalam dua bentuk. Pertama, pemilik modal berada di luar, hanya bertindak sebagai penjamin atas jalannya usaha individu. Kedua, pemilik modal masuk ke dalam, menjadi bagian dari korporasi usaha individual itu.
Harus ada tempat bagi peran avalis dalam praktik ekonomi syariah. Sebab, konteks hukum fikihnya berbeda dengan sedekah atau infak. Penerima sedekah dan infak tidak memiliki ikatan apa pun dengan pemberi sedekah. Apalagi ikatan formal. Penerima sedekah dan infak bisa menggunakan dana untuk apa pun, termasuk untuk hal yang hanya bersifat konsumtif.
Sementara aval i s dan pihak yang dijamin terikat dalam sebuah akad, baik moral maupun formal. Avalis memiliki tanggung jawab untuk turut mengembangkan usaha pihak yang dijamin. Sebab, tujuan proses ini bukan sebatas memberi jaminan, tapi bagaimana agar yang dijamin bisa berkembang dan “berubah dari realitas sosial yang ada ke realitas sosial yang baru”.
Sebagai contoh, 100 orang miskin tidak mungkin bisa membeli sapi untuk diternakkan. Apalagi, dalam jumlah yang memenuhi skala keekonomian. Mereka juga tidak mungkin mendapat fasilitas pinjaman dari bank. Dengan niat dan tekad dakwah bil hal, seorang aghniya” bisa menjadi avalis bagi mereka, sehingga perbankan atau lembaga keuangan bisa mengucurkan dana untuk pembelian sapi bagi kelompok tersebut, dalam jumlah yang sesuai dengan skala keekonomian. Sapi-sapi itu ditempatkan dalam sebuah kandang komunal dengan prinsip-prinsip korporasi dalam pengelolaannya.
Tentu saja tidak bisa hanya berhenti pada pembelian sapi. Agar usaha berkembang sesuai tujuan yang dicanangkan, dakwah bil hal harus diperluas dalam bentuk pendampingan, pelatihan, pembinaan, sehingga benar-benar menjadi sebuah gerakan perubahan.
Bentuk lain adalah optimalisasi lahan-lahan kecil dan terbatas milik petani. Misalnya, dengan membentuk kelompok tani yang menanam buah-buahan tropik. Pasar buah tropik di dalam negeri sangat besar, dan memiliki potensi untuk diekspor ke mancanegara. Pengelolaannya bertumpu pada asas korporasi, sehingga lebih tertata, terukur, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Indone sia yang menurut lembaga-lembaga internasional akan menjadi negara terbesar ke-7 di dunia pada 2030, tentu akan menjadi negara yang sangat maju dan modern. Di sini diperlukan modernisasi di bidang pertanian, peternakan, dan sektor-sektor pedesaan lainnya. Kalau tidak, di tengah-tengah kemajuan dan kemodernan Indonesia saat itu nanti terdapat mayoritas masyarakat Indonesia di pedesaan yang tetap tertinggal.
Korporatisasi usaha individual di mayoritas penduduk pedesaan kita adalah jalan untuk menuju Indonesia yang maju dan modern secara seimbang. Tanpa korporatiasi usaha individual di pedasaan, jalan untuk menuju masyarakat maju dan modern itu akan terhambat secara mendasar di pedesaan.
Korporatisasi usaha individu sebagai implementasi dakwah bil hal bisa diterapkan di bidang usaha apa saja, sesuai dengan potensi yang ada di sebuah desa. Inilah ladang baru bagi para aghniya”, yang lebih menjamin amal mereka memberi manfaat dan dampak yang besar, bukan hanya di masa kini, tapi juga masa depan.
Yang bisa bertindak sebagai avalis tidak hanya sebatas individu, tapi bisa juga korporasi. Badan usaha milik negara (BUMN) adalah korporasi yang didesain tidak semata mengejar keuntungan, tetapi juga mengembangkan berbagai upaya untuk mendukung percepatan terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Melalui program-program khusus yang relevan, BUMN akan menjadi perintis pengembangan korporatisasi usaha individu ini. Rintisan itu diharapkan menjadi stimulus bagi berbagai pihak, baik individu maupun lembaga dan korporasi, untuk mengembangkan hal yang sama, sehingga menjadi sebuah gerakan dakwah bil hal dalam skala yang luas.
Harus diingat, korporasi memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam konteks ushul al fiqh, kepedulian itu merupakan penjabaran kaidah dar”ul mafasidi muqaddamun “ala jalbil mashalih: mencegah kerusakan harus didahulukan dibanding memperoleh kemanfaatan. Jika sebuah korporasi hidup di tengah lingkungan yang miskin, terbelakang, dan tertinggal, kelangsungan bisnisnya akan menghadapi banyak gangguan dan hambatan. Oleh sebab itu, perusahaan harus menunjukkan kepedulian untuk mencegah kerusakan pada masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, sehingga bisa memperoleh manfaat dari sustainabilitas bisnis yang terjaga. “
Itulah jenis dakwah bil hal yang berdimensi masa depan. Jangan hanya memberi ikan. Berilah kail.
Jangan hanya memberi kail. Berilah juga kolam.
Jangan hanya memberi kail dan kolam. Ajaklah ke kolam untuk bersama memancing ikan. Korporatisasi usaha individu akan membuat seseorang b i s a membuat kolam, membuat kail, memancing bersama, dan akhirnya mendapat ikannya.*)
Disertai permintaan maaf kepada berbagai perguruan tinggi yang di masa lalu menawarkan gelar Doktor HC kepada saya, tetapi saya waktu itu tidak bersedia memenuhinya. (*)