Menagih Nawacita Jokowi

Posted on 2015-04-12 21:54:39 dibaca 4182 kali

Terpilihnya Presiden Jokowi sebagai Presiden ke-7 Indonesia membawa angin segar bagi rakyat. Harapan itu kian terlihat nyata melihat pribadi Jokowi yang dekat dengan rakyat dan terlahir bukan dari trah tokoh politik atau darah biru politik. Bahkan, Majalah Times, menyebut Jokowi sebagai New Hope, harapan baru bagi Indonesia.

Harapan baru itu terus membuncah pada sosok Jokowi yang terkenal dekat dengan rakyat dan tak jarang turun langsung atau blusukan, untuk menyaksikan dari dekat persoalan yang menghimpit rakyat. Tradisi blusukannya itu telah menjadi fenomena dalam kancah politik nasional. Bahkan ketika menjadi Gubernur DKI, Harian The New York Times Amerika, menulis artikel dengan judul In Indonesia, A Gavernor at Home on The streets. Ini menggambarkan sosok Jokowi yang peduli rakyat dengan tipikal kepemimpinan blusukannya.

Apalagi dalam masa kampanye Pilpres, Jokowi langsung menawarkan janji kepada rakyat yang dikemas dalam bungkusan nawacita. Sembilan janji utama untuk membangun Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan memiliki pribadi yang kuat sebagai bangsa. Maknanya, Jokowi dalam langgam politiknya benar-benar terlihat menjadi New Hope bangsa Indonesia.

Kini, setelah enam bulan memimpin bangsa Indonesia nawacita itu belum kunjung terlihat. Setidaknya ada beberap kebijakan pemerintahan Jokowi-JK yang tidak sejalan dengan nawacita.

Pertama, dalam bidang penegakan hukum. Penyelesaian konflik KPK-Polri memberi kesan bahwa pemerintah tidak sepenuhnya mendukung usaha KPK dalam memberantas korupsi. Padahal dalam nawacita Jokowi menyatakan “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya”. Terlepas dari pro kontra kebijakan Jokowi tersebut, tapi sebagian publik melihat  Jokowi kurang optimal dalam menangani konflik KPK-Polri. Sehingga konflik tersebut telah menyita energi bangsa dan membuat institusi anti korupsi menjadi lemah. Padahal penyakit korupsi adalah penyakit akut yang memerlukan sokongan penuh dari teraju nomor satu bangsa ini.

Kedua, dalam bidang ekonomi. Yakni naik turunnya harga BBM. Memang persoalan BBM terkait dengan harga minyak dunia, tapi argumentasi pemerintah terkadang bertentangan dengan nalar publik. Seperti menaikkan harga BBM pada bulan Nopember 2014 pemerintah beralasan bahwa subsidi BBM tidak tepat guna. Padahal ketika itu harga minyak dunia turun mendekati kisaran 80 dolar AS per barel. Dan pada bulan Januari 2015 menurunkan harga BBM dengan alasan harga minyak dunia turun. Kemudian akhir Maret lalu menaikkan lagi dengan argumentasi lain, yakni akibat harga rupiah merosot. Artinya pemerintah menggunakan berbagai alasan yg terkadang sulit dipahami publik. Alhasil hasrat Jokowi untuk menyejahterakan rakyat, kian menjadi tak jelas akibat berbagai kebijakan ekonominya yang berkolerasi terhadap harga-harga kebutuhan rakyat.

Ketiga, dalam bidang politik. kisruh yang melanda Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar terkesan akibat pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM melakukan intervensi. Dengan argumentasi atas nama hukum melakukan penegakan hukum yang bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri. Alhasil, bukan menyelesaikan konflik tapi memicu konflik menjadi semakin panas dan mengancam demokrasi bangsa.

Keempat, pemblokiran beberapa situs Islam. Keputusan pemblokiran ini memunculkan kekhawatiran publik akan kembalinya tirani otoriter. Hanya dengan alasan konten radikalisme, simpatisan radikalisme dan keamanan nasional (national security) yang tidak terukur, sebuah media diblokir. Eksesnya ke depan, jangan-jangan dengan alasan keamanan nasional berbagai media akan bernasib sama seperti era otoriter. Padahal  dalam UU No 40/1999 tentang Pers pasal 4  ayat 2 menjelaskan, “ Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarang penyiaran”.

Menilik kebijakan pemerintahan Jokowi-JK di atas, seakan menjadi bukti bahwa nawacita yang disemai semasa kampanye, sulit tumbuh dan ditagih rakyat. Bahkan, keperihan rakyat kian bertambah dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2015 tentang kenaikan tunjangan pembelian kendaraan dinas bagi pejabat negara. Artinya, rakyat melihat pemerintah tidak memiliki sensitifitas terhadap nasib mereka. Walaupun atas desakan publik, akhirnya perpres tersebut dicabut kembali.

Kini, rakyat sebagai pemilik mandat bangsa ini menagih kembali nawacita Jokowi. Rakyat ingin pemimpin bangsa ini untuk menjadikan rakyat sebagai orientasi kebijakan mereka. Bukan hanya menjadikan rakyat sebagai tangga untuk naik ke kursi kekuasaan dan setelah kekuasaan didapat, rakyat dilupakan.

Nawacita adalah janji mulia pemerintahan Jokowi untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan mandiri. Oleh karena itu publik berharap agar pemerintah melahirkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi menyejahterakan rakyat, bukan kebijakan yang membebani rakyat. Harapan rakyat yang menggunung pada pundak Jokowi haruslah menjadi nyata, bukan nawacita yang hanya menjadi cita-cita yang tak jelas kapan menjadi nyata. Wallahu’alam

Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com