Illustrasi

Asli Palsu dan Dibantu

Posted on 2015-05-27 09:33:32 dibaca 3460 kali

Oleh: Navarin Karim

Baru-baru ini Menteri Ristek dan Perguruan Tinggi seolah baru sadar, bahwa ada  malpraktek yang dilakukan oleh oknum Perguruan Tinggi dalam proses belajar mengajar.
 
Malpraktek Perguruan Tinggi ini sebenarnya sudah lama  terjadi dan baru sekarang ada sidak. Selama ini seolah dibiarkan  begitu saja. Persoalan seperti ini sebenarnya sudah ada sejak decade 1990. Penulis berani ungkapan karena ini selalu jadi agenda pembicaraan tahunan dalam rapat APTISI (Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia).
 
Rapat rutin, hanya meninggalkan foto kenangan tanpa ada tindak lanjut dari Dikti dan Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (baca : dulu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Apakah karena Direktorat Perguruan Tinggi (Dikti) sudah kewalahan melakukan pengawasan, karena saking banyaknya Perguruan Tinggi di Indonesia.  
 
Apakah ada action seolah-olah bangsa ini sangat tanggap dengan persoalan issue moral bangsa yang kuat kaitannya dengan Revolusi mental? Kita sadari  belakangan ini banyak sekali yang berkaitan dengan moral bangsa ini  disorot,  seperti  persoalan prostitusi premium, anak yang ditelantarkan kedua orang tuanya karena mereka terlibat narkoba,  beras  plastik dan persoalan keputusan Kementerian Hukum dan HAM yang controversial, serta dosen yang melakukan bimbingan sekaligus membuatkan  skripsi di kamar hotel.
 
Ijazah asli dan palsu ini dalam prakteknya dilakukan oleh oknum perguruan Tinggi dengan merancang system perkuliahan yang dipersingkat padat. Misal satu mata kuliah dalam satu atau dua kali pertemuan. Absen pertemuan dirancang dan direkayasa, untuk satu kali pertemuan
dianggap equivalent dengan enam atau tujuh kali kehadiran.
 
Ini dibuktikan dengan adanya tujuh daftar kehadiran.  Pertemuan pertama sebagai prasyarat melakukan mid semester dan pertemuan kedua untuk prasyarat melaksanakan ujian semester. Terjadi malpraktek ini karena masyarakat Indonesia lebih senang  instant ketimbang harus bersusah payah melalui proses yang berliku-liku.
 
Dengan kata lain bangsa ini selalu berupaya mencari jalan pintas (short cut). Diperparah lagi dengan kebijakan Dikti seolah ada pemasalan masyarakat harus jadi sarjana (mensarjanakan masyarakat), signal ini dapat dibuktikan dengan menjamurnya Perguruan Tinggi bukan hanya di ibukota provinsi, juga  diberikan izin pada tingkat kabupaten.  
 
Konsekuensinya, kalau masa Orde Lama (Orla)  dan Orde Baru (Orba), mahasisiwa cari Perguruan Tinggi, maka era sekarang Perguruan Tinggi cari mahasiswa. Oleh sebab system promosipun semakin gencar dilakukan oleh Perguruan Tinggi, bukan hanya dilakukan PTS, tetapi juga PTN. Bahkan  ada oknum Perguruan Tinggi  swasta melibatkan mahasiswa dalam mencari calon mahasiswa. Jika mahasiswa dapat mendatangkan satu mahasiswa, maka sang mahasiswa dapat bonus uang Rp. 100 ribu rupiah. Hunting mahasiswapun  semakin gencar, bahkan sampai ke pedesaan.
 
Fenomena baru sejak ada ketentuan pemerintah bahwa guru harus bergelar S1, dosen harus bergelar S2 serta dosen yang akan mendapat gelar akademik Lektor Kepala harus bergelar S3. Konsekuensi ini membuat masyarakat memburu gelar. Tamatan SMA memburu gelar S1, yang sudah punya gelar S1 memburu gelar S2 dan gelar S2 memburu gelar S3.
 
Hebatnya lagi dalam mengikuti pendidikan S2 dan S3 ada yang masih tetap melaksanakan tugas rutinnya baik di pemerintah maupun  legislative. Karena keterbatasan waktu akibat kesibukan dan keterbatasan kemampuan untuk menyelesaikan tugas akhir membuat skripsi, thesis dan desertasi, maka terpaksa mencari jasa bantuan  orang yang expertise dan professional dalam pengerjaan tugas akhir tersebut.
 
Pengalaman temuan penulis dalam menguji skripsi S1 menunjukkan bahwa banyak skripsi mahasisiwa bahasanya logis dan sistematis serta konsisten antara alenia satu, dua dan seterusnya, maka penulis curigai bahwa skripsinya “asli dibantu”, tapi kalau penulisannya masih banyak kekurangan berarti memang asli dibuat oleh mahasiswa tersebut. Oleh sebab itu penulis sangat setuju diskursus dari pemerintah akan menghapuskan skripsi untuk jenjang pendidikan S1, karena akan lebih banyak menciptakan calon-calon pemimpin yang tidak berkarakter (baca : tidak jujur).
 
Dampak lain dari   asli dibantu ini, maka tidak mengherankan ada oknum mahasiswa (S1, S2, S3) yang sehari-hari melaksanakan tugas rutin sebagai pegawai dan pejabat politik, muaranya (ujug-ujug) sudah dilantik menjadi sarjana (S1, S2 dan S3). Jadi bertambah istilah baru,  dahulu dikenal istilah asli tapi palsu sekarang  muncul istilah baru “asli dibantu”.
 
Asli dibantu ini seolah bukan hanya ditolerir Dikti, tetapi dari kalangan dosen juga tidak segan-segan turun tangan membantu mahasiswanya dalam mengerjakan skripsi, thesis maupun desertasi. Kasus dosen PTN di Jambi dengan inisial IS, tidak segan-segan lagi ketika ketahuan dirazia sedang dikamar hotel dengan mahasiswi, berkilah “sedang mengerjakan skripsi mahasiswi”.
 
Bukankan mengerjakan skripsi mahasiswa merupakan pelacuran akademik?  Soal mutu kadang soal kedua. Hebatnya adapula desertasi yang membantu mengerjakannya adalah dosen yang masih bergelar S2.
-----------------------------
Penulis adalah Dosen FISIPOL Universitas Jambi dan Ketua Pelanta (NIA 201307002).
Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com