Nabhan Aiqani

Negeri yang (selalu) “Diasapi”

Posted on 2015-09-12 20:50:43 dibaca 4878 kali

Oleh: Nabhan Aiqani*

 Fenomena kabut asap yang kini berujung pada bencana “kemanusiaan” selalu saja terjadi dan berulang ulang dengan intensitas dan “hotspot areal” yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Bagaimana pulau sumatera dan kalimantan yang terus saja di “asapi” -oleh praktik-praktik “jahil” perusahaan perkebunan yang membakar habis hutan demi lahan bagi kebun industri-, harusnya menjadi tanggung jawab dan pertanyaan bersama masyarakat dan pemerintah di daerah tersebut. Seolah lepas tanggung jawab semua pihak enggan turun tangan, sementara rakyat harus hidup bergumul “pesakitan” menghirup asap pekat yang banyak menimbulkan penyakit pernapasan atau ISPA.

Sampai kapan bencana tahunan ini akan terjadi. Keserakahan korporasi besar demi tuntutan keuntungan kapital yang didapatkan menutup mata hati akan dampak negatif yang akan ditimbulkan, bukan hanya menimpa satu atau dua orang, namun tragisnya jutaan orang. Hingga jumat kemarin (11/9), di provinsi Riau tercatat ada sekitar 14.566 jiwa menderita ISPA. Sementara dari laporanDinkes Jambi per senin (7/9) ada sekitar 3.394 jiwa terpapar ISPA. Dan parahnya lagi ada sekitar 25,6 juta jiwa hidup berkalang asap, yakninya 22,6 juta jiwa di sumatera dan 3 juta jiwa di Kalimantan.

Sungguh kalkulasi angka yang tidak bisa dipandang sepele. Juga tak kalah pentingnya, ribuan jenis tumbuhan dan hewan sedang menunggu “ajalnya”. Hutan tak sehijau dulu lagi yang ada hanya sisa-sisa abu yang membakar habis pepohonan rindang tempat keanekaragaman hayati dan vegetasi alam menggantungkan hidup. Keseimbangan ekosistem alam akan terguncang, konflik petani dan hewan hewan buas yang masuk pemukiman bisa saja terjadi. Krisis pangan dan sumber daya alam tengah berkecamuk menunggu waktu datangya. Belum lagi konflik lahan antara petani dan korporasi besar. Sekali lagi masyarakat menjadi korban, bak sudah jatuh tertimpa tangga pula, sudah lahannya diambil dan sumber penghidupan di rampas, kini mereka harus belajar menahan “napas” lebih panjang, agar tak terpapar asap, sungguh tragis sekali. 

 

Komitmen Internasional

Dalam forum internasional, negara-negara dunia melalui PBB telah membuat komitmen bersama perihal lingkungan hidup, melalui UNFCCC (United Nations Convention for Climate Change) yang ditandatangi pada KTT Bumi di Rio de Jaineiro Brazil, Juni 1992. Berselang setelah itu, diikuti pula dengan lahirnya Protokol Kyoto dan REDD, dua instrumen yang sampai sejauh ini masih digunakan untuk mengurangi terjadinya perubahan iklim bumi, meskipun banyak menimbulkan pro-kontra, tapi kita tidak akan membahas persoalan itu. Dua instrumen lingkungan ini konsisten menyorot tentang penggunaan emisi, yang disinyalir sebagai akibat dari terjadinya global warming (pemanasan Global) dengan indikasi rusaknya lapisan ozon sebagai akibat dari efek rumah kaca. Hal inilah yang menyebabkan suhu bumi meningkat, karena panas terperangkap didalam.

Sehingga menjadi penting bagi kita untuk memaknai perubahan suhu bumi dan kelangsungan hidup umat manusia kedepannya sebagai aksi bersama untuk menuntaskan masalah lingkungan dan pembakaran lahan yang kini tengah terjadi.

Oleh karenanya, Bencana kabut asap merupakan fakta bagaimana areal hutan telah direduksi dengan dalih pembangunan dan pemeretaan. Bila selama ini masyarakat cenderung tidak tahu terhadap praktik pembalakan liar (illegal loging) ditambah iming-iming angin surga dari pemerintah bahwa hutan kita masih “perawan” serta cukup menghidupi bangsa indonesia ribuan tahun lagi. Namun bak kata pepatah, sepandai pandai menyembunyikan bangkai pasti akan tercium juga. Kabut asap yang terjadi mengindikasikan luasnya hutan yang terbakar. Areal hutan semakin sempit, lahan-lahan yang luas disulap jadi perkebunan industri. Hutan pun mati.

Miris sekali melihat fakta yang ada. Rasanya kita tidak butuh dengan statisitik-statistik pemerintah yang berbau hegemoni (pengaruh tak terlihat) yang menginformasi kan hutan indonesia dalam kondisi yang aman. Cukup bencana asap menjadi bukti shahih penyempitan areal perhutanan yang kini masif terjadi.

 

Masyarakat Adat dan Hutan

Perananan masyarakat adat yang hidup di sekita areal perhutanan menjadi penting. Meskipun secara peradaban mereka terbilang primitif namun jangan salah, kearifan lokal(Local Wisdom) yang mereka anut mampu menyeimbangkan antara alam dan manusia. Prinsip hidup yang kadang tidak dimiliki masyarakat perkotaan. Ada semacam mitos atau keyakinan bersama, apabila hutan dirusak maka mereka semua akan “dimurkai” oleh penjaga hutan. Nilai-nilai mistis yang terbukti mampu menjaga kelestarian hidup dan penghidupan.

Tentu, alangkah malunya kita sebagai masyarakat yang katanya terdidik dan “civilize (berperadaban)”, namun untuk urusan menjaga hutan saja tidak sanggup. Keserakahan dan ketamakan telah membutakan mata, menutup pintu hati akan penderitaan masyarakat banyak akibat dari ulah yang dilakukan.

Hal ini mengingatkan penulis akan teori “kosmopolitan”, bahwasanya manusia atau masyarakat sebagai suatu entitas memiliki tanggung jawab bagi keberlangsungan semesta. Sehingga apabila ada satu manusia lain yang merupakan bagian utuh dari alam semesta yang sedang tertindas, maka menjadi tanggung jawabnya juga untuk menyelamatkan dan membebaskan mereka dari penindasan. Pun dengan saudara-saudara kita yang kini tengah terpapar asap oleh ulah jahil “korporasi” besar berjubah manusia, menjadi tanggung jawab bersama untuk membebaskan mereka serta membebas hutan, bahkan bumi ini dari segala tindak jahil manusia yang serakah dan tamak.

*Ketua Umum UKM Pengenalan Hukum dan Politik Universitas Andalas

 

Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com