Ekonomi Batu Bara, Ekologi Yang Mebara
Oleh: Martayadi Tajuddin
Ekonomi Bertumbuh, Lanskap TerlukaProvinsi Jambi, salah satu kawasan strategis di jantung Sumatera, kini berdiri di titik kritis sejarah ekologinya. Di tengah euforia pertumbuhan ekonomi dan derasnya investasi sektor ekstraktif, Jambi justru menghadapi paradoks pembangunan: kemajuan yang dicapai melalui kerusakan. Selama lebih dari dua dekade terakhir, kekayaan batu bara yang terkandung di wilayah barat provinsi ini telah menjadikan Jambi sebagai primadona investasi energi fosil. Namun di balik angka PDRB yang tampak menjanjikan, tersimpan realitas yang mengkhawatirkan—terkikisnya sistem ekologis dan sosial yang selama ini menopang keberlanjutan hidup masyarakat.
Hingga pertengahan 2025, berdasarkan data terbaru Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi Jambi, 2025), terdapat 57 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara yang aktif beroperasi. Mereka tersebar di lima kabupaten utama: Muaro Jambi, Batanghari, Sarolangun, Tebo, dan Bungo. Aktivitas ini telah menyisakan lebih dari 4.300 hektare lahan terbuka dan hampir 500 hektare genangan air bekas tambang (GABT)—sebuah konsekuensi ekologis yang tidak pernah dikalkulasi secara serius oleh para pengambil kebijakan.
BACA JUGA: Tengah Antre BBM di SPBU, Dua Mobil di Kota Jambi Ditimpa Pohon
Kawasan yang dulunya ditandai oleh hutan tropis, sumber air bersih, serta ruang produksi masyarakat kini mengalami degradasi. Sebagian besar berubah menjadi lahan kritis, padang gersang, dan kubangan air asam yang tak ramah kehidupan. Lanskap Jambi mengalami transformasi yang bukan hanya memutus koneksi ekologis antarkawasan, tetapi juga menciptakan ketidakpastian sosial bagi komunitas yang hidup bergantung pada tanah, air, dan hutan. Ini bukan sekadar kerusakan lahan—melainkan indikasi bahwa arah pembangunan telah mulai menyimpang dari prinsip-prinsip keadilan ekologis dan keberlanjutan antar-generasi yang menjadi luka mengoreng dalam tatanan kehidupan.
*Ekologi Lanskap: Retaknya Sistem Penyangga Kehidupan* Dalam perspektif ekologi lanskap, ruang hidup bukan sekadar sebidang tanah atau koordinat spasial, melainkan jejaring ekologis yang saling terhubung dan saling menopang. Hutan dataran rendah, kawasan gambut, aliran sungai, hingga kantong-kantong pertanian tradisional di Jambi selama ini membentuk sistem ekologi yang dinamis. Masing-masing elemen memiliki fungsi dan peran strategis—baik sebagai penyeimbang iklim mikro, penyaring air tanah, habitat satwa, maupun penyedia jasa ekosistem bagi manusia.
BACA JUGA: BREAKING NEWS! Mobil Masuk Jurang Sungai Penuh–Tapan, Dua Tewas
Namun, ekspansi pertambangan batu bara yang masif telah mencederai konektivitas tersebut. Penebangan hutan, pembukaan jalan tambang, dan pengerukan tanah secara besar-besaran menyebabkan fragmentasi lanskap. Daya dukung lingkungan menurun drastis. Laporan Walhi (2025) menyebutkan bahwa kawasan dengan aktivitas tambang aktif mengalami penurunan kemampuan serapan air tanah hingga 80%, memperbesar risiko banjir saat musim hujan dan kekeringan saat kemarau.
Akibatnya, siklus air alami terganggu, potensi longsor meningkat, dan sistem pertanian rakyat menjadi tidak lagi adaptif terhadap perubahan musim. Dalam konteks jangka panjang, kondisi ini mengarah pada kerentanan ekologis struktural—di mana tanah kehilangan daya pulih, air kehilangan daya dukung, dan manusia kehilangan tempat bergantung.
BACA JUGA: Bahas Karhutla : Menteri LH, Kepala BNPB Hingga Kepala BMKG Rapat di Jambi Hari Ini
GABT: Dari Kubangan Air ke Ancaman Menjebak Warga
Genangan Air Bekas Tambang (GABT) telah menjadi fenomena ekologis dan sosial yang mengkhawatirkan. Secara fisik, GABT tampak seperti kolam atau danau, tetapi secara kimiawi, air di dalamnya adalah racun. Penelitian LIPI (2021) menyebut bahwa air GABT di wilayah Sumatera memiliki pH sangat rendah (antara 2,8–4,5), serta kandungan logam berat tinggi seperti arsenik, besi (Fe), mangan (Mn), dan alumunium (Al).
GABT berbahaya bagi siapa pun yang menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari. Warga di Kabupaten Sarolangun dilaporkan menggunakan air genangan tambang untuk mandi dan konsumsi karena keterbatasan akses air bersih. Akibatnya, muncul kasus iritasi kulit kronis, gangguan ginjal, diare berkepanjangan, hingga gejala keracunan yang dialami oleh anak-anak dan perempuan. Pada 2023, Walhi mencatat setidaknya tiga warga meninggal setelah mengalami komplikasi akibat mengonsumsi air dari GABT secara rutin (Walhi Jambi, 2023).
Logam berat yang terakumulasi dalam tubuh memiliki efek jangka panjang, termasuk kerusakan hati, sistem saraf, dan bahkan kanker. Penggunaan air ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga menciptakan beban kesehatan publik yang besar dan tak terhitung secara fiskal. Air, yang semestinya menjadi simbol kehidupan, diubah menjadi sumber penyakit. Ini adalah ironi dari pembangunan yang mengabaikan prinsip kehati-hatian ekologis.
*Fragmentasi Ekosistem dan Ancaman Kepunahan*Kerusakan bentang alam akibat tambang juga berdampak langsung terhadap keanekaragaman hayati Jambi. Hutan tropis dataran rendah, yang merupakan habitat sejumlah spesies endemik seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), beruang madu, serta primata arboreal, mengalami penyusutan dan isolasi ekologis.
Menurut laporan WWF dan KKI Warsi (2023), fragmentasi habitat akibat jaringan tambang dan infrastruktur penunjang telah mengurangi indeks keanekaragaman hayati sebesar 60% di zona terdampak tambang. Satwa besar kehilangan jalur jelajah, konflik satwa-manusia meningkat, dan siklus reproduksi satwa terganggu karena tekanan spasial dan suara mesin berat.
Lebih dari sekadar kehilangan satwa, kondisi ini mencerminkan melemahnya sistem penyangga kehidupan. Hilangnya biodiversitas mempercepat kerusakan rantai makanan, memperparah perubahan iklim lokal, dan menurunkan produktivitas tanah—yang pada akhirnya memperbesar beban masyarakat.
Dimensi Ekologi Sosial Masyarakat yang Terpinggirkan
Kehilangan Akses dan Hak atas Ruang Hidup
Pertambangan batu bara tidak hanya mengubah bentang alam, tetapi juga meminggirkan manusia dari ruang hidupnya. Masyarakat adat di Kabupaten Batanghari dan Tebo, yang hidup secara turun-temurun dari hasil hutan, kini kehilangan akses terhadap sumber pangan, air, dan obat tradisional.
Izin tambang diterbitkan tanpa partisipasi masyarakat, dan warga yang mempertahankan hak atas tanahnya kerap diintimidasi atau dikriminalisasi. Komnas HAM (2022) mencatat bahwa lebih dari 29 konflik lahan aktif terjadi di wilayah pertambangan Jambi, sebagian besar melibatkan komunitas adat dan perempuan tani. Konflik-konflik ini tidak hanya merampas hak atas tanah, tetapi juga merusak tatanan sosial. Fragmentasi komunitas, kriminalisasi aktivis lingkungan, serta kekerasan terhadap perempuan—khususnya yang berada di garis depan perjuangan agraria—menjadi kenyataan sehari-hari yang acap luput dari pemberitaan.
Ketimpangan Ekonomi dan Kemiskinan Struktural
Sektor tambang sering dijustifikasi dengan dalih kontribusi ekonomi. Namun pada praktiknya, keuntungan besar justru dinikmati oleh korporasi skala nasional dan transnasional. Sementara masyarakat lokal—yang paling terdampak langsung—sering hanya mendapat peran marjinal sebagai buruh kasar, penjaga pos, atau penerima kompensasi sesaat.
Laporan UNDP (2019) menyebutkan bahwa di sebagian besar wilayah tambang di Indonesia, kurang dari 15% nilai ekonomi pertambangan kembali ke masyarakat lokal dalam bentuk layanan publik atau distribusi pendapatan. Sisanya mengalir ke pusat kekuasaan ekonomi dan politik, baik di tingkat provinsi maupun nasional.
Model ini menciptakan kemiskinan struktural—yakni kondisi di mana masyarakat dipaksa bergantung pada tambang yang justru merampas ruang hidup mereka. Ketika tambang tutup atau harga batu bara anjlok, mereka kehilangan segalanya: pekerjaan, lingkungan,kesehatan dan masa depan.
Kontradiksi Ekonomi: Pertumbuhan yang Menyakitkan
Secara makro, sektor pertambangan menyumbang 17,6% terhadap PDRB Jambi (BPS Provinsi Jambi, 2024). Di balik pertumbuhan itu, tersembunyi biaya sosial dan ekologis yang tidak terhitung: perbaikan infrastruktur akibat kerusakan truk tambang, subsidi kesehatan untuk warga terdampak, dan hilangnya jasa ekosistem seperti air bersih, udara sehat, dan pangan lokal.
Bank Dunia (2020) mencatat bahwa di negara berkembang seperti Indonesia, setiap USD 1 keuntungan dari pertambangan diimbangi oleh USD 1,5 kerusakan ekologis dan sosial. Jika dikalkulasi secara menyeluruh—biaya kesehatan akibat air tercemar, penurunan produktivitas lahan, konflik agraria, dan kerugian biodiversitas—maka tambang justru menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak tampak di atas kertas. Artinya: kita rugi lebih banyak daripada yang kita dapat.
Dari sisi ekonomi mikro, sebagian masyarakat memang memperoleh penghasilan tambahan dari pekerjaan di sektor tambang. Namun sifatnya temporer, tidak berkelanjutan, dan sering kali disertai dengan risiko tinggi terhadap keselamatan kerja dan kesehatan lingkungan.
Saatnya Jambi Membalik Haluan Sebelum Alam Menutup Buku Kita
Provinsi Jambi kini berdiri di ambang pilihan: meneruskan jalan ekstraktif yang mengeruk bumi hingga hancur, atau mulai berbelok ke arah pembangunan yang lestari, adil, dan beradab. Jalan pendiriannya telah tegas: moratorium pemberian IUP baru, pelaksanaan reklamasi pasca-tambang secara total, dan audit independen atas izin tambang yang telah melemahkan etika ekologis.
Perubahan ini bukan soal mengutamakan pertumbuhan ekonomi semata, melainkan tentang menyelamatkan integritas lanskap, dan memberi ruang hidup bagi generasi yang akan datang. Biarkan masyarakat menjadi pengawal ruang hidupnya sendiri—bukan sekadar penerima sisa laba.Karena pembangunan sejati bukanlah diukur dari seberapa dalam kita menambang, melainkan seberapa lama bumi tetap mampu memberi kehidupan.
Dan jika kita terus mendiamkan luka-luka ekologis ini, alam mungkin akan memutuskan untuk diam selamanya—seperti tetesan air yang menunggu berita untuk disampaikan. Pesan Ebiet G. Ade dalam bait lagunya yg penuh makna :“Mungkin Tuhan mulai bosanmelihat tingkah kitayang selalu salah dan banggadengan dosa dosaatau alam mulai engganbersahabat dengan kitacoba kita bertanya padarumput yang bergoyang”
Sebelum rumput kehilangan bisik angin, dan sebelum langit yang terluka membungkam, masih ada jeda yang tersisa—waktu yang rapuh namun cukup—untuk berbelok dari jalan yang salah menuju jalan yang arif dan manusiawi. Mari kita maknai kembali pembangunan, bukan sebagai ritual penjarahan atas tubuh bumi, melainkan sebagai bentuk penghormatan terhadap hak generasi mendatang—untuk hidup di dunia layak dihuni, adil dalam berbagi sumber daya, dan bermartabat dalam menjaga keseimbangan semesta. (MT) *) Pengamat Kebijakan Pembangunan Daerah, Infrastruktur, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan.
Referensi:1. Walhi Jambi. (2025). Laporan Investigasi Dampak Tambang Batu Bara.2. Forman, R.T.T., & Godron, M. (1986). Landscape Ecology. Wiley.3. LIPI. (2021). Kajian Kimia dan Ekotoksikologi Air GABT di Sumatera.4. Komnas HAM & JATAM. (2022). Potret Kekerasan dan Konflik Agraria di Wilayah Tambang.5. WWF & KKI Warsi. (2023). *Kehilangan Keanekaragaman Hayati di Kawasan
Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129
Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896
E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com