ilustrasi: xpresi jambi ekspres
Kisah Perbudakan yang Menyentuh dan Menguras Air Mata
“I don’t want to survive. I want to live.” – Solomon Northup
12 Years A Slave mengani perbudakan dan rasialisme merupakan dua hal yang paling menyedihkan dalam catatan sejarah umat manusia. Tapi hal tersebut juga menjadi tema favorit para film maker untuk dijadikan basis kisah berkualitas yang tentunya menyentuh hati penonton. Dan di film ini kita dapat ngeliat potret terbaru dari dua tema tersebut garapan sutradara Steve McQueen.
Dengan naskah yang ditulis oleh John Ridley berdasarkan memoir berjudul Twelve Years a Slave: Narrative of Solomon Northup, a Citizen of New-York, Kidnapped in Washington City in 1841, and Rescued in 1853 yang ditulis oleh Solomon Northup, 12 Years a Slave mencoba untuk berkisah mengenai seorang pria Afro-Amerika merdeka yang terjebak dalam tindak perbudakan di masa-masa ketika warga kulit hitam di Amerika Serikat masih dipandang sebagai warga kelas bawah.
12 Years a Slave jelas bukanlah sebuah film yang dapat dengan mudah untuk disaksikan. Penulis naskah film ini, John Ridley, sepertinya ingin memastikan setiap penontonnya untuk dapat merasakan bagaimana perjuangan dan tetes darah karakter-karakter utama berkulit hitam pada jalan cerita 12 Years a Slave dalam memperjuangkan hidup serta kehormatan mereka. Ridley dengan jeli memperhatikan setiap detil perjalanan hidup serta pemikiran karakter Solomon Northup untuk kemudian menjadikan kisahnya terasa begitu personal dan mampu hadir begitu emosional bagi setiap pihak yang menyaksikannya.
Untungnya, naskah cerita Ridley tersebut juga mendapatkan dukungan pengarahan yang luar biasa dari Steve McQueen) yang mampu menghadirkan kisah arahan Ridley dengan ritme penceritaan yang berjalan perlahan guna memastikan keberadaan setiap aliran emosi yang terdapat dalam naskah cerita Ridley. McQueen juga nggak segan untuk menyajikan adegan-adegan bernuansa kekerasan maupun vulgar untuk memperkuat pernyataan yang ingin disampaikan oleh film ini. Aliran emosi yang begitu mentah inilah yang seringkali membuat 12 Years a Slave begitu sulit untuk disaksikan namun mampu berbicara begitu lantang.
--batas--
Punya banyak adegan penyiksaan yang diperlihat secara gamblang dan frontal; pencambukan, gantung leher. McQueen tanpa ragu memperlihatkan itu semua secara jelas, semacam ingin mengatakan bahwa inilah gambaran polemik terjadi, dirasakan dan dialami dulu. Sedari awal film ini mencoba untuk mengikat penontonnya lewat fondasi ceritanya yang kuat dan menarik itu. Dan ketika adegan demi adegan yang terasa memilukan itu hadir, kita seakan turut merasakan kesakitannya dan ikut bersimpati kepada mereka. Serta kita seakan ingin membebaskan kaum negro itu bebas dari perbudakan.
Mengangkat isu kemanusian dengan nada serius memang daya utama tersendiri bagi film ini. Aspek teknis di film ini pun turut membantu fondasi ceritanya. Mulai dari sinematografi, makeup, kostum hingga scoring-music gubahan Hans Zimmer yang pas di tempatkan dibagian-bagian yang menyayat hati itu. Nggak heran kalau Carina Mulia mengatakan kalau film ini benar-benar seperti nyata, “. Selain itu, efek film ini juga keren, kayak waktu dicambuk kelihatan nyata banget,” pujinya.
Bicara divisi akting, Chiwetel Ejiofor sebagai tokoh utama bermain begitu meyakinkan melalui ekspresi, dilog dan gesturnya yang memperlihatkan kepedihan dengan baik. Lupita Nyong’o yang disini sebagai penampilan perdananya juga bermain bagus. Michael Fassbender yang perannya disini malah kayak psycho, tampil luar biasa dengan menyebalkan. Hingga peran-peran minor yang diperankan oleh Benedict Cumberbatch, Brad Pitt, Paul Dano, Alfre Wooddard, Paul Giamatti dan Sarah Paulson, walau dalam durasi yang sempit mereka semua punya andil besar terhadap jalannya cerita.
Overall, 12 Years a Slave adalah sebuah drama tentang slavery yang sangat bagus. Bagaimana kisah perbudakan itu diperlihatkan dengan apik oleh Steve McQueen lewat penyutradaraannya yang total. Apalagi dihuni oleh tim produksi yang luar biasa dan ensemble cast segudangnya yang bertalenta tinggi. Mengangkat kisah nyata 12 tahun Solomon Northup yang dipadatkan dalam 134 menit durasinya yang begitu memikat.
sumber: xpresi jambi ekspres