Mempertegas Sistem Presidensil Lewat Pemilu Serentak 2019

Posted on 2014-03-29 13:00:00 dibaca 3851 kali
Mahkamah Konstitusi telah memutus pemilu 2019 yang akan datang dilaksanakan serentak. Artinya, saat menyoblos nanti panitia penyelenggara pemilu akan menyediakan 5 kotak suara, masing-masing untuk DPR, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota, DPD, dan sisanya untuk Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.


Dengan kata lain, pengaturan presidential treeshold atau ambang batas pengusungan calon presiden dan wakil presiden dihapuskan. Sehingga setiap partai peserta pemilu dengan bebas dapat mengusung presiden dan wakil presiden, tanpa  harus mempertimbangkan perolehan suara nasional.


Transisi Pemerintahan
Dengan diadakannya pemilu serentak akan makin menguatkan sistem presidensil yang sedang kita anut. Maklum jika kita tarik akar sejarah, negara ini memang masih dalam masa transisi pemerintahan, dari yang dulunya parlementer menuju sistem pemerintahan presidensil.


Pengaturan presidenstial treeshold dalam mengusung presiden sebenarnya tidak mempunyai landasan hukum yang kuat. Hal ini sebenarnya hanya teori ketatanegaraan yang diwariskan oleh sistem pemilu parlementer dari Undang-Undang Dasar sebelum amandemen.
--batas--

Saat itu lembaga legislatif (MPR) adalah  lembaga tertinggi negara, sehingga presiden yang menjabat, dipilih dan bertanggung jawab kepada parlemen. Pengaturan ini membentuk frame berfikir bahwa presiden yang menjabat harus mendapatkan dukungan koalisi partai di parlemen. Pemilihan presiden hanya dianggap sebagai pemilihan minor, sedangkan pemilu legislatiflah sebagai pemilu utama.


Karena diangkat dan bertanggung jawab terhadap perlemen, dan untuk menciptakan efektifitas pemerintahan, maka presiden yang diusung harus mempunyai dukungan partai di legislatif, agar nantinya tidak terjadi perbedaan orientasi dalam membangun negara antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif. Dan wujud dukungan partai di legislatif tersebut adalah pengaturan president treeshold.


Hal inilah yang sebenarnya menjadi duduk teori berlakunya presidential treeshold dalam drama pemilu 2004, 2009, dan 2014.


Namun keadaan yang demikian justru membuat pemerintahan dikuasai oleh sebagian orang (oligarchie). Akhirnya sistem ini melahirkan banyak pemangku kekuasaan yang korup dan tidak amanah.


Setelah dilaksanakan 4 kali amandemen Konstitusi pada tahun 1999 sampai 2002, Indonesia beralih kepada sistem pemerintahan presidensil. Dengan demikian kedudukan presiden dan parlemen menjadi seimbang, oleh sebab itu MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, melainkan hanya sebagai lembaga negara.


Konsistensi Teoretis
Mahfud MD, Ketua MK jilid II mengategorikan ciri-ciri sistem presidensil sebagai berikut 1) Selain berkedudukan sebagai kepala negara, presiden juga menjabat sebagai kepala pemerintahan, 2) Presiden dan parlemen dipilih langsung oleh rakyat, 3) Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, dan 4) kedudukan presiden dan parlemen setara.


Dalam pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dikatakan bahwa “presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat”. Dan pasal 7C menyatakan bahwa “presiden tidak dapat membubarkan/ membekukan DPR”. Pasal ini sejatinya merupakan ciri dan implementasi dari sistem presidensil sebagaimana yang Mahfud MD kemukakan.
--batas--

Dalam sistem presidensil, tidak dikenal pemilu mayor dan pemilu minor seperti halnya dalam sistem pemilu parlementer. Semua pemilu menghasilkan produk pejabat yang mempunyai kedudukan yang sama sehingga pengaturan presidential treeshold menjadi tidak relevan. Disamping menghalangi calon presiden berkualitas yang diusung partai minoritas untuk maju dalam bursa pemilihan kepala negara, pengaturan presidential treeshold juga dapat menyebabkan pilihan masyarakat hanya akan berputar pada wajah-wajah lawas penunggu partai politik yang berkuasa.


Mempertegas sistem pemilu presidensil pada akhirnya juga akan membuka keran pengusungan presiden independen. Hal ini tentu akan menjadi semangat baru dalam kehidupan ketatanegaraan kita. Pasalnya beberapa survey kenamaan menyebutkan, mayoritas masyarakat Indonesia sudah tidak menaruh kepercayaan lagi terhadap calon yang diusung oleh partai politik.


Secara pribadi, konsekuensi seperti inilah yang mesti kita dukung bersama-sama. Kalau tidak, masyarakat Indonesia terpaksa akan dihadapkan pada 2 pilihan dilematis. Pilihan pertama masyarakat akan tetap memlilih dari daftar yang itu-itu saja, atau pilihan kedua, pemilih akan memperpanjang deretan golput dalam sejarah pemilu Indonesia, sehingga makin mengurangi legitimasi hasil pemilu.


Menekan Laju Politik Transaksional
Pemilu serentak akan menjadi sebuah terobosan strategis bagi bangsa Indonesia. Selain sebagai perwujudan komitmen atas undang-undang dasar 1945, pemilu serentak atau pemilu 5 kotak yang akan dilaksanakan pada tahun 2019 mendatang juga akan mereduksi tingkat politik transaksional.


Pakar komunikasi politik Efendi Ghazali bilang, dalam pemilu parlementer yang mengharuskan adanya presidenstial treeshold, ada 4 ragam politik dagang sapi atau politik transaksional yang terjadi. 1) politik transaksional akan terjadi saat mengajukan daftar calon legislatif, 2) pada saat mengajukan nama presiden dan wakil presiden, 3) pada saat putaran ke-2 pemilihan presiden dan wakil presiden, 4) dan terakhir saat penyusunan kabinet.


Dengan adanya pemilu serentak eksekutif-legislatif, maka akan mengurangi kemungkinan terjadinya politik dagang sapi, sehingga nantinya calon yang terpilih dapat berkonsentrasi penuh kepada program kerja untuk menyejahterakan masyarakat, tanpa harus pening kepala memikirkan konsekuensi dari lobi-lobi politik yang menghantarkan dirinya menjadi pemangku kekuasaan (stakeholder).

Namun terlepas dari itu, jika kita teliti secara seksama, Mahkamah Kontitusi tidak mengabulkan seluruh petitum yang dimohonkan. Dalam amar putusannya mahkamah memang memutus pemilu serentak dilaksanakan mulai dari tahun 2019, tapi pasal 9 undang-undang pilpres yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential treeshold) tidak dibatalkan. Tentunya hal ini agak sedikit aneh dan kontradiksi dengan pokok putusan yang disampaikan mahkamah.

Penting untuk diketahui,  bahwa putusan MK tentang pemilu serentak 2019 adalah final dan mengikat semenjak diucapkan. Tapi tidak menutup kemungkinan kalau DPR yang terpilih nantinya akan membuat norma baru yang isinya melawan keputusan mahkamah.

Memang baik parlemen maupun pemerintah tidak dapat membuat norma serupa yang dinyatakan inkonstitusional oleh badan peradilan. Namun beda teori beda praktik, pasalnya pemerintah pernah membuat PERPPU MK yang menyatakan bahwa kinerja mahkamah diawasi oleh Komisi Yudisial (KY). Padahal sebelumnya MK telah memutus untuk membatalkan kewenangan KY dalam mengawasi dirinya.

Yang dikhawatirkan adalah DPR akan menempuh jalan serupa untuk mengembalikan presidential treeshold dengan alasan konvensi ketatanegaraan.


(Penulis adalah Gubernur Mahasiswa Fakultas Hukum UNJA, dan pengurus di Aliansi Mahasiswa Peduli Pemilu)


Sumber : Jambi Ekspres
Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com