Berawal dari Saung
BEGITU banyak keharuan cerita yang mengalir dari Bunda Ade Kurniati. Perempuan berusia 27 tahun ini kepada Jambi Ekspres bercerita, bahwa, awal mula sekolah ini didirikan bukanlah ditempat belajar sekarang ini melainkan di sebuah Saung Tani setengah permanen yang berada di tengah kebun sayur milik warga.
Tidak ada meja, apalagi kursi. Bahkan menurutnya, saat masih memiliki ‘ruang kelas terbuka’ di tengah kebun tersebut, tak jarang siswa-siswi didiknya mengalami kehujanan dan kebanjiran. Ditambah lagi aroma pupuk yang menyengat serta lalu lintas pesawat yang kerap memecahkan konsentrasi anak-anak saat belajar. Namun semangat para ibu-ibu sekitar untuk memberikan pendidikan terhadap anak-anaknya cukup tinggi.
Seiring berjalannya waktu sekolah ini kian mendapat perhatian warga sekitar. Dan kemudian warga berinisiatif untuk membangun tempat belajar seadanya yang dibangun diatas tanah wakaf sebelah mesjid. Kini, sekolah yang beralamat RT 28, Jalan Siswa Bati Abri Paal Merah Lama, dan berjarak sekitar 100 meter dari ruas jalan besar Lingkar Selatan tersebut jauh lebih nyaman .
“Walaupun seadanya, yang penting kami sudah tidak lagi kebasahan saat belajar,” paparnya.
Awal mula sekolah mereka tidak mengenakan biaya apapun. Dengan peralatan seadanya, mereka memulai pelajaran dengan menyenangkan. Namun karena melihat kebutuhan anak-anak dan berbagai pertimbangan, sekolah ini mulai mengumpulkan iuran untuk membeli perlengkapan.
Itupun atas inisiatif para orang tua agar mereka yang belajar tidak kerepotan.“Itu pun tidak mahal. Hanya Rp 15 ribu saja perbulannya. Sangat jauh dengan sekolah-sekolah kebanyakan,” ujar perempuan yang kini tengah mengandung anak ke-2 ini.
Sumber : Jambi Ekspres