MENENUN: Zikri (25) salah satu perempuan yang masih memiliki ketertarikan terhadap dunia tenun.
Butuh Kesabaran Tinggi, Harus Tetal Dilestarikan
MENENUN bukan menjadi kegiatan yang banyak diminati oleh masyarakat zaman sekrarang. Umumnya, banyak yang lebih senang menggunakan hasil tenun ketimbang terjun lagsung untuk mempelajari warisan seni budaya tersebut. Rumah Tenun Jambi menjadi salah satu tempat pelestarian seni memintal benang tersebut.
DITEMUI di rumah tenun Jambi, jalan profesor Dr. SriSoedewi Broni, Zikri sedang asik memintal benang untuk dijadikan selembar kain songket. Memang masih agak ragu-ragu, mengingat usia belajarnya masih memasuki bulan ketiga di rumah tenun milik Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Deskranasda) dibawah naungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
Namun semangatnya tak terpatahkan untuk mempelajari warisan budaya yang sudah hampir luntur di ditelan tingginya arus globalisasi.
Perempuan kelahiran jambi 30 maret 1987 ini mengaku ketertarikannya terhadap batik dan tenun memang sudah cukup lama. Sebelum belajar tenun, ia sempat berkecimpung dan lebih menguasai proses nembok batik yang merupakan salah satu tahapan dari proses membatik berupa pekerjaan menutup bagian pola yang akan tetap berwarna putih dengan lilin batik.
“Di tempat saya memang mayoritas masyarakat masih banyak pengerajin batik. Tetapi saya ingin belajar lebih tentang proses menenun untuk menambah pengalaman,” papar perempuan yang tinggal di jalan Kyai Haji Somad Kelurahan Jelmu Seberang Kota Jambi tersebut.
Dirinya mengakui pekerjaan menenun bukanlah hal yang mudah untuk dipelajari. Membutuhkan waktu sekitar 2 tahun agar dapat lulus dari pendidikan. Itu pun ia harus ia jalani setiap hari mulai dari pukul 10 hingga 4 sore, kecuali hari libur.
“Awal-awalnya sempat bingung dan merasa bosan juga. Tapi setelah dijalani, memiliki kesenangan tersendiri,” paparnya saat ditemui kemarin (3/9).
Ia mengakui, tak banyak generasi yang mau menghabiskan awktunya untuk mempelajari tenun ini. Disamping membutuhkan watu yang lama, pun dituntut kesabaran untuk dapat menghasilkan sebuah hasil songket tenun. Sehingga menurutnya tak begitu banyak yang mau untuk mempelajari tentang songket ini. Namun ia dengan semangat mempelajari berbagai pola motif songket yang rerata diambil dari motif batik asli Jambi seperti motif durian pecah, motif perahu, dan lainnya.
Dengan mempelajari cara menenun ia berharap kedepannnya dapat tetap melestarikan budaya sekaligus menjadi pengerajin tenun yang belakangan sudah mulai jaang ditemui. “Kalau sudah lancar inginnya menjadikan kegiatan menenun ini sebagai salah satu pendapatan keluarga dan melanjutkan kegiatan ini dirumah,” paparnya.
Di samping itu saat ditemui, Siti Barokah selaku pengawas anak didik rumah tenun mengakui adanya rumah tenun ini sendiri merupakan salah satu upaya pemerintah untuk melestarikan budaya tenun di jambi. “Kita inginnya masih ada penerus yang melestarikan budaya pembuatan songket di masyarakat Jambi,” paparnya.
Untuk mempelajari songket tenun pemerintah memfasilitasi masyarakat yang ingin mempelajari mengenai pembuatan songket. Pun untuk pendidikannya, para peserta tidak dipungut biaya. Asal ada keinginan khusus dan fokus selama belajar. Setelah selesai pendidikan selama 2 tahun, nantinya para pesertas tadi tidak dilepas begitu saja.mereka akan diberikan fasilitas alat tenun dan juga dibantu dalam hal modal maupun pemasaran.
“Biasanya untuk hasil-hasil songket ini kita bantu dalam hal penjualan di beberapa tempat maupun saat pameran-pameran kita selalu ikut sertakan hasil mereka,” paparnya.
Untuk hasil songket yang proses pengerjaannya sekitar 3 bulan, harga yang dipatok berkisar Rp 1,5 hingga Rp 3 juta. Tergantung bahan dan prosesnya juga. Biasanyasemakin sulit pengerjaan akan menentukan harga jualnya.
“Kami sangat mendukung terhadap antusias masyarakat untuk proses tenun ini. Bagaimanapun, ini merupakan budaya yang harus dilestarikan sehingga patut kita apresiasi,” tandasnya.
sumber: jambi ekspres