Ilustrasi
Oleh: Helty Asafri, M.Pd
Tahun politik telah tiba, musim yang saat ini tidak lagi datang lima tahun sekali. Musim politik juga tidak hanya terjadi pada tingkat pusat melainkan sudah dimulai dari tingkatan paling bawah.
Sejak pemilihan secara langsung diadakan di Indonesia, masyarakan mendapat hak dan ruang nya dalam  berpolitik,  semua  bebas  menyampaikan  argumentasinya. Â
Pemilihan  secara  langsung diadakan  mulai  dari  pemilihan  pemimpin  desa  sampai  dengan  pemilihan  pemimpin  negara.
Semua  bebas  berpolitik  dan  mempunyai  hak  yang  sama  dalam  menyampaikan  pendapat. Politisasi lewat argumentasi pun mulai berkembang, tidak hanya pada diskusi-diskusi khusus tapi sudah merambah hebat melalui kedai kopi dan ruang-ruang media sosial.
Gaya Bahasa yang digunakan para komentator politik mahir ataupun para amatiran tidak lagi  jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya, penggunaan kalimat bernuansa kasar ramai mewarnai ruang publik.
Bahasa  dan  politik  memang tak  mungkin  di pisahkan,  para  politikus  menggunakan  Bahasa sebagai alat peraih simpati masyarakat untuk memperoleh kedudukan yang diinginkan. Seorang sosiolog  Habermas pernah  berpendapat  bahwa  Bahasa  adalah  jalan  menuju  pada  kekuasaan sekaligus merupakan alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Sarkasme dalam tahun-tahun politik bukanlah sesuatu yang baru tapi juga tidak menjadi gaya bahasa  yang  istimewa  di  musim  politik,  hanya  saja  saat  ini  gaya  bahasa  sarkasme  seolah menjadi idola para politikus dan para pengamatnya. Â
Menurut KBBI sarkasme diartikan sebagai penggunaan kata kata pedas yang bertujuan menyakiti hati  orang lain; cemoohan atau ejekankasar.
Menurut (Badudu,1975:78) sarkasme merupakan gaya sindiran terkasar. Bentuknya bias digunakan saat memaki orang dengan kata-kata kasar dan tak sopan didengar. Â Ditambahkan Badudu, biasanya diucapkan oleh orang yang sedang dalam keadaan marah besar.
Bahasa menjadi alat komunikasi yang sangat berharga di tahun-tahun politik, posisi bahasa saat musim politik tiba, tidak bisa di pandang sebelah mata. Stabilitas politik negara saat memasuki tahun  politik  sangat  dipengaruhi  oleh  bahasa  yang  beredar  di  tingkatan  kaum  elit  sampai merambah  ke  komentator  tingkat  bawah.  Bahasa  yang  berbau  sarkasme  atau  berupa  ujaran kebencian,  hinaan,  dan  olok-olokan  yang  menyakitkan  terkadang  juga  merambah  ke  ruang pribadi para pemeran politik.
Konteks Indonesia sebagai Negara yang beradab berdasarkan nilai-nilai luhur agama yang jelas tertera pada tiap butir pancasila seolah luntur tak lagi terlihat. Politik yang beradab seolah menjadi barang langka di negara tercinta. Kemanakah perginya moralitasdan adab dalam menyampaikan argumentasi dan kritikan terhadap lawan politik  ataupun para pemeran politik? apakah simpati harus didapat melalui ungkapan kebencian yang tiada henti?
Apakah sudah tiada lagi cara elegan dalam berpolitik di Negara ini? Padahal ada berjuta pasang mata yang melihat, ada berjuta telinga yang mendengarkan berbagai lawakan sarkasme versi Indonesia. Sarkasme merupakan gaya bahasa yang terlambat masuk ke benua Asia karena Asia terkenal dengan budaya timurnya yang ramah dan santun (Kurnia,K.2011). Tapi saat ini sarkasme justru sedang menguasai gaya bahasa politik di Indonesia.
Menurut Sapir dan Worf (Wahab,1995) bahasa merupakan prilaku budaya manusia, orang yang memiliki pilihan kata-kata santun dalam berbicara dan menggunakan kalimat-kalimat halus yang tidak menyakiti orang lain menandakan orang  tersebut  memiliki  kepribadian  yang  baik.  Kesantunan  dapat  terlihat  ketika  seseorang melakukan  komunikasi  verbal,  sebab  tata  cara  berbicara    mengikuti  norma-norma  akan menghasilkan  kesantunan  berbahasa  (Muslich,2006;2).  Kesantunan  berbahasa  sangat  dekat dengan etika berbahasa, orang akan di katakana pandai berbahasa jika etika berbahasanya dantata  cara  berbicaranya  baik.   Ketika  melakukan  komunikasi  politik  dibutuhkan  etika  dan kesantunan  untuk  saling  menghomati  dan  menjalin  hubungan  politik  yang  harmonis.  Kubu oposisi pun perlu megedepankan etika dan kesantunan dalam menyampaikan kritikannya.Orang-orang  dewasa  yang  berpolitik  atau  yang  berbicara  tentang  politik  hendaknya  bias mengerem  diri  untuk  dapat  menghindari  gaya  Bahasa  sarkasme.  Jhon  Austin  seorang  filsuf bahasa  menilai,  actor  politik  tidak  hanya  menampilkan  tontonan  tapi  juga  menginspirasi tuntunan, karena politik yang tumbuh hari ini, tidak berhenti untuk masa kini tapi juga akan ditanam dan mengakar untuk dipetik hasilnya dimasa depan. Berikan contoh politik yang santun
kepada generasi bangsa, anak-anak , dan para remaja yang sedang ingin tau segala hal tentang negaranya. Biarkan mereka melihat ritme politik yang menyejukkan telinga mereka dan memberikenyamanan pada mata mereka yang mulai ingin melihat dunia. (*)
Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129
Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896
E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com