Lantaran kemewahan pegawainya viral di media sosial, dua pekan ini Menteri Keuangan Sri Mulyani mesti mengambil kebijakan urgen.

Fenomena No Viral No Justice, Pengamat Bilang Bukti Negara Tindaklanjuti Laporan Resmi Warga

Posted on 2023-03-13 23:36:33 dibaca 5836 kali

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA -No viral no justice menjadi alat penegakan hukum baru. Fenomena mobilisasi rakyat di ruang digital itu yang membuat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kelimpungan sebulan terakhir.

Kementerian yang dipimpin Sri Mulyani itu harus berkali-kali menggelar konferensi pers ketika satu per satu gaya hidup mewah pegawainya ramai jadi sorotan di media sosial.

Andai pemerintah maksimal menerapkan aturan pemberian reward bagi masyarakat yang melaporkan atau mengungkap dugaan tindak pidana korupsi (tipikor), fenomena no viral no justice kecil kemungkinan menjadi ancaman serius.

Dalam aturan, reward itu memungkinkan masyarakat yang menjadi pelapor mendapatkan premi paling banyak Rp200 juta.

Aturan itu tegas disebutkan dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah No 43/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tipikor.

Besaran premi yang diatur adalah 2 persen (dua permil) dari jumlah kerugian negara yang dapat dikembalikan kepada negara. Di pasal tersebut juga disebutkan premi maksimal adalah Rp200 juta.

PP itu turunan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001.

Sampai saat ini, baru satu pelapor kasus korupsi yang pernah mendapatkan premi tersebut. Penghargaan itu diberikan KPK pada 2016 lalu. Setelah itu, belum ada lagi catatan lagi terkait berapa jumlah penerima premi.

”Syaratnya rumit,” kata Ketua IM57+ Institute Praswad Nugraha, Minggu, 12 Maret.

Rumitnya syarat untuk bisa mendapatkan dana apresiasi itu juga ditegaskan Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri pada 2020 lalu. Ada sejumlah kendala yang membuat implementasi PP tersebut tidak optimal. Salah satunya adalah minimnya data yang dimiliki pelapor.

Selain itu, kebanyakan kasus korupsi, khususnya yang ditangani KPK, tidak hanya bersumber dari satu pelapor.

Kondisi itu menyulitkan lembaga penegak hukum untuk menentukan siapa pelapor yang memenuhi syarat mendapatkan reward dari negara.

Menyambung Ali, Praswad mengakui ketentuan reward itu memang tidak masuk akal untuk dipenuhi. Sebab, premi maksimal Rp200 juta itu baru bisa diberikan jika kerugian negara dari kasus yang dilaporkan mencapai Rp100 miliar.

”Karena ada ketentuan 2 persen kerugian negara yang dapat dikembalikan ke negara, itu artinya kasusnya (yang dilaporkan, Red) harus proyek kakap," terangnya.

Pengalaman Praswad selama menjadi penyidik, kasus dengan kerugian negara besar itu nyaris tidak ada yang bersumber dari laporan masyarakat. Aduan di KPK kebanyakan adalah kasus suap yang kemudian ditindaklanjuti dengan operasi tangkap tangan (OTT).

Praswad meyakini munculnya fenomena no viral no justice itu merupakan kegagalan negara dalam mengelola manajemen laporan masyarakat. Hal itu diperparah dengan kanal pelaporan yang kurang optimal.

”Jangankan masyarakat biasa, laporan dari penegak hukum juga kadang-kadang tidak ditindaklanjuti sebelum viral,” tutur pria yang akrab disapa Abung tersebut.

Pegiat hak asasi manusia (HAM) Haris Azhar menambahkan penegakan hukum yang masih tebang pilih dan kurang terbuka membuat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum mengalami krisis. Hal itu mendorong terjadinya mobilisasi rakyat di ruang digital untuk menghakimi seseorang yang diduga melakukan pelanggaran.

”Meskipun kasus yang viral itu juga belum tentu ditindaklanjuti oleh penegak hukum, saya melihat masyarakat puas dengan itu (penghakiman di media sosial, Red),” kata mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tersebut. (tyo/idr/zuk-dir/fajar)

Sumber: www.fajar.co.id
Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com