Perubahan Ruang Hidup Membuat Secara Budaya Orang Rimba Kehilangan Sistem Kehidupan
JAMBIUPDATE.CO, JAMBI - Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jambi mengadakan Pameran Foto Jurnalistik di Taman Budaya Jambi, Sungai Kambang, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi.
Pameran Foto Jurnalistik ini berlangsung selama 2 hari kedepan terhitung sejak 26 hingga 27 Agustus 2023, dengan menyajikan 1 seminar, 2 mini workshop serta klinik fotografi bagi masyarakat yang tertarik.
Dalam kesempatan itu, Juliana, Mijak, Tumenggung Ngalo dan Mluring duduk sejajar dengan Kepala Balai Taman Nasional Bukit Dua Belas, Junaedi bercerita dalam seminar menggali inklusivitas komunitas adat untuk masa depan yang diselenggaran dalam rangkaian acara Pameran Foto Jurnalistik PFI Jambi.
Inklusivitas (penerimaan) Orang Rimba atau yang disebut Suku Anak Dalam (SAD) menjadi penting dalam dukungan terhadap komunitas adat ini menjawab persoalan perubahan iklim.
Tokoh muda orang rimba bernama Mijak menyampaikan, perubahan kondisi alam yang tidak seperti dulu membuat orang rimba beradaptasi dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
"Hutan tidak bisa menyediakan hidup lagi. Karena masuknya perusahaan di wilayah- wilayah adat orang rimba. Untuk orang rimba bahagia setiap musim buah tiba dan mendapatkan apapun dari hutan, itu sudah berubah," ujarnya, Sabtu (26/8).
Kehilangan hutan juga memicu mereka guna lebih sering berinteraksi dengan orang luar. Beragam penyakit dan masalah kesehatan menghantui mereka.
"Bulan ini ada dua anak orang rimba yang meninggal karena TB di Batanghari. Sekarang penyakit di orang rimba lebih banyak, bukan batuk, pilek saja," kata dia.
Mereka juga akhirnya terlibat dalam bidang ekonomi, sosial dan politik dari luar. Perubahan ini memang tidak mudah bagi Suku Anak Dalam (SAD).
Proses penerimaan orang luar dan dirinya sendiri karena kondisi alam yang berubah membutuhkan proses dan dukungan bersama.
Pendampingan dan Pemberdayaan menjadi upaya "membantu" mempersiapkan mereka untuk berbaur, memiliki kapasitas, keterampilan, kemampuan beradaptasi dan memastikan negara hadir dan memenuhi hak- haknya sebagai warga negara.
CEO Pundi Sumatera Dewi Yunita Widiarti mengatakan, pemberdayaan bukan menjauhkan mereka dari adat dan tradisi justru menguatkannya kembali dengan kemandirian.
Mendapatkan hak- hak dasar sebagai warga negara melalui layanan adminduk, kesehatan, pendidikan dan pengembangan ekonomi.
"Ini hak mereka yang harus negara berikan. Bukan berarti menjauhkan mereka dari identitas dan akar budaya," sebutnya.
Ada beberapa proses penerimaan yang telah dijalani oleh komunitas tersebut diantaranya itu pengakuan hak identitas sebagai warga negara, pendidikan, kesehatan, keterlibatan suara politik dan diskusi kebijakan, perlindungan budaya, pemberdayaan ekonomi, dan pengakuan kearifan lokal terhadap alam.
Taman Nasional Bukit Dua belas sebagai rumah bagi orang rimba juga tidak mampu mengambil peran dan tanggungjawab sesuai dengan mandat SK No. 258/Kpts-II/2000 sebagai sumber penghidupan orang rimba.
Sementara itu, Kepala Balai Taman Nasional Bukit Dua Belas Junaedi mengatakan, membutuhkan kerjasama pemerintah, masyarakat, organisasi non- pemerintah, dan komunitas itu sendiri.
"Kita butuh kolaborasi bersama untuk menjawab tantangan orang rimba atau SAD dalam menghadapi perubahan iklim lokal maupun global," sebutnya.
"TNBD memang rumah bagi orang rimba dan kita menghargai praktek kearifan lokal dalam pengaturan dan penggunaan ruang. Adaptasi ini kita masuk dalam zonasi TNBD," sambungnya.
Orang rimba hidup berkelompok dan dipimpin oleh ketua kelompok (Temenggung). Ada 13 kelompok, 718 kk dan 2.960 jiwa (bermukim sejak lama secara turun temurun) di TNBD.
Setiap kelompok memiliki wilayah adat, TNBD seluas 54.780,41 ha terbagi habis menjadi 13 wilayah adat. Pengakuan kearifan lokal itu juga bagian dalam memadukan tekonomgi dan budaya untuk menjawab tantangan perubahan iklim.
"Telah dilakukan uji farmakologi pada 87 jenis tumbuhan obat yang ada di TNBD. Berdasarkan informasi dari SAD di BP2TOOT Kemenkes Karanganyar dan Laboratorium Biokimia IPB," kata dia.
Saat ini, dikatakan dia, ada 2 lokasi berupa demplot tumbuhan obat di Resort II.E Air Hitam I dan Resort II. Muara Tabir.
Project Officer KKI Warsi Jaiharul Maknun mengatakan, kekhawatiran dampak perubahan iklim pada orang rimba sangat tinggi.
Berdasarkan penelitian kolaborasi yang dilakukan KKI WARSI dan peneliti menunjukkan banyak beberapa keragaman penyakit yang tidak mampu di tangani secara tradisional, diantaranya malaria, demam berdarah, TB dan Hepatitis.
Dampak perubahan iklim dengan sumber makanan orang rimba adalah hilangnya madu hutan, hilang musim pertahunan agung, hewan buruan semakin langka dan semakin sulitnya jernang, rotan manau, dan damar.
Perubahan ruang hidup dan ditambah iklim global membuat secara budaya orang rimba kehilangan sistem kehidupan (geger budaya), hilangnya kemampuan beradaptasi atau bertahan hidup dan hilangnya harapan masa depan.
Juliana, perempuan pertama di komunitas Suku Anak Dalam Pelepat, Bungo yang bersekolah hingga perguruan tinggi, memilih jalan Pendidikan sebagai bentuk adaptasi dan jawaban tantangan di masa depan.
"Awalnya orang tua dan kelompok menentang. Karena perempuan pantang pergi jauh dari kelompok dan keluarganya. Tapi, saya ingin menjadi contoh untuk adik-adik di SAD pelepat untuk punya cita-cita dan masa depan yang baik," katanya.
Sementara, Mijak sendiri bercita-cita menjadi pengacara masyarakat adat agar persoalan-persoalan hukum di orang rimba bisa diselesaikan secara hukum adat dan hukum negara.
Kepala Taman Budaya Jambi Eri Argawan mengatakan, kolaborasi Pameran Foto Jurnalistik ini diharapkan menggugah kepedulian publik yang lebih luas.
"Ya itu untuk lebih peduli pada persoalan iklim, masyarakat adat dan kelestarian lingkungan hidup. Khususnya generasi muda bisa terlibat aktif di dalamnya," ungkapnya.(*)
Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129
Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896
E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com